Chapter 18. Persetujuan

48 7 0
                                    

"Jika seandainya kamu bisa melakukan Home Run, aku akan menyutujui untuk menikahkan Chiyo denganmu, Zen!"

Pria dengan perawakan lumayan besar yang selama ini disembunyikan dari balik pakaian yang sederhana kini dia menampilkan wujud sesungguhnya. Aku hari ini berada di lapangan kecil sekitaran komplek yang tidak jauh dari rumah. Hujan deras mengguyur mengaburkan pandanganku. Kita berdua sedang bermain bisbol, Yuji sebagai pelempar dan aku sebagai pemukul dengan tongkat bisbol kayu. Tujuanku hanya satu, harus bisa memukul sejauh mungkin dengan tongkat yang aku genggam keras ini.

"Lihat saja, aku akan melakukannya!"

Setelah mencoba beberapa pukulan, semuanya meleset, peraturan bisbol juga berlaku 3 kali lemparan dan gagal aku akan keluar, begitu seterusnya aku mengajak Yuji menantang setiap hari demi harapanku— demi Chiyo. Aku berjuang untuk melewati rintangan ini.

Sebelum kejadian ini terjadi, aku bicara terang-terangan di ruang tengah rumah Chiyo. Aku sengaja mengumpulkan mereka untuk membicarakan pernikahan. Aku hanya berpikir, jika tidak sekarang kapan lagi aku harus melakukannya sebelum terlambat.

"Tolong izinkan aku menikahi Chiyo!" teriakku pada saat itu. Perlu keberanian yang besar dalam menghadapi ini, sesuai dugaan memang ayahnya Chiyo bukan orang yang sembarangan melepaskan Chiyo pada siapapun.

Ayah Chiyo berdiri, "Begitu ya? Jika benar begitu, aku tes seberapa besar tekadmu untuk mengambilnya dariku, Zen!" nada bicaranya tidak keras hanya saja lebih emosional dan mampu membuatku roboh pada saat itu, dan dia memutuskan untuk melakukan bisbol sebagai tanda tekadku bahwa aku benar-benar ingin mengambilnya dari Yuji— ayah Chiyo.

Pertama aku terlalu percaya diri melakukan langsung tantangan itu dan semuanya gagal, cara dia melempar bukan seorang pemula bagiku itu lemparan seorang profesional sangat cepat dan tidak bisa aku lihat, pada saat itu juga memang sedang hujan. Salah satu lemparannya meleset mengenai hidungku, rasanya nyeri sekali mungkin hidungku patah cukup memalukan karena aku tidak sadarkan diri setelahnya.

"Apa kamu baik-baik saja?" Suara ibu membangunkanku, Saki, Johan dan ayah juga ada dihadapan berjejer melihatku.

"Aku di mana? Ah, aku pingsan ya."

"Pak Yuji membawamu kemari, katanya bola bisbol itu kena wajahmu." Jelas Saki. "Lagipula, apa sebegitu sulit memukul bola?" Tanyanya santai bermain ponsel.

"Itu bukan pukulan amatir, dia benar-benar serius...."

Johan memberiku handuk. "Tenang saja Zen, kau pasti bisa aku mendukungmu."

Seluruh keluargaku tahu aku mengatakan pada mereka sebelum itu, semuanya bertindak biasa-biasa saja tidak ada yang mencoba menghentikanku atau memberikan arahan. Wajahku terlihat sangat senang mungkin saja aku tersenyum karena ini sangat membuatku merasa bergairah.

Esok harinya aku pergi berbelanja ke minimarket katanya ibuku ingin membuat sebuah kudapan tradisional, jaraknya hanya sekitar 500 meter kurang lebih, semacam kue beras atau yang lengket-lengket begitu. Tiba-tiba saja Yuji keluar dari minimarket yang akan aku tuju.

"Yo, Zen. Pergi berbelanja?" Sambut dia bertanya.

"Yah, begitu. Ibuku meminta untuk dibelikan sesuatu." Jawabku ringan.

Kali ini tatapan dia serius. "Kesempatanmu untuk bisa menantangku aku batasi, hanya 2 kali lagi itu artinya kau hanya bisa melakukan 6 pukulan. Jika saat itu semuanya gagal, aku ingin kau tidak mendekati lagi Chiyo."

Dia berusaha membuatku takut dan berhasil meski begitu kesempatan menangku menjadi berkurang karena terbatasnya tantangan, aku tidak akan kalah. Pertemuan yang singkat memotivasiku untuk berlatih mengayunkan tongkat sekencang dan setepat mungkin, pagi hari sebelum berangkat aku berlatih mengayunkan tonkat, siang hari pada saat istirahat aku berlatih, malam hari sebelum tidur berlatih lagi pokoknya berlatih terus.

"Pak Yuji, aku menantangmu lagi."

"Jangan bercanda, apa kau serius? Dengan ini kau hanya punya 1 kesempatan lagi."

"Ya." Aku raih tongkat bisbol. "Aku tahu itu."

Banyak yang menonton kali ini, karena siang hari sangat ramai Chiyo dan Maya ikut menonton di pinggir lapang.

"Semangat, Zen!" Ibu Maya menyemangatiku.

"Bersiaplah." Dia mengangkat kedua tangan mengepal memegang bola dan kaki kiri menaik sejajar dengan dada. "Hajar!" Yuji melempar bolanya tanpa ragu terkena seseorang.

Aku tidak yakin jika aku bisa mengatasi ini, tapi aku harus mengayunkan tongkatku. "Hiyaahhh!"

Meleset, ini membuatku emosi, monster itu benar-benar serius jika dilihat banyak penonton. Kalau begitu aku juga tidak akan menyerah begitu saja.

"Strike." Gawat kalau begini terus aku akan gagal. "Lempar lagi." Aku mengembalikan bolanya pada Yuji.

"Jika kau ingin menyerah, kau bisa melakukannya sekarang atau kau akan mempermalukan diri sendiri." Komentarnya yang sudah siap akan melempar.

"Tidak, sebelum dia jadi milikku!" Teriakku pada Yuji didengar oleh semua orang. "Majulah!"

Bola kedua aku tidak mendapatkannya malah seperti aku mengikuti ucapannya, sial. Hingga sampai bola terakhir aku sama sekali tidak pernah mendekati bola itu atau bahkan memukulnya sedikit saja. Sangat keras kepala, semangatnya untuk menjatuhkan— menjaga Chiyo tidak bisa diremehkan. Aku pulang dengan tangan kosong... lagi.

Dia mempermainkanku— sedari awal aku tidak memiliki kemenangan, yang aku perlukan adalah berlatih lagi dan lagi. Demi mendapatkan Chiyo, demi membahagiakannya, demi menebus dosa-dosaku.

"Chiyo, hari ini aku membawakanmu seorang perancang pakaian aku ingin kamu berada di ruang tengah." Ajakku Chiyo mendorong kursi rodanya.

Dia melirikkan kepala sedikit miring ke belakang. "Memangnya kamu yakin bisa menang?"

"Tenang saja, tidak mungkin aku kalah." Seruku dengan santai, walau yang sebenarnya masih ragu.

Di ruang tengah sudah ada tamu itu adalah istri dari Jima dia orang yang biasa, aku pikir Jima orang yang pilih-pilih namun jika melihatnya dari dekat memang cocok dengannya.

"Perkenalkan namaku Kristy panggil saja Kris, kalau tidak salah kamu temannya Zen ya." Seraya dia membuka peralatan dari kotak dia langsung membawa alat ukur, mengukur tubuhku langsung.

Wah, sudah dimulai saja. Aku reflek tegap layaknya tentara. "Ngomong-ngomong, Kak Jima... apa dia sibuk?"

"Ya, dia mengantarku ke sini. Katanya dia bilang padaku untuk sampaikan pesan ini pada Zen 'Hajar dia sampai kalah' begitu, aku tidak tahu apa yang dia maksud." Tangannya tidak berhenti mengukur dan mencatat di buku catatan kecil. "Sudah selesai, mudah sekali jika memakai tema internasional, selanjutnya giliran Nona Chiyo 'kan."

Jima dia tahu bahwa aku sedang berjuang, rumor bisa menyebar dengan cepat. Ibu Chiyo, Maya terlihat sangat bahagia melihat putrinya akan siap mengenakan gaun pengantin beberapa hidangan mahal disediakan, sebelumnya aku memberi tahu Kris agar Chiyo memakai sesuatu yang istimewa dari gaun pengantin lain.

"Zen, ini sia-sia bukan?" Chiyo berkomentar dingin padaku padahal dia jelas-jelas terlihat gugup wajahnya ketika diukur.

"Sia-sia? Apanya?" Tanyaku heran.

"Gaunnya, hanya untuk diriku aku bahkan tidak bisa melihat. Bukannya ini sia-sia, pakai yang biasa saja sudah cukup." Jelasnya seraya menundukan wajah sedih.

"Aku yang akan melihatmu, jadi tenang saja. Aku akan menjadi matamu, akan aku jelaskan semua setiap detilnya dengan begitu apa kamu masih ingin mengenakannya?"

Dia tidak menjawab, tapi yang pasti kondisinya saat inisedang bahagia sangat mudah ditebak dia tidak bisa menahan senyumnya lagi,syukurlah Chiyo dengan begini aku akan mengalahkan Yuji.

WHITE LITERATURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang