#31 - Tamu VIP Sky Park

305 64 11
                                    

Ada banyak film yang mengisahkan perjuangan seorang ibu dalam menyayangi anak. Ada yang rela melepas impian dan karir. Ada yang rela mendonorkan organ tubuhnya. Ada pula yang tabah menjadi single parent seperti yang dilakukan ayahku. Sayangnya, perjuangan sosok ibu yang sering kutonton dalam film tidak berlaku dalam hidupku. Aku tidak memiliki ibu seperti mereka.

Sosok ibu kerap disebut layaknya pahlawan tanpa kekuatan super. Namun, ibuku tidak seperti itu. Alih-alih rela lapar agar anak-anaknya kenyang, ibuku sibuk mengumpulkan piala dan pujian. Aku tidak pernah mendengar pertanyaan, 'Apa kau sudah makan?' keluar dari mulut wanita yang mengaku-ngaku sebagai ibuku. Selama ini, Choi Jiwoo juga tidak pernah peduli pada pendidikan maupun kesehatanku. Ia memang beberapa kali mengucapkan selamat ulang tahun, tetapi dia melakukannya sebagai model Star Group ketika Appa mengadakan pesta untukku.

Aku tidak tahu mengapa hidupku sedramatis itu. Sejak kecil tidak tahu siapa ibu kandungku, lalu ketika sudah besar, aku mengetahuinya dengan cara menyakitkan. Di keluargaku, aku diperlakukan penuh kasih sayang, tetapi juga seperti diasingkan dengan sendirinya. Appa dan Jaehyun Hyung selalu menganggap bahwa aku masih kecil dan tidak perlu mengetahui permasalahan orang dewasa. Masalahnya, aku sudah dewasa dan aku berhak tahu tentang kehidupanku yang sesungguhnya.

Sekarang aku hidup jauh dari rumah. Di London, statusku adalah pegawai Sky Park. Paman Park mengurus visa izin tinggalku dengan alasan pekerjaan. Aku tidak hanya kehilangan ayah dan kakak, tetapi juga teman-teman. Ketika aku di rumah, ada para pelayan yang siap siaga melayaniku. Namun, kini aku mengurus semua keperluanku seorang diri. Daripada bepergian menggunakan mobil, sekarang aku menjadi pejalan kaki aktif seperti warga London kebanyakan.

Saat hendak menuju ke arah jembatan penyeberangan, aku melihat seorang wanita hamil berjalan pelan sambil menggandeng nenek yang punggungnya sudah sedikit membungkuk. Di lengan wanita itu ada tas besar, sedangkan tangannya menggenggam koper dengan bagian roda mulai berkarat. Mereka berjalan menuju jembatan dan mataku sontak melebar.

"Hei, hei!" panggilku seraya berlarian mencegah agar mereka tidak menaiki anak tangga. "Where are you going?"

"To Underground Station."

Aku mendelik. "Kau tidak berniat melewati jembatan penyeberangan ini, kan?" tanyaku sambil mengamati perutnya yang besar. Tidak bisa kubayangkan jika ia harus naik sambil membawa barang berat, masih harus menggandeng seorang nenek dan berat badannya sendiri. Jembatannya tidak terlalu tinggi, tetapi tetap saja itu berbahaya.

"Ibuku tidak berani menyeberang jalan raya," kata wanita itu.

Aku berniat membantu. Tidak masalah jika aku harus naik turun jembatan atau bahkan menggendong nenek itu ke seberang jalan. Namun, membayangkan dua orang ini harus bepergian menggunakan kereta, hatiku tidak terlalu tega. "Ke mana kau akan pergi?" tanyaku lagi.

"Southampton."

"What?" pekikku. Aku lebih dulu menarik pelan lengan nenek agar duduk di bangku terdekat karena tubuhnya terlihat sangat lemas. "Tidak, tidak. Naik kereta ke sana tidak baik untuk kalian berdua."

"Mau bagaimana lagi? Kami tidak punya cukup uang untuk menyewa kendaraan," terang wanita itu.

Sebenarnya, aku juga tidak punya banyak uang. Aku belum gajian dan selama hidup di London memang tidak lagi menggunakan kartu ATM. Namun, tidak memiliki uang bukan berarti tidak bisa membantu orang lain. "Sebentar, ya," kataku pada wanita itu dan segera menelepon seseorang tanpa melepas pandangan dari mereka berdua.

"Ya, Hun?"

"Paman, I need a help."

"What's that?"

On Me [OSH] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang