[S2] - 36 | Email

74 8 312
                                    

Minggu ini jadi sangat suram bagi Arhaan, tapi lebih suram lagi bagi Arshika, sebab kakaknya itu tidak mau diajak main dan hanya berdiam diri di depan laptop menunggu Email dari Arshia, padahal biasanya Arhaan akan menghabiskan waktu dengan menonton film di bioskop yang Rishi buatkan di dalam rumah. Segala bujuk rayu Arshika lakukan, tapi sia-sia.

Saat ini, Arshika bermain seorang diri di halaman rumah. Mau mengajak Abhram, tapi kakak pertamanya itu sedang membantu Ibu mereka menyiapkan makanan. Katanya nanti akan ada tamu istimewa datang. Arshika tidak tahu tamunya siapa, tapi dia harap yang datang adalah Veer atau Karan.

"Arshika ... calon menantuku."

Arshika melotot. Itu kan suara ... "Bibi Zoya? Bibi ke sini?"

Zoya dengan senyuman lebarnya menyeret koper besar mendekati Arshika. "Bibi memang mau ke sini, Paman Rajveer ada pekerjaan di sini selama seminggu, jadi, ya, kami akan menginap. Ibumu tidak memberitahumu memangnya?"

Arshika menggeleng. "Ibu hanya bilang katanya akan ada tamu spesial."

"Sekarang di mana Ibumu?"

Arshika menunjuk ke dalam rumah. "Menyiapkan makanan bersama kak Abhram."

"Kalau begitu Bibi ke dalam dulu, ya, Sayang. Advait, kau di sini saja temani Arshika. Berikan juga hadiahnya, ya," Zoya menggandeng tangan suaminya untuk ikut, sementara putranya dibiarkan tetap di luar.

Arshika memeluk lengannya dengan kesal sambil menatap tajam Advait di hadapannya. Putra Zoya itu pun hanya menunduk memandangi sebuah paper bag berukuran sedang yang ia tenteng.

"Hei, Payah, kenapa kau ke sini?" tanya Arshika sambil berkacak pinggang tak ramah.

Advait gelagapan. Tatapan tajam Arshika selalu sukses membuatnya takut. "A-aku ikut Ibu," jawabnya agak terbata.

"Lalu apa yang kau bawa itu?" Arshika menunjuk paper bag yang Advait bawa dengan dagunya.

Advait tersenyum. "Ini buku cerita, untukmu," ujarnya sembari menyodorkan paper bag itu pada Arshika.

"Buku? Cih, aku tidak mau," Arshika melengos.

"Kenapa? Oh, kau belum bisa membaca, ya? Mau aku bacakan?" tawar Advait.

"Tidak! Aku tidak mau buku! Aku maunya cokelat!" pekik Arshika.

"Arshika, makan cokelat terus itu tidak baik. Nanti gigimu akan sakit. Kalau kau baca buku, nanti kau jadi anak pintar," tutur Advait lembut, tetapi Arshika malah mencak-mencak sambil merengek.

"Advait~ Temanku, calon suaminya adikku ..." panggil Arhaan sambil berlari-lari slow motion dari dalam rumah menghampiri Advait dan Arshika. Setelah sampai, ia peluk erat Advait dengan dramatisnya seperti dua sahabat yang lama tak bertemu. "Bagaimana kabarmu, Kawan?"

"Aku baik. Kau?" balas Advait.

Arhaan menunjuk dirinya sendiri dari atas sampai ke bawah. "Seperti yang kau lihat, aku selalu baik," katanya. Ia lalu merangkul pundak Advait, "Kau mau dapat restuku untuk menikahi Arshika, tidak? Kalau mau, ayo ikut aku,"

"Siapa yang mau menikah? Aku masih kecil," jawab Advait dengan polosnya.

"Maksudnya nanti. Sekarang kau ikut aku dulu," ajak Arhaan kekeh.

"Arhaan, Arshika, Advait, ayo makan dulu!" panggil Abhram dari depan pintu.

"Yahh makan. Ya sudah, nanti saja kita jalan-jalannya. Sekarang ayo makan dulu, Adik-adikku," Arhaan merangkul pundak Arshika dan Advait; berjalan bersama-sama memasuki rumah.

Di ruang makan, sudah ada Rhea, Zoya, dan Rajveer. Rishi tidak ikut sebab ada pekerjaan penting yang mengharuskannya tetap masuk di hari libur ini.

"Ibu, aku mau disuapi Ibu," pinta Arshika seraya mendudukkan dirinya di sebelah Rhea.

Our Impossible Love (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang