Makin hari Khansa dan Bima semakin dekat. Mereka sarapan bersama—terkadang dilakukannya di rumah Bima atau pun di rumah Khansa, makan siang bahkan makan malam pun berdua. Hari minggu mereka habiskan dengan nonton film laga. Memang berbeda dengan Jasmine yang suka film romantis, tapi Bima lebih menikmati keunikan Khansa. Gadis tersebut memang diciptakan istimewa. Bima menyelipkan doa semoga Khansa diciptakan untuknya. Sorenya, Bima mengajarkan Khansa berselancar. Untungnya ombak tidak terlalu besar sehingga Khansa berselancar dengan aman. Masih dengan tidak bisa berenang, tapi pria itu dengan sabar menuntun Khansa agar tidak kelelep.
Makin ke sini, Bima semakin jatuh cinta pada Khansa. Gadis itu tangguh dan kuat. Jauh berbeda dengan Jasmine yang manja dan tidak berani belajar jika sudah takut. Hal tersebut berhasil membuat Bima semakin terpesona. Rasa takut kehilangan pun semakin masuk ke relung hatinya. Sesekali tersirat di benaknya ingin menyatakan cinta, tapi ia takut bertepuk sebelah tangan.
Hari seninnya Khansa menghabiskan waktu menyelesaikan laporan akhirnya. Bima dengan setia menemani gadis itu. Jika biasanya Khansa yang memilih makanan apa yang akan mereka santap, di hari itu Bima yang mengambil alih walaupun ia tidak bisa masak. Mengandalkan delivery, Bima memesan banyak makanan untuk asupan otak Khansa. Melihat itu, gadis tersebut tersanjung. Memang pernah ada lelaki yang memperlakukannya demikian selain sang kakak. Namun, bersama Bima rasanya berbeda.
“Sudah siap!” seru Khansa tepat pukul lima sore. Ia merenggangkan tubuhnya sambil berdiri. Bima yang sedari tadi selonjoran di sofa pun ikut bangkit. Ia mendekat dan mengelus puncak kepala Khansa. Sepertinya, pria itu candu melakukan hal tersebut.
“Bersih-bersih, gih. Terus kita ke depan cari ice cream,” perintah Bima yang disambut hangat oleh Khansa.
Sore itu, dengan ditemani ice cream, Khansa dan Bima duduk di tepi pantai. Mereka semakin akrab dan banyak bertukar cerita. Dari curhat tak sengaja itu, Bima tahu keluarga gadis itu. Ia juga tahu kebiasaan ajaib Khansa, seperti tidak bisa dibangunin lagi tidur, geli sama cumi yang mengeluarkan tinta hitam, takut kodok, dibesarkan dengan sistem otoriter, tapi penuh kasih sayang, dan masih banyak lagi.
Selasanya, Bima mengajak Khansa jalan-jalan ke mal. Padahal, Khansa bukan tipe yang suka ke tempat tersebut. Ke sana hanya sekadar ke super market doang. Namun, hari ini ia terpaksa menemani Bima ke sana. Pria itu hendak membeli peralatan sebelum berlayar—seperti perlengkapan mandi, dalaman baru, beberapa kaos baru, sandal, dan masih banyak lagi.
Ada hal yang tidak disukai oleh Khansa dalam jalan-jalan ini. Bukannya tidak suka, sih, tapi lebih ke risih. Dalam setahun, ia tidak pernah membeli barang brandid walaupun ke kampus bawa mobil dan dari jurusan kedokteran yang katanya berasal dari orang kaya. Khansa yang dibesarkan dengan kesederhanaan terbiasa beli baju di aplikasi orange yang lebih murah dan kualitas lumayan disimpan sampai dua tahun pemakaian. Dan hari ini, untuk pertamakalinya ia masuk ke toko brandid seperti Gucci, Prada, dan masih banyak lagi. Untuk satu kaos saja, Bima membelinya dari salah satu brand yang terkenal. Khansa yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng.
Namun, bukan Khansa namanya jika tidak protes. Begitu melihat harga satu kaos berwarna abu-abu Khansa berkata, “Ya ampun, Kapten. Ini mah bisa beli di keranjang orange lebih murah. Harga segini bisa beli satu buku kesehatan untuk saya.”
Pria tersebut terkekeh mendengarnya. Ia tak banyak bantah karena sudah tahu bagaimana kesederhanaan Khansa. Namun, ia yang terbiasa dengan barang mewah pun tak bisa beralih ke mana pun. Alhasil, sepanjang jalan Khansa mengatakan pria itu boros dan buang-buang uang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Terlalu Dalam
RomanceKenakalan anak-anak bermain di dermaga membuat Khansa menemukan buku bersampul kulit sintetis berwarna biru laut. Ia jatuh cinta pada kisah di dalam sana. Membuat ia yakin bahwa Tuhan membawanya ke arah impiannya. Membantu Khansa ternyata menjadi pe...