DH-32. Kian Menderas

75 13 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

"Terlalu sibuk mengeluh saat diberi ujian, sehingga lupa bahwasannya, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang sabar."

-Happy Reading!-

🕊️🕊️🕊️

Saat kau memulai sesuatu karena Allah, maka jangan berhenti hanya karena ucapan manusia.

Setidaknya sepenggal kalimat tersebut yang membuat Aira bertahan sampai detik ini. Tetap memaksakan diri pergi ke masjid, meskipun pada kenyataannya tidak ada satupun anak dari kampungnya yang datang.

Ultimatum dari Ibu anak-anak itu kini sudah terlaksana. Mereka tidak membiarkan anaknya untuk kembali mengaji bahkan hanya untuk sekedar mengucapkan perpisahan pada Aira.

Hanya ada satu orang yang datang, yakni Fatimah.

Fatimah yang tinggal berbeda kawasan dengan mereka mungkin belum tahu tentang masalah ini.

"Kak, temen-temen ke mana, ya? Kok pada barengan nggak ngajinya."

Fatimah bertanya sembari celingukan. Anak itu tengah duduk di samping Aira usai melaksanakan shalat maghrib berjamaah. Kening putihnya berkerut. Merasa heran dengan keadaan yang seolah tidak biasa. Di mana masjid terasa sunyi sepi tanpa anak-anak yang biasa hadir mengaji.

Hanya ada beberapa bapak-bapak, juga makmum perempuan yang tiada lain merupakan dirinya dan juga Aira.

Mendengar pertanyaan itu Aira menunduk. Ia berusaha menguatkan diri untuk berterus terang pada Fatimah.

"Fatimah, mungkin mulai hari ini kita mengaji di rumah masing-masing aja, ya. Fatimah mengaji di rumah Fatimah, dan Kakak mengaji di rumah Kakak. Begitupun dengan anak-anak yang lain. Kita bisa tetap belajar membaca dan mempelajari kitab suci Al-Quran secara otodidak di rumah masing-masing," kata Aira.

Fatimah yang tidak mengerti pun mengedipkan mata bulatnya beberapa kali. "Kenapa harus mengaji di rumah masing-masing, Kak? Kan udah seru ngajinya di sini bareng-bareng. Bisa sambil main, sambil bercerita, sambil nanyain tugas sekolah juga ..."

"Maafin Kakak, Fatimah. Tapi mulai sekarang hal seperti itu nggak bisa lagi Kakak lakukan. Kakak ... nggak bisa ngajar kalian mengaji lagi di sini."

"Kak?" Tangan mungil Fatimah langsung menggenggam tangan Aira dengan erat. Anak itu meminta penjelasan. "Kenapa Kakak nggak bisa mengajar kami mengaji lagi? Kami udah bikin Kak Aira pusing kah?"

"Bukan karena itu, Fatimah. Sedikitpun Kakak nggak pernah ngerasa pusing karena kalian."

"Terus kenapa sekarang Kak Aira nggak mau ngajarin kami mengaji lagi?"

Suara parau dari Fatimah terdengar begitu menyayat. Merobek ulu hati Aira yang sedang berusaha Ia kokohkan sejak tadi.

"Padahal Fatimah lagi seneng-senengnya belajar tajwid. Fatimah juga lagi seneng ngehafal surat pendek. Meskipun otak Fatimah agak kurang pinter, tapi cita-cita Fatimah kan mau jadi penghafal Quran. Jadi mumpung masih kecil, Fatimah harus terus belajar menghafal Al-Quran dan nggak boleh berhenti mengaji, kan, Kak?" tanya Fatimah.

Keinginan anak itu mulia sekali.

Membuat Aira yang mendengarnya menjadi semakin tidak tega. Dirinya merasa serba salah.

Ya Allah, bagaimana cara menjelaskannya pada Fatimah? Mustahil rasanya jika hamba memberi tahu kejadian sebenarnya, bahwa Ibunya anak-anak tidak lagi mengizinkan hamba untuk mengajari mereka mengaji lagi di sini.

Dia Humaira ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang