Our First Met

27 1 0
                                    

Karena alur hidup ada yang mengatur.

-Skala, 2012

***
(2012)

Pagi ini orang tuaku ribut lagi masalah ekonomi.

Hm, telingaku rasanya hampir kebal. Tapi sayangnya mood dan perasaanku masih butuh obat soal hal ini. Gimana tidak, pagi-pagi begini yang harusnya dipenuhi energi positif untuk beraktifitas, ini malah mendengar ocehan-ocehan yang bahasannya tidak jauh dari 'uang'.

Baiklah, jangan dibahas lagi.

Aku masih kelas satu SMP. Tepatnya, ini hari pertamaku masuk sekolah sebagai calon siswa SMP di kota kelahiran ibuku.

MOS. Masa Orientasi Siswa. Begitulah mereka menyebutnya. Seragam merah putih, rambut dikuncir pita merah, nametag tergantung di leher, dan tas ransel berisi persyaratan unik dari kakak OSIS telah kupersiapkan dengan baik. Ya, setidaknya aku masih bisa menjalani hidupku dengan baik, meski di rumah keadaan tidak sebaik di luar.

"Skala!" Seorang gadis seumuranku memanggilku dari dalam gerbang sekolah. "Mbak Maudi!" Aku berlari kearahnya dengan senyuman. Iya, aku pandai menutupi perasaanku sendiri.

"Mbak nunggu kamu dari tadi. Kirain kamu gajadi sekolah di sini bareng mbak.."

"Lah mbak, jadi dong masa iya gak jadi.."

"Iya, mbak denger dari mamah.. kamu katanya mau didaftarin ke sekolah di kota."

"Iya mbak, awalnya begitu. Tapi, ibu sama bapak gak cukup biaya buat daftarin aku di sana."

"Owalaa.. bagus deh."

"Loh, mana ada.."

"Ya, kamu kan jadi bisa bareng sekolah di sini sama mbakmuu."

"O iya juga.. wkwk" Aku tertawa kecil.

Mbak Maudy adalah anak dari kakak ibuku. Wawa. Aku menyebut mamah dari Mbak Maudy seperti itu. Kami sudah akrab sejak kecil. Meskipun sebelum aku pindah kesini kami hanya bertemu saat lebaran, tapi rasanya kami tetap sedekat itu.

Usia kami terpaut satu tahun. Tentu saja Mbak maudy lebih tua dariku. Namun, kini kami berada di angkatan yang sama. Katanya, ibuku dan wawa sengaja menyamakan jenjang sekolah kami, agar suatu saat bisa sekolah bersamaan. Ya, cita-cita mereka terkabul saat kami masuk sekolah menengah pertama.

"Ruangan kita beda La, aku di B kamu di F.  Ruang F ada di ujung sana dekat lapangan upacara." Jelas Mbak Maudy setelah menelaah daftar nama yang tertempel di mading sekolah.

"Okedeh mbak gapapa." Jawabku agak sedih. Ya, karena aku rasa aku belum mengenal siapapun di sini selain mbak maudy.

***

Aku memasuki ruang kelas F yang ternyata sudah penuh. Beberapa saat, aku memantau kursi mana yang kiranya bisa aku duduki. Sampai akhirnya aku melihat seorang gadis duduk sendirian di bangku paling belakang.

"Aku boleh duduk di sini?"

"Iya, boleh."

Hm, anak pendiam, batinku. Nametagnya bertuliskan nama 'Dila'

"Dila ya? aku Skala."

"Halo."

Ya sudahlah, mungkin dia tidak ingin diajak bicara.

"Skala? namanya unik. Kenalin aku Nanat." Anak perempuan berambut lurus sepinggang yang duduk di depan mengajakku bicara.

Sejak saat itu kami semakin dekat. Siapa sangka Nanat dan Dila akan sekelas denganku di kelas 7B. Satu tahun kebersamaan kami membuat kami benar-benar seakrab itu. Bukan hanya tentang hal seputar sekolah, tapi mereka tidak segan setiap hari berkunjung ke rumah kecilku sepulang sekolah. Katanya, rumahku adalah basecamp kami.

Mbak Maudy yang awalnya sedikit canggung dengan mereka pun pada akhirnya menjadi sosok kakak tertua di geng kami. Siapa kira Mbak Maudy pun akan dimasukan ke kelas yang sama di kelas 8 dan 9. Ya, sempurna. Kehidupan persahabatanku selama mengenyam bangku sekolah menengah pertama benar-benar sangat menakjubkan. Hingga akhirnya di kelas 9 kami malah menyukai satu orang yang sama.

Ada yang bilang, katanya perempuan harus kuat dari dua hal, pertama lawan jenis, kedua omongan orang. Ya, aku mulai merasakan kalau satu orang laki-laki di usia remaja saja bisa hampir menghancurkan persahabatan yang ikatannya sangat kuat.

Namanya Imam. Anak lelaki tampan yang jadi andalan guru-guru di sekolah. Dan ia malah dimasukkan ke kelas yang sama dengan kami di kelas 9. Ya, aku pernah mendengarnya dari anak-anak geng gosip di sekolah bahwa Imam adalah anak lelaki idaman. Tapi, aku yang terlalu fokus pada tujuanku sama sekali tidak menghiraukannya. Lawan jenis adalah musuh nyata bagiku yang sewaktu-waktu bisa menggagalkan rencana besarku. Bagiku, mempertahankan predikat juara umum sekolah tidaklah mudah. Apalagi jika harus diganggu perasaan-perasaan menggelikan yang disebut orang 'jatuh cinta'.

Tapi sialnya, kami berempat malah menyukainya bersamaan.


***









After Our Twenty-TwoWhere stories live. Discover now