(Suatu hari di Kota Lulo, Juli 2022)
Kembali pada pergulatan. Pagi hari sampai Maghrib, duniaku disibukkan dengan agenda menemui sejumlah klien baik dari kalangan para pejabat, hingga masyarakat biasa. Terkadang, tubuh ingin berkata jika ia sedang lelah. Namun apa boleh dikata, informasi tagihan biaya kuliah yang harus segera dibayar muncul secara berulang di beranda WhatsApp. Hal yang membuat tidak nyaman adalah notifikasi itu muncul juga di pesan WhatsApp Nawa, lelaki yang selalu siap sedia menerima aduanku. Dia menjadi wali ku di data akademik kampus tempatku memperjuangkan gelar M.M. Aku yang belum mempunyai penghasilan tetap pada setiap bulannya, sangat berat untuk mengutarakan jika sedang membutuhkan sejumlah dana. Untungnya, aku menyenangi pekerjaan yang aku lakoni itu karena suka menulis. Passsion. Hobi aku. Keinginan aku. And i enjoying it. Aku bisa nulis sambil rebahan. Sambil nyantai. Sambil jalan. Sambil kemana aja. Bisa diselingi dengan kegiatan lain. Setiap hari sebelum berangkat untuk liputan, satu kalimat ajaib yang harus aku ucapkan adalah : hari ini harus dapat uang minimal seratus. Nyatanya, aku berhasil mengumpulkan uang sebesar 1 juta dalam waktu seminggu untuk mencukupi kebutuhan pembayaran tagihan semester. Meski, selama proses upaya mencari pundi-pundi itu, nawa sempat memastikan apakah aku tetap bisa mengikuti ujian di pertengahan semester itu atau tidak. Ia bilang akan membantu mencukupi kekurangan tagihan SPP. Dalam kondisi harus bayar SPP namun tidak punya cukup biaya sementara orang tua pikir aku tetap bisa mengikuti ujian. Karena prinsipnya selama menjalani study magister, segala kebutuhan terutama financial harus aku usahain sendiri. Saat aku sendiri di kamar, aku diam aku nangis air mata tuh keluar dengan sendirinya. Aku cuma terharu aja. Kok aku kuat ya ada dalam kondisi seperti itu. Di tahap itu. Tapi karena cita cita aku, aku tetap jalani pekerjaan jadi jurnalis, jadi mahasiswa s2 dengan sistem jarak jauh. Aku berdoa sama tuhan, pokoknya kalau memang dia ridhoi pasti ada saja jalannya buat aku bisa UAS. Yang bisa kulakukan hanya berDoa; sebuah kata yang hanya dengan dia aku bisa mengatakan hal hal yang sulit aku rasakan. Aku hanya perlu menankam sikap Resilience; dimana selalu ada alasan untuk bangkit, meski perih tidak semuanya luruh. Sebab jiwa butuh tahap untuk benar-benar pulih. Beberapa hari kemudian, aku mengabarinya jika dana buat bayar ujian UTS telah cukup. Sedikit demi sedikit aku kumpulkan dari gaji liputan dan bantuan abangnya. Senang beradu haru rasanya kala itu. Lalu masuk pesan WhatsApp darinya. "Maaf sekali dek. Tidak ada pi bisa ku bantuanku", katanya. Aku mencoba menguatkan ia bahwa itu tidak mengapa, dukungan moril pun sudah sangat berarti untukku dari dia yang sejak awal mendukung ku melanjutkan study. Aku menjadi merasa sangat bersalah membuatnya ikut memikirkan kebutuhanku sedang aku tahu ia juga punya adik yang harus sekolah. Kemudian aku berpikir bagaimana caranya agar aku dapat membalas kebaikan orang-orang seperti mereka. Dalam otakku, berarti aku harus bisa kalahkan tantangan menuju S2 ini. Pokoknya harus sukses magisternya. Inilah yang menjadi salah satu alasan untuk menyelesaikan magister. Ingin bantu orang yang kesusahan. Karena tau bagaimana rasanya disaat susah. Tau rasanya bagaimana meminta sama orang yang saat itu tidak bisa membantu kita.
"Semoga kedepannya bisa bantu yahhh. Doakan kakakmu ini bisa dapat kerja yang baik".
Sedih sekali. Saat ini juga sangat susah susahnya nyari kerjaan. Sangat sulit. Tapi harus dihadapi.Di penghujung Juli, sungguh luar biasa ujiannya. Naskah puisi yang siap kirim ke penerbit, gak tau gimana ceritanya gak dapat filenya di leptop. cek pengumuman beasiswa ternyata gak lolos. Subhanallah. Luar biasa Tuhan menguji hambanya. Aku yakin, jika ini mudah maka banyak yang akan meraihnya. Jadi, demi s2 aku akan berjuang. Jika bisa, aku mau buka beasiswa sendiri.
Tanggal 4 September adalah hari dimana kebahagiaan ku bercampur air mata. Aku mendapatkan hadiah berupa handphone dan diserahkan langsung oleh gubernur kami di bumi Anoa atas kuis yang aku ikuti saat meliput agenda pemerintah provinsi saat itu. Sepulang kerja, aku mengecek nilai mahasiswa yang keluar di sistem akademik kampus. Tak disangka, perjuangan aku untuk bayar SPP sambil kuliah jarak jauh ternyata harus menemui batu kerikil. Nilai yang keluar adalah Eror. Ketika aku menghubungi pihak kampus, hanya diarahkan untuk mengulang mata kuliahnya pada semester berikutnya. Kemarin senang, hari ini putus asa. Kembali semangat, tidak boleh menyerah. Tapi aku yakin ketika aku melambungkan mimpiku setinggi mungkin, aku sudah tahu bahwa tidak mudah untuk menggapainya. Tetapi aku percaya, jika itu tidak sulit, maka hal serupa bukan hanya aku yang berusaha mewujudkannya. Yakinlah, ...
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Nawaitu (NTIARASI) 365 Hari
RomanceProlog Seorang perempuan yang ambisius dalam pendidikannya harus menerima petualangan penuh lika liku ketika diperhadapkan dengan orang yang menyayanginya. Tetapi tidak mendukung perihal pikiran brilian dan mimpinya yang visioner. Mutiara bersikeras...