13

1 0 0
                                    

(ketika hijrah ke ibukota, 8 Oktober 2022)

Semuanya rasanya tiba-tiba. Aku memang belum merencanakan hal apa saja yang akan aku lakukan disini selain kuliah. Tanggal 8 Oktober aku hijrah ke Jakarta. Satu alasan utama adalah cita cita saya, dimana prosesnya harus selesai magister. Kuliah yang mengharuskan tatap muka membawa saya pada hijrah itu. Setiba di Jakarta, saya mengabari orang orang penting yang berperan dalam proses ini, termasuk Nawa. Dia langsung mengirimkan brosur beasiswa yang dibuka pada periode itu. Saat itu pula dia mengarahkan untuk melengkapi berkas persyaratan pendaftaran. Perihal urusan rekomendasi ada abangnya dan kakak senior saya yang perempuan di ibukota. Dia memang begitu prihatin dan perhatian pada keadaanku, dimana setiap menjelang ujian semester harus menerima pesan tagihan. Kurang lebih dua Minggu, aku menyiapkan berkas keperluan untuk submit beasiswa, dibawah bimbingannya dan salah seorang perempuan baik hati yang memberiku tempat bernaung. Aku selalu percaya, bahwa "Hidup itu agenda-Nya. Kita hanya perlu menunggu arahan. Kalau dia yang mengatur tidak pernah tidak karuan. Sampai langkah sejauh ini, Dia selalu mengirim orang-orang baik, membawa hal hal baik. Mereka tidak lagi mempersoalkan karena saya Perempuan. Justru lebih melihat sebagai perempuan yang utuh dengan segala potensi dalam diri keempuannya".

Setelah beberapa pekan menunggu, akhirnya informasi pengumuman keluar juga via email. Aku mengabarinya. "Alhamdulillah. Bismillah dek Ra, kau pasti jadi orang besar kelak. Kuncinya sabar dan ikhlas serta banyak bersyukur. Pasti semesta bekerja baik untuk carikan rezeki. Teruslah belajar dan berjuang, Tuhan sedang memperhatikan mu", katanya menyemangati lewat pesan singkat. Aku lalu berucap terima kasih dan bersyukur atas apa yang aku temui di dalam perjalanan panjangku. Kemudian pada suatu malam, ia mengirimiku bukti transfer terbilang ratusan ribu. "Kamu harus semangat kuliahnya. Biar bisa jadi ekonom yang handal. Ra, fokus kuliah saja yang bener. Biar ada oleh-oleh balik kampung. Insya Allah kamu harus jadi orang, membanggakan keluarga mu, kampung dan kedua organisasi mu," sambungnya. Ia memang tiada henti-hentinya memberiku wejangan agar menjalani kuliah dengan penuh semangat dan tidak tergiur dengan gemerlap kehidupan ibukota. Pergaulanku ia pantau agar tidak salah langkah. Karena aku sebagai perempuan katanya, hingga sikapnya yang protektif terhadap ku begitu tinggi. Wejangan demi wejangan ia sampaikan setiap kali bercengkerama baik tatap muka ataupun hanya melalui pesan singkat. Ia selalu menekankan agar menghayati dan berpikir secara filosofis terhadap apa yang telah aku peroleh selama menjalani proses sejauh ini. Hal itu tujuannya cukup sederhana, yakni agar aku tidak lupa diri dan tidak mudah dan cepat merasa besar. "Tanpa disadari diantara kita kerap kali lupa untuk melihat. Melihat siapa yang mengajak kita untuk belajar melangkah di tangga paling bawah. Sebab mata terlanjur silau dengan apa yang kita temui di puncak".

Ia selalu memberiku pundi-pundi untuk membeli kebutuhanku, atau menawarkan traktiran dimana saja mauku. Perhatian itu menjadi pemacu semangat untukku agar bisa fokus pada urusan study. Bahkan, ia melarang ku untuk bekerja jika masih dalam proses menjalani kesibukan dengan perkuliahan. Quotes keren pun datang darinya yang sempat aku abadikan dalam sebuah gambar kecil; aku ingat bunyinya seperti ini "orang nggak pernah bantu saya aja saya bantu, Apalagi kamu sering bantu saya masa saya mau diam-diamkan". Cukup sederhana, tapi substansi dari kalimatnya cukup mengena di hati dan pikiranku saat itu. Hubunganku dengannya adalah bagai saudara, dimana kami saling memperhatikan satu sama lain, saling membantu dalam beberapa hal. Aku pun membantunya hanya sebisa yang aku mampu saja. Tetapi kebaikan - kebaikan mengalir terhadap ku tanpa aku sangka-sangka. Namun ada satu hal yang rasanya kurang mengenakan hati. Nawa memperlihatkan salah seorang perempuan yang ia puja pada sebuah foto di ponselnya. Saat itu kami bercengkerama, tentang beberapa hal termasuk niatnya mencari pendamping hidup. Maka "Pulang menjadi suatu pekerjaan yang aku segerakan setelah tahu; namaku sekadar ku tulis di buku tamu".
Untuk persoalan satu ini, cinta - aku memang diwanti-wanti agar menoleh dulu pada perihal itu. Namun bagaimana bisa aku membohongi diri jika perasaan itu ada. "Welo late-lateku nagha. Fekiriku humpumo kamboimu. Podiumu ne inodi nokokasinta. Laloku nopupu ne ihintu". Dan, sama sekali hal itu tidak ada yang tahu selain diriku. Aku memilih menyimpannya rapat - rapat. Karena dalam otak dan pikirku telah didoktrin bahwa tugasku hanyalah mengurus study agar bisa menjadi orang. Ya tentu saja, cinta yang berkelas akan datang dengan sendirinya tanpa aku bersusah-susah menemukannya. Meski begitu, sesekali waktu pikirku mengembara ke semua penjuru dan selalu saja kembalinya pada tentangnya. Karena mau gimana pun situasinya, pikirku selalu tentangmu, atau kerap aku sebut magister. Lalu menarilah sebatang pena dj jemariku dalam sebuah puisi berisi bahasa kalbu.

(Di ibu kota

Di atas aspal jalanan ibu kota aku memacu langkahku
Pada tiap tapaknya harapan runtuh satu per satu
Usai mendapatimu sedang di taman hati yang baru
Memupuknya rutin di setiap pagi mengawali harimu

Selaksa alasan mengapa dikau kupuja
Tiada pernah cukup dengan mantra beribu bait
Sampai begitu kerasnya aku pada diriku
Menggiring kata pada imaji bahwa daksa akan bertaut

Setiap kali pikirku mengembara
Tetap saja menemukan jalan kembali pada tentangmu
Masih ada wujud rindu yang kerap menyapa
Sebab akhir cerita yang kumau selalu kamu

Di sini mengapa asmara tidak bisa dikalibrasi padahal kata orang ini kota kolaborasi
Di sini, muncul pelangi beribu warna di matamu setelah dua tatap kalian saling sinergi

Di kau ...

Serupa senja, makin lama ku pandangi kian memudar, lalu menghilang perlahan
Serupa pasir, semakin tak bisa ku miliki seiring aku mengeratkan genggaman

Jakarta, 9 November 2022)

Arti jarak bagiku adalah ketika hatimu dan hatiku tak berada di relung sama. Ketika itu pula, aku membayangkan wajah ayahku. Pernahkah terpikir apa hendak tuan lakukan usai pergi? Lara dapat juga mendera rasa pengembara ulung manakala rindu memaksa bertuan(g).

Dari Jakarta ...

Derai air mata menghujani aspal ibukota sore ini
Mengairi hingga ke selongsong hati yang tengah rindu
Seperti tidak mau kalah pada mentari pagi tadi
Tetiba membuat didih tungku pengharapan nona desa

Bianglala selusin warna tiada lagi didapatinya
Pada kedua bola mata lelaki yang mendengar kata hatinya tanpa ia bercerita
Lelaki yang dalam matanya ia dapati sebutan purwarupa cinta

Sosoknya tinggi kokoh, pikir prinsipnya keras
Saat perempuannya memilih berpacu di palagan hidup penuh liku
Dirinya gigih menyalakan suar meski dari sebalik sisi bumi dibelah lautan lepas
Menjadi pilar memasang mozaik cita dan imaji seorang pemimpi

Doanya mengiringi setiap langkah juang anak daranya
Tidak hanya separuh nafas ia relakan, bahkan nyawa pun ia siap beri membekalinya bertarung memenangkan hidup yang ia pilih

Padanya, sosok rupa derana sang perempuan desa ini ingin mengeratkan peluk
Menumpah segala pelik yang hanya bisa diwakili air mata

Dari Jakarta...
Selamat Hari Ayah
Dari anaknya ...
Tiap Lelaki yang dipanggil ayah

Jakarta, 12 November 2022

Bersambung...

Nawaitu (NTIARASI) 365 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang