Almari

296 36 11
                                    

   Pukul 14.00, setiap siswa sekolah berkumpul di ruang aula, tanpa kehadiran para guru. Naufal, Januar dan Revan tentunya juga di sana. Haikal? Dia menunggu ketiga kakaknya di SMP yang memang satu wilayah dengan SMA.  Naufal selaku yang dipercaya untuk menjaga teman-temannya, kali ini berdiri di depan dengan tatapan sendu. Dia akan menangis jika tidak mementingkan harga diri.

   "Kalian....." Dia menarik napas lantas membuangnya seraya melanjutkan kalimat, "apa yang kalian pikirkan? Apa yang kalian mau? Tidak lelah kalian melakukan hal tidak berguna seperti itu?"

   Suasana lengang sekejap, setelahnya Aryo tertawa tipis selayak mengejek. Dia maju menghampiri Naufal. Menepuk pipi lawan bicara pelan. "Lebih baik babu sekolah diam saja!" suara bariton itu jelas bernada mengejek. Puluhan siswa tertawa puas mendengar ejekan Aryo. "Tahu apa kau soal kita? Asal tahu saja kita di sana berjuang!"

   Ia mendorong bahu Naufal mengenakan telunjuk, tak sadar setiap tindakannya telah mengundang murka Januar dan Revan di belakang.

   "Hahahaha, Astaga, si bodoh sedang berbual," suara Revan mengalihkan atensi pria yang sedang merundung sang kakak.

   "Cebol diam saja!"

   Ia kembali menghadap Naufal, menunggu beberapa patah kata kan dilontarkan lawan bicara. Dengan sigap dan tegas Naufal jauhkan jarak antara keduanya beberapa senti, mendorong pelan bahunya, agar pria itu agak mundur dari wajah.

   "Berjuang?"

   "Harga diri," geram Aryo.

   Menggelikan. Ketika si bodoh telah bertindak sekalipun berucap isinya berada di luar nalar. Tidak sadar.

   "Harga diri? Justru kalian malah membuat harga diri kalian sendiri seperti kotoran, melakukan hal-hal tak berguna seperti malam itu. Setiap sekolah memiliki porsinya sendiri. Dari pada membuang waktu seperti itu, alangkah baiknya kita melakukan hal yang lebih berguna, Meningkatkan kualitas kita!"

   Terpatri seringai pada wajah Aryo. Lantas melayangkan satu pukulan mengenai rahang pria yang tengah berceramah hingga tersungkur. Ia merangkak di atas, menggenggam kerah Naufal yang tetap tenang mengusap sedikit darah di ujung bibir.

   Januar Kepalang kesal menarik baju Aryo lantas memukulinya bertubi-tubi. Ia cengkeram kerahnya, lantas buku-buku jari mantap mendarat di pipi, rahang, pelipis Aryo.

   Penganut berandalan tadi tidak terima hendak menyerang. Sudah bangkit dari bangku masing-masing. Dengan cepat Revan mengeluarkan Five-seveN. Senjata asal Belgia dengan Damage rendah, reload cukup lama, Namun memiliki kapasitas magazine lumayan, ROF tinggi pula. Kemungkinan beberapa dari mereka musnah dengan keakuratan tembakan Revan. Tapi tidak, pistol ini ia tak arahkan pada satupun manusia dengan pikiran kalut—takut. Di bidik sebuah tabung berjarak 10-15 meter ujung aula. Entah berisi cairan ataupun gas, barang itu akan meledak jika dihujani peluru. Radius besar. Jarak tersebut sudah lebih dari cukup dengan keefektifan senjata yang mencapai 25 meter atau bisa saja lebih.

   "Kau gila!" Salah satu siswa menyadari dan berseru.

   "Memang," tukas Revan tegas.

   Naufal menggelengkan kepala. Ia mengeluarkan suara berat nan tingginya. "Berhenti! Pulang semuanya, dinginkan kepala memanas kalian!"

   Revan menarik Januar yang sedang bergulat dengan Aryo.

   Tak lama kemudian sekolah mulai sepi. Hanya tersisa tiga pria sedang duduk melingkari sebuah meja.

   "Jadi itu gunanya tabung yang bertengger di aula."

   Revan mengangguk kecil menanggapi Naufal.

Utopia 2014 || The Prologue [End]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang