Aku berdiri di ujung pintu. Rasa enggan menggelayuti dada. Laki-laki yang dulu gagah, tampan, namun, tak berperasaan itu, kini tergolek lemah di ranjang pesakitan. Alur basah menjejak di pipi tirusnya, menggambarkan sisa tangisan.
Tatapan yang dilayangkan Ibu, sarat permohonan. Kuturuti hanya demi tak mengecewakannya. Tak sepatah katapun terucap, aku seperti terjebak oleh suasana asing yang menyesakkan.
Hati-hati Ibu menyentuh lengan Ayah, sementara aku tetap diam tanpa tahu harus melakukan apa. Pelan mata tua itu terbuka. Disusul tetes demi tetes kristal bening, seperti menebar banyak makna. Namun, aku tak mampu memahaminya.
Aku segera berbalik, meninggalkan kamar rawat dengan dada sesak. Mengabaikan tatapan orang-orang, air mata menganak-sungai tak tertahan. Cukup lama dan baru berhenti ketika Ibu duduk di sampingku.
"Maafkan ayahmu, Galuh ... ada banyak hal yang tidak kamu mengerti." Telapak tangannya menggenggam tanganku.
Kusandarkan kepala di bahunya. Perempuan tabah, dengan persediaan maaf yang tak pernah ada habisnya.
Ibu perempuan istimewa, sosok sempurna bagiku dan Mas Gandhi. Entah kenapa Ayah begitu sampai hati memperlakukannya semena-mena. Seenaknya datang dan pergi dari rumah. Seminggu muncul, setelah sebulan atau beberapa bulan menghilang. Kemana? Entahlah. Sebab Ibu selalu memberikan jawaban yang sama; 'Ayah sedang dinas luar kota' di waktu yang berbeda-beda. Hingga akhirnya aku dan Mas Gandhi memilih tak lagi bertanya.
***
Sabtu pagi, aku kembali datang. Kulihat Mas Gandhi sudah lebih dulu berada di sana. Ada juga Mbak Sea, istrinya- yang sedang memijit kaki Ayah.
"Hai, Mbak! Ibu mana?" tanyaku pada Mbak Sea, setelah sebelumnya basa-basi menyapa Ayah.
"Ibu lagi ke apotek, Ayah kehabisan diaper," sahutnya.
"Luh, kita bicara di luar." Belum sempat mendaratkan bobot tubuh, Mas Gandhi sudah menyeretku ke luar.
Mas Gandhi mengajakku merapat ke balkon, di ujung selasar ruang Anggrek. Agak jauh dari kamar rawat Ayah.
"Ayah sudah menikah lagi," ucap Mas Gandhi dingin.
Aku sama sekali tak terkejut. Sesuatu yang sudah kuketahui sejak beberapa bulan silam. Hari di mana seharusnya aku bahagia dengan kelulusanku. Namun, justru dihadapkan pada kenyataan pahit.
Semesta sedang bergurau dengan caranya. Tak sengaja kulihat Ayah tengah melangsungkan pernikahan. Di KUA yang persis bersebelahan dengan gedung sekolah. Sejak saat itu kubulatkan tekad untuk kuliah di luar kota. Hanya agar aku bisa menyimpan rapat-rapat rahasia itu seorang diri.
"Aku sudah tahu, Mas." Lalu mengalir lah cerita yang selama ini kupendam sendirian.
"Harusnya kamu cerita sejak dulu, Luh!" tuntut mas Gandhi.
"Aku tidak mau menambah luka Ibu, Mas." Sesak yang kutahan telah berganti isakan.
***
Pranggg!!!
Aku menyusul Mas Gandhi yang sudah lebih dulu menerobos kamar Ayah. Di dalam sana, Ibu tengah berjongkok memunguti nasi dan pecahan piring yang membaur berantakan di lantai.
"Sudahlah menyusahkan, masih saja bertingkah," sindir Mas Gandhi sebelum beranjak. Kulihat Ibu memperingatkan lewat tatapan mata.
Kususul Mas Gandhi yang tengah merokok di ruang tamu. Bisa kurasakan, kemarahannya belum sepenuhnya reda.
"Harusnya kamu tak boleh bicara seperti itu depan ayahmu." Lirih suara Ibu memperingatkan.
Mas Gandhi memutar mata bosan, "Giliran sudah sakit, kemana ist ...."
"Mas!" seruku memotong ucapan Mas Gandhi.
Ibu menghela napas berat, "Ibu tahu kalian kecewa, merasa tidak diperhatikan, merasa ditinggalkan,"
Aku dan Mas Gandhi saling pandang.
"Namun, satu hal tidak akan pernah berubah, ia tetap Ayah kalian."
Masihkah Ibu bicara seperti itu, jika tahu kenyataan sebenarnya? Tanya itu hanya tertahan di tenggorokan, tanpa mampu kuucapkan.
Berulangkali Ibu menghela napas panjang. Seperti sedang berusaha tegar dengan segala kepedihan.
"Selalu ada rahasia dalam hidup kita, serapat apa pun menyimpan, suatu saat pasti terungkap ... Ibu sudah tahu tentang pernikahan Ayah kalian." Luruh bahu Ibu ketika mengatakannya.
Aku dan Mas Gandhi menunggu dalam debaran yang kian brutal. Kami tertunduk sedih, merasa bersalah telah menyembunyikan kebenaran ini.
"Ibu menyesal telah memperlakukan Ayah kalian seburuk ini ... Ibu merasa sangat berdosa," tuturnya serak.
"Kenapa harus merasa berdosa, Bu, yang harusnya merasa berdosa itu Ayah!" potong mas Gandhi cepat.
Segala sesak berbaur amarah, kian menguar memenuhi ruang tamu sempit rumah kami.
"Nampaknya mungkin seperti itu, tapi di balik semua peristiwa, Ibulah penyebabnya." Perempuan hebat itu menyusut air mata dengan ujung lengan baju.
"Galuh, tak paham maksud Ibu?" tanyaku polos.
"Tak seorang pun tahu akan dosa Ibu pada Ayah kalian ... ia yang meminta Ibu merasahasiakannya,"
"Ibu harus lebih terbuka pada kami," tuntut Mas Gandhi, lalu merasa tak enak sudah memaksa Ibu.
Ibu tersenyum getir, "Ibu pernah selingkuh dan tertangkap basah olehnya."
Bak geledek di siang bolong, kami terkejut bukan main. Berharap cerita Ibu tak lebih dari sekadar dongeng. Namun, lapis demi lapis rahasia itu diungkapnya bersama dengan lelehan air mata.
"Kami sering bertengkar, lebih tepatnya Ibulah pemicu pertengkaran itu." Ibu mulai terisak.
"Bisa saja Ayah kalian menceraikan Ibu, tapi bukan itu jalan yang dipilihnya, semua dilakukan demi mempertahankan kalian."
Ibu kembali menghela napas. Kali ini getaran di bibirnya tak mampu disembunyikan, "maaf memang diberikan, namun semenjak itu, Ibu telah kehilangan cintanya," pungkasnya seraya membenamkan wajah di telapak tangan.
Jejak hitam yang Ibu ciptakan, berhasil memposisikan Ayah sebagai pecundang, sebagai laki-laki egois dan tak bertanggungjawab di mata kami.
Jangan tanya tentang perasaan, kami tak sanggup menjabarkan. Raga ini bagai terperosok di pusaran hitam, terombang-ambing, gelap, pengap, tanpa cahaya.
***
Selesai