Puan datang di ujung senja, ditingkahi cahaya arunika yang memerah saga. Dengan latar belakang candikala di barat cakrawala.
Semburat cahyanya membias pada kisi nuraniku. Bagai rona di pipi perawan yang tersipu.
Indah ... laksana maha karya Sang Maestro.
***
Puan Nara Laksita. Gadis periang yang hanya dalam sekejap mampu menjungkirbalikkan duniaku. Mengobrak-abrik tembok tinggi yang kubangun, atas kekecewaan di masa lalu.
Nara, begitu aku memanggilnya. Gadis ayu asal Jogyakarta. Gadis yang hampir setiap hari mengunjungi perpustakaan kota. Perpustakaan yang persis berseberangan dengan klinik tempat praktekku.
Mulanya kupikir Nara masih bocah SMA. Postur tubuhnya kecil dengan pembawaan yang lincah cenderung sembrono. Sebuah paket komplit yang ada padanya.
Di luar dugaan, ternyata ia mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikannya setahun lalu. Tepat di usianya yang keduapuluh empat.
Sore itu pertama kali aku melihatnya. Duduk di tepi jendela dengan laptop terbuka. Beberapa buku tebal bertumpuk di meja.
Dari balik jendela ruang praktekku, ia tampak fokus mengetik sesuatu pada laptopnya. Mungkin sedang mengerjakan tugas sekolah.
Sebentar kulihat ia membaca, lalu mengetik lagi. Sebentar kemudian tampak berpikir, mengetuk-ngetuk bibir, lalu mengetik lagi.
Anehnya ia akan melakukannya setiap hari. Selalu begitu, berulang-ulang. Bahkan kebiasaan itu sudah sangat kuhafal di luar kepala.
Di pukul berapa ia datang, dan di pukul berapa ia akan pulang. Lalu duduk seorang diri, menunggu kendaraan di halte sudut jalan. Kebiasaan itu yang membuatku terbiasa memperhatikannya.
Keberadaannya menjadi semacam candu tersendiri untukku. Mampu mengenyahkan kepenatan di sela-sela aktivitas kerja.
Hingga ketidakmunculannya beberapa hari terakhir, cukup menyemai rasa penasaran. Kemana gerangan si gadis SMA?
***
Aku tengah memeriksa jadwal, ketika suster Mila kembali mengetuk pintu.
"Maaf, Dok, ada satu pasien lagi. Barusan datang, sepertinya cukup serius ... apa Dokter masih berkenan memeriksa?" Suster Mila mengulurkan kartu status pasien.
"Ya, boleh, Sus ... langsung suruh masuk aja."
"Baik, Dok."
"Silakan, Mbak, langsung ke ruangan Dokter Ares." Samar suara Suster Mila memantul dari luar, disusul ketukan pintu.
"Permisi, Dok."
"Ya, silakan. Keluhan apa yang dirasakan?"
"Terimakasih, Dok ... beberapa hari ini saya pusing, mual, muntah, tenggorokan sakit untuk menelan."
Aku masih fokus pada kartu status pasien, "Nona Puan Nara Laksita, pusing, mual, muntah, tenggorokan sakit untuk menelan," Aku mengeja nama dan mulai melakukan anamnesis, "Sudah berapa hari keluhannya?"
Aku mendongak dan gotcha!
Cukup terkejut mendapati si gadis SMA ada di hadapanku. Apakah ini kebetulan semata? Semesta seakan menjawab rasa penasaranku.
"Sudah empat hari, Dok. Tapi dua hari terakhir ini, rasanya sakit sekali."
"Baik, silakan berbaring."
Ia beranjak mengikuti perintahku.
Kuraih stetoskop dari kantong snelli dan mulai memeriksa.
Setelah pemeriksaan, aku menyarankan beberapa hal padanya, "Asam lambung kambuh, sebaiknya hindari makanan pedas, berminyak, bersantan. Cukup istirahat, dan makan teratur,"