21. PAYDAY

201 20 0
                                    

PAYDAY

Sebulan telah berlalu Kiara bekerja di Mia Furniture. Bersyukur semua berjalan lancar. Kiara juga hampir memahami seluruh rangkaian kerja dan dia menerima tanggungjawab baru mencatat barang masuk dan keluar serta catatan pengeluaran toko yang berkaitan dengan kas. Semua yang dia lakukan tak luput dari bantuan Mbak Meta. Hari-hari yang semula menakutkan lambat laun sirna karena dibarengi dengan tingkah Aakash yang jahil dan suka membuat kehebohan. Kepedihan dan beban yang Kiara tanggung perlahan terasa ringan jika dia berada di Mia Furniture.

"Kiara, ini gaji dari Ibu, ya. Ibu gak sempat kasih langsung karena dia lagi di luar kota." Aakash berucap seraya memberikan satu amplop berwarna putih.

Senyum kecil terbit dari bibir Kiara. Pertama kalinya dia menerima hasil jerih payahnya sendiri. Sangat melegakan dan juga memuaskan. Terlebih diusianya yang masih 17 tahun sudah bisa menghasilkan uang sendiri dan bisa membiayai kebutuhan dirinya juga untuk pengobatan ibunya. Tak ada lagi rasa malu di hati Kiara setelah menerima amplop di tangan kanannya. Ketika teman seusianya masih meminta dari orang tua, Kiara sangat bangga pada dirinya sendiri karena bisa memberi pada orang tuanya.

"Makasih ya, Bang."

"Anak SMA udah punya penghasilan sendiri. Keren, Ki!"

Kiara mengangguk dan tersenyum. "Kiara bangga sih, Bang, sama diri Kiara. Tapi gak bohong juga kalau Kiara terkadang iri sama temen-temen yang sekolahnya tenang, hidupnya tenang apalagi keluarganya juga tenang. Ayah Kiara masih hidup lho, Bang." Kiara mengungkapkan sebagaian isi hati yang perih dengan tatapan tertuju pada Aakash.

"Namanya juga hidup, Ki. Kalau gak ada masalah gak hidup namanya. Dipaksa dewasa oleh keadaan berat ya, Ki?"

Kiara mengangguk. "Berat. Banget malah. Tapi selagi ada ibu, Kiara akan baik-baik aja kok, Bang."

"Harus dong. Senang gak dapat duit?"

"Pakai nanya lagi. Orang gila pun kalau dikasih uang juga senang, Bang."

Aakash tertawa membuat suasana toko terasa ramai walau hanya diisi oleh dua orang. "Ya udah, habis ini nikmati lah hasilnya. Biar terasa gak sia-sia. Beli novel, duduk di kafe. Itu nikmat lho, Ki. Belum pernah rasain kan? Cobain deh sekarang."

Kiara menggeleng. Kembali memasukkan tangannya ke dalam saku jaket ungu yang dipakai. Duduk di kursi abu-abu seraya menghembuskan nafasnya kasar. "Ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar duduk di kafe dan beli novel, Bang. Tapi sebenarnya Kiara juga pingin ngerasain itu."

"Nanti nyesel lho, Ki, gak nikmati hasil kerja. Abang aja kalau gak malam mingguan sakit kepala."

"Itu kan Abang, bukan Kiara. Abang paham gak sih? Kiara gak pingin ada di situasi ini. capek tau, Bang. Kiara juga kangen ayah Kiara yang dulu. Coba aja ibu bolehin Kiara berhenti sekolah. Pasti Kiara bisa dapat yang lebih dari ini."

"Hm, mulai ngeluh terus! Bersyukur, Ki. Ya walaupun susah. Katanya mau jadi cewek kuat? Mana?"

Kiara tertawa pelan. Bang Aakash ini terlalu ramah untuk sekelas laki-laki dewasa pikir Kiara. "Abang pasti yang susah bersyukur?"

"Ya bukan susah. Tapi memang gak cukup gimana lagi? udah gak cukup, pekerjaan banyak. Gaji gak sesuai. Pusingan mana?"

Kiara lantas mendelik kesal. "Kok adu nasib?"

"Gak ada yang mau adu nasib, Kiara. Tapi refleks. Siapa yang mau hidup susah?"

Kiara mengangguk pada akhirnya. Tidak ada yang ingin hidup dalam kesusahan. Tapi terkadang pikiran sendiri yang terlalu berisik tidak dapat terkontrol sehingga membawa diri menyimpulkan segalanya susah.

PROTECTOR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang