"Lo kenapa, sih?" Aku mendekat pada Lukas. "Partner ranjang lo lagi datang bulan?"
Salah satu alasan mengapa aku bisa memaklumi kelakuannya si Om Elard dengan Vista, adalah karena Lukas. Temanku satu ini usianya sama denganku. Namun, belum pernah menikah.
Dia juga tak punya pacar. Alih-alih kekasih, ia menyebut perempuan di sekitarnya sebagai partner ranjang. Hidupnya cukup bebas, hingga ayahnya sendiri sering dibuat naik pitam. Beruntung, otaknya Lukas cukup cerdas mengelola perusahaan keluarga. Kalau tidak, mungkin sudah sejak lama ia ditendang ke jalanan.
Melihatnya uring-uringan seperti hari ini, tentu aku berasumsi bahwa dia belum mendapat kebutuhan biologisnya. Kalimatnya saja tumben sekali sefrontal tadi.
Lukas tak memberi jawaban. Pria itu bersandar ke sofa. "Nih, nonton aja. Capek kalau nungguin lo peka."
Aku menggeleng tak paham. Saat melihat apa yang ia putar di ponselnya, aku mengernyit. Lukas ternyata memilih film yang sudah pernah kutonton.
"Jangan yang ini. Aku udah pernah nonton," protesku sembari memukul pahanya.
"Jadi, mau lo yang mana?"
Bibirku tersenyum. "Gue ngajak lo, bukan karena gue enggak berani nonton sendiri, Kas. Film yang kek gini udah pernah gue tonton. Kesannya, biasa aja."
Lelaki itu menukikkan satu alisnya. Matanya memicing penuh curiga padaku.
"Jadi?"
"Lo kan cowok. Koleksi film begituan pasti ada. Yang lebih menantang gitu."
Kami sama-sama diam cukup lama, Lukas akhirnya memukul keningku. Sial. Dia menepuk jidatku sekuat tenaga. Apa pikirnya telapak tangannya itu tidak pedas?
"Heh!" bentakku tak terima.
"Nggak ada! Gue nggak punya koleksi film kek gitu." Lelaki itu menyimpan ponselnya ke saku. "Pulang aja deh, Shan. Lama-lama gue khilaf beneran nanti."
"Sialan!" umpatku padanya.
Kesal sekali aku.
Sudah dia yang mengaku bersedia menemani. Dia juga yang memintaku datang. Dan apa? Sudah mengatai aku tidak punya otak, melakukan kekerasan pada jidatku pula. Sekarang, malah disuruh pulang.
Usai mengemasi tas, aku meminta diantar. Bukan aku takut pulang sendiri sebab sekarang sudah pukul sepuluh malam. Hanya saja, dia mesti dibuat susah sebagai kompensasi karena membuatku pulang dengan tangan kosong.
"Naik mobil." Lelaki satu itu malah menawar.
Aku menggeleng. "Aku bawa motor!"
"Naik mobil atau pulang sendiri."
"Motorku, antar malam ini juga!"
Kami bertatapan sengit. Aku berusaha tak berkedip. Dan aku tahu aku yang menang, sebab suara helaan napas Lukas terdengar.
Tak lama kemudian, kami keluar dari apartemennya. Mobil yang kami tumpangi meninggalkan gedung tempat tinggal Lukas, aku jadi merasa mengantuk. Kurasa hanya tidur beberapa detik, sampai akhirnya terbangun sambil memanggil seseorang.
"Ibuk."
Mataku mengerjap dan kusadari Lukas menepikan mobil. Pria itu menatapku cemas.
"Shana? Kamu baik?"
Menengok kiri dan kanan seperti orang linglung, aku sepenuhnya sadar saat tangan Lukas menyentuh pipi. Dia mengunci tatapannya padaku.
"Kenapa? Kamu mimpi? Ada yang nggak nyaman?" Dia melepas seat belt dari tubuhku.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Om Pacar!
RomancePertama kali bertemu Elard, aku masih berusia 8 tahun. Masih bocah, tetapi dengan lantangnya aku berkata pada ayah, kalau ingin menikah dengan lelaki itu. Bertahun-tahun berlalu, aku kembali bertemu Elard. Umurku sudah 28, bukan bocah lagi, tetapi...