Part 1

101 5 0
                                    

Pada kehidupan sebelumnya, aku adalah psikiater. Ijinkan aku menjelaskannya sedikit. Sebelum hidupku berantakan, dulunya aku seorang psikiater, salah satu yang terbaik. Memang janggal rasanya untuk menyebut “bagus” bagi seorang psikiater atas pekerjaan yang dilakukannya, namun, aku mengawali bidang ini sudah cukup lama dan mendapatkan banyak pengalaman di tahun pertama, tidak lama kemudian klien yang datang nyaris dalam jumlah yang tidak mampu kutangani. Aku tak bisa mengatakan bahwa ada seseorang dengan kecenderungan bunuh diri datang ke kantorku dan melakukan hal yang sepenuhnya berkebalikan dalam satu hari, namun klien-klienku memercayaiku dan dengan tulus merasa bahwa diriku benar-benar membantu mereka. Hal ini menjadikan aku sangat direkomendasikan, dan menganai tarif, memang banyak yang mengakui mahal. Banyak yang menyebut diriku adalah psikiater bagi orang-orang yang kelebihan uang.Aku tidak begitu mengerti bagaimana keluarga Jenning menemukanku, namun kukira, alamatku diberikan oleh psikiater mereka sebelumnya, terkadang hal semacam itu memang kerap terjadi. Seseorang datang mengetuk pintu depan dan tidak mampu memberi pertolongan karena beberapa alasan, maka orang tersebut akan memberi rekomendasi.

Suatu hari Nyonya Gloria Jenning meneleponku, dia merupakan pemilik real estate yang sangat kaya, dan dia ingin aku bekerja dengan putranya, Andrew. Nampaknya Andrew sudah menjajal semua psikiater yang ada, semuanya angkat tangan, dan diriku merupakan pilihan sekaligus harapan terakhir mereka. Andrew merupakan seorang pecandu obat dengan segala kekhasannya, racun pilihannya adalah heroin. Bagi orang-orang yang berkecimpung dalam bidangku, berhadapan dengan sosok sepertinya sungguh kerap membuat pusing. Jika mereka tidak bersih dan punya otak yang rusak berantakan, maka pecandu semacam ini dalam keadaan teler dan sukamengocehkan hal-hal yang sungguh ajaib ngawurnya. Awalnya aku menolak untuk menjadikan dia sebagai pasien, namun Nyonya Jenning menawarkan bayaran dobel dari tarif rata-rata sehingga sungguh tidak memungkinkan untuk mengucap tidak.

Ngomong-ngomong masalah keputusan, nampaknya hal ini merupakan keputusanterburuk yang aku buat.Aku bertemu Andrew pada pagi yang masih sangat awal di sebuah Senin. Berdasar pengalaman, jauh lebih mudah untuk menghadapi golongan orang-orang semacam ini saat mereka belum punya kesempatan untuk memakai obat. Skenario terbagus adalah mereka tidak hadir dan aku mendapatkan gaji buta, namun Andrew datang lima belas menit lebih awal. Dia benar-benar terlihat layaknya pecandu heroin tulen. Kantung mata menghitam di bawah mata, rambut kusut acak-acakan, dan jenggot tak rapi yang tumbuh menghiasi wajahnya. Usianya kutaksir baru memasuki duapuluh tahun. Tubuhnya tinggi dan sangat kurus. Sosok tubuhnya menjadi semakin menyolok berkat pilihan baju yang ia pilih: celana baggy dan baju kumal yang terkesan membosankan. Aku mempersilahkan dia masuk dan menawarkan kursi. Dia duduk dan mulai menggosok-gosokan telapak tangannya dan menjelajahi tiap sudut ruanganku dengan kedua bola matanya yang bergerak-gerak cepat.Demi privasiku sendiri, aku akan menyebut diriku sebagai “Dokter A”“Jadi, Andrew, boleh kau ceritakan padaku sedikit mengeni dirimu?”Untuk pertama kalinya dia membuat kontak mata. Sejenak dia merasa ragu dan kemudian bicara.“Asal kau tahu, ini sudah sekitar delapan atau sembilan kalinya aku memulai dari awal, jadi aku akanlangsung ke pokok masalah. Ibuku mungkin mengatakan aku seorang pemakai, kuakui hal itu. Aku memakai heroin dan kokain kapan pun aku bisa mendapatkannya.”Kubuka mulut untuk menanyakan apakah dia memakai keduanya dalam waktu bersamaan, untuk menjelaskan betapa bahayanya hal itu, namun kemudian, dia memotong.“Tidak, aku selalu memakainya dalam waktu berbeda. Aku bukan orang tolol,” katanya.“Aku tidak mengatakan kau orang tolol,” kataku berbohong. “Aku sudah sering melihat pemakai selama hidupku. Percayalah.”

Andrew masih belum berhenti menatapku. Aku menggeser posisi duduk dengan tidak nyaman dan menanyakan pertanyaan wajib selanjutnya. “Kenapa kau memakai semua itu?”“Jadi … saat malam di mana aku tak ingin tidur, aku memakai kokain. Pada malam lainnya, saat aku tak ingin bermimpi, aku memakai heroin.” Saat dia mengatakan semua itu, pandangannya ia jatuhkan pada lantai dengan telapak tangan yang masih salingmenggosok. “Maaf, saat kau tak ingin tidur, kau memakai kokain?” tanyaku berusaha meyakinkan apa yang kudengar.“Benar sekali, Dok,” ujarnya sambil tetap menatap lantai.“Dan kenapa kau tidak ingin tidur, Andrew?”“Karena aku tidak mau bertemu Ubloo,” jawabnya. Tatapannya ia alihkan kembali padaku seperti berusaha menyaksikan reaksiku.“Maaf, tapi siapakah Ubloo ini?” (Diucapkan sebagai “Oo-blue”) tanyaku penasaran.

Andrew mendesah. “Ubloo adalah monster yang kadang kulihat dalam mimpi, monster yang mengontrol mimpi-mimpi.”“Bagaimana Ubloo ini mengontrol mimpimu, Andrew?”“Aku tak tahu apakah namanya memang Ubloo atau seperti itu sebutannya, tapi hanya itu yang pernah ia katakan. Aku tahu bangsat itulah yang mengontrolmimpi, sebab hal-hal yang terjadi di mimpiku hanya terjadi saat dia ada,” katanya. Tangannya berhenti menggosok-gosokdan terkepal di sampingnya.Hal ini mulai menarik, kuputuskan untuk masuk lebihdalam pada lorong mentalnya dan mengajukan pertanyaan; “dan hal-hal semacam apa yang terjadi dalam mimpimu?”“Dengar, aku tidaklah sinting. Semua ini tidak seperti bahwa aku tengah ada di persimpangan jalan dan memimpikan hal-hal yang kacau ini. Dulu aku merupakan atlet yang bersinar dan berupaya untuk merealisasikan mimpiku sebelum hal ini mengacaukan semuanya.” Dia mulai jelas kelihatan marah.“Aku pikir kau tidak gila.” Aku kembali berbohong. “Jika iya, aku akan menyerah dan menyuruhmu pergi, aku seorang psikiater, Andrew. Hanya denganmelihat saja, aku bisa menyimpulkan mana yang gila atau sebaliknya.” Hal ini nampaknya cukup membuatnya tenang sedikit. “Namun kau harus paham bahwa aku harus tahu semuanya sebelum bisa membuat diagnose dan memutuskan cara untuk membantumu, jadi akan kutanyakan lagi; hal-hal semacam apa yang terjadi dalam mimpimu?”Aku melihat dia mulai membuka diri, dan aku tahu telah membuat retakan dalam pertahanan jiwanya. “Hal-hal mengerikan,” katanya. “Orang-orang dan berbagai hal yang aku sayangi, dan hal paling buruk yang bisa menimpa mereka semua.” Tatapannya jatuh pada lantai kembali.“Hal semacam apa, Andrew?”

“Suatu saat …” Dia menelan ludah dengan susah payah. “Suatu saat aku bermimpi terkurung dalam sebuah kandang, di ruang bawah tanah yang belum pernah kulihat sebelumnya. Di sana, tiga pria bertopeng memerkosa dan memukuli ibuku.”Apa yang kudengar membuatku terkejut; sentakan kecil tubuhku nampaknya disadarinya. Saat itu, aku kehilangan dirinya. “Lanjutkan, Andrew,” kataku berusaha membuatnya nyaman, menutupi kekagetanku dengan rasa ingin tahu yang setengah tulus, dan setengahnya lagi pura-pura.“Ibu berteriak memanggilku, dan aku hanya bisa menangis, tiap kali dia meneriakkan namaku atau melolong minta tolong, salah seorang dari pria-pria itu akan memukulinya. Tak perduli berapa banyak darah yang keluar dari tubuhnya, ibu terus berteriak, dan mereka terus memukuli dan melecehkannya.”Aku akan menyisipkan jeda di sini dan mengatakan bahwa orang normal tidak memimpikan hal-hal semacam ini. Mimpi-mimpi semacam ini sangat langka terjadi bahkan pada psikopat paling parah sekalipun. Pada titik ini aku mulai mengerti bagaimana Andrew telah begitu sering bergonta-ganti psikiater hanya dalam beberapa tahun. Dia bisa jadi merupakan bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan menjadikannya psikopat paling berbahaya dalam sejarah, atau dia menderita masalah gangguan tidur yang belum pernah kulihat sepanjang karierku. Diagnosa professional dari kelainan baru ini sangat tersamarkan oleh perkembangan mental pada anak-anak, yang mungkin akan membuat Ted Bundy hanya terlihat sebagai pencopet kelas teri.

Aku sungguh terguncang namun berhasil menenangkan diri. Dalam situasi seperti ini, sangat penting untuk tidak larut dalam detail dan akan lebihpenting untuk mengumpulkan fakta-fakta yang ada.“Bagaimana kau tahu bahwa Ubloolah dalang dari mimpi-mimpi ini? tanyaku.“Karena di akhir mimpi, aku selalu mendengar dia mengeluarkan bunyi menyeramkan itu; ‘oo-blue!’” Dia menirukan suara melengking itu yang seperti dihasilkan dari hewan yang kecil.“Dan kau selalu mendengar suara itu? dari situkah kau menyimpulkan bahwa dia yang mengontrol mimpimu?”“Aku selalu mendengarnya, namun terkadang, aku melihatnya juga. Hanya beberapa detik, kemudian aku terbangun.”“Baiklah. Bisakah kau gambarkan Ubloo ini, Andrew?” Kusodorkan sebuah buku catatan dan sebuah pena. Awalnya, dia terlihat bingung, mungkinkarena aku (baginya) memercayai tiap kata yang keluar dari mulutnya, namun kemudian dia meraih kertas dan mulai sibuk membuat corat-coret. Kulirik arloji, dua puluh menit berlalu, lumayan, kemudian kuarahkan pandanganku pada langit biru cerah di luar jendela. Kudengar suara pena yang beradu dengan meja dan buku catatan yang menggesek meja saat Andrew menyorongkannyakembali padaku. Apa yang Andrew gambar, membuat jantungku seperti naik ke tenggorokan.Sosok itu memiliki moncong panjang yang menjuntai, nyaris seperti belalai dengan lidah terjulur. Tak ada fitur lain dalam wajahnya kecuali dua mata berbentuk oval berwarna hitam sepenuhnya. Sosok ini punya enam kaki (Andrew menggambarnya dalam posisi merangkak) dan batang tubuhnya berbentuk panjang dan ramping.

-----
Vomments ya guys, ini creepypasta pertama ^^ thx

UblooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang