12. Under The Mademoiselle's Umbrella

273 55 7
                                    

Sasuke menatap hormat pada pria berambut pirang yang tengah duduk dengan tegap memandang tembok berornamen ruang tamunya. Pria itu tidak mengatakan apa-apa bahkan ketika kehadiran Sasuke sudah sangat dekat dengannya. Netra birunya seolah tak ingin lepas dari apa yang tersaji seolah hal itu benar-benar membuatnya penasaran.

"Naruto-sama. Maaf sampai merepotkan anda kemari. Saya ..."

"Sudah, aku sudah tau apa yang terjadi. Ajudanmu sudah mengatakan kalau kau menikah selama misi ini. Aku tidak keberatan dengan itu selama tugasmu benar-benar kau lakukan dengan benar."

"Saya benar-benar minta maaf soal itu."

"Mungkin hal ini tidak kau ketahui. Tapi pergerakan para pemberontak itu memang sangat sulit untuk dideteksi. Kau yang tidak memiliki profil tentangnya juga akan kesulitan mengingat pemimpinnya bahkan tidak pernah meninggalkan jejak apapun."

Jawaban itu sontak membuat Sasuke mengerutkan alis. Apa pria di hadapannya ini mengetahui sesuatu yang lebih dari padanya? Apa sebenarnya pemberontakan ini hanya sekedar penggembira atas bermulanya era Meiji?

"Jangan berpikir terlalu banyak, Sasuke. Aku datang kemari untuk membuatmu waspada. Kau harus tau siapa musuhmu dan siapa yang bukan. Cepat lakukan apa yang seharusnya kau lakukan. Jangan banyak menunda atau kita akan kehilangan pasukan lebih banyak."

"Baik."

"Ah, satu lagi."

"Apa itu, Naruto-sama?"

"Kaisar mengatakan padaku kalau masalah pemberontakan ini harus benar-benar berakhir sebelum musim panas ini usai. Waktumu tidak banyak. Mengerti?"

"Saya mengerti."

"Dan ..."

"Ya?"

"Waspada pada orang terdekat. Belum tentu dia benar-benar bisa dipercaya."

Kalimat terakhir itu jelas langsung membuat Sasuke seolah tersiram air dingin secara seketika. Orang terdekat yang tidak dapat dipercaya? Siapa? Apa yang pria itu maksudkan adalah Hinata? Tapi bagaimana bisa? Hinata yang bersamanya adalah Hinata yang berasal dari masa depan. Hinata tidak tahu tentang apapun yang terjadi di era ini dan istrinya itu hanya berharap kalau mereka bisa kembali ke masa depan tanpa memperpanjang perjanjian konyol yang membuat mereka hidup selama tujuh kehidupan tanpa adanya kebahagiaan.

"Jaa, matta ne."

Salam akhir dari Naruto itu membuyarkan lamunan Sasuke yang sudah mulai melantur tak karuan. Pria raven itu masih menggelengkan kepala dengan tidak percaya sembari memijat dahinya. Setelah ini, aoa yang akan dia lakukan? Apakah cukup hanya melakukan upaya penangkapan pemberontakan kecil tanpa mengetahui otak pemberontakannya? Atau ... menangkap otak pemberontakan dengan resiko jika dia bisa kehilangan Hinata lagi?

Sungguh, jika berpisah dengan cara kematian yang menyakitkan di depan mata pasangan, Sasuke berharap dia tidak akan pernah mengalami hal itu lagi. Sasuke jelas tidak ingin mimpi buruk itu kembali terulang dalam kehidupan kali ini dan membuatnya meratapi banyaknya kejadian menyakitkan demi bisa meraih bahagia yang sejati.

"Cara apapun, asalkan tidak kehilangan Hinata dengan cara yang menyakitkan, aku bisa terima. Hanya selama jika Hinata menghabiskan waktu dengan bahagia. Setelahnya, aku bisa pergi tanpa mencemaskan kedukaan yang akan menghancurkan kami selamanya."

.

.

.

"Jadi, apa yang sebenarnya mengganggumu, Tuan Uchiha? Aku sudah tidak memiliki urusan lagi denganmu semenjak salah satu geisha-ku menjadi istrimu. Kupikir tugasku pada kalian sudah selesai. Rupanya kau masih mau mengganggu waktu soreku yang tenang, huh?" tanya Sakura dengan nada malas. Wanita itu mematikan cerutunya secara anggun sebelum menatap lekat pada netra legam Sasuke.

The House Of ColorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang