Rudi sudah siap di depan cermin. Ia tampak rapi dan tampan dengan balutan kaos oblong dan celana jeans biru sederhana. Rambut basah yang disisir setengah berantakan ini menambah pesona lelaki kebule-bulean ini. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar base camp-nya. “Siapa?” tanyanya sembari berjalan menuju pintu.
“Saya, Kak Rudi,” jawab suara mungil milik Agus.
Rudi membukakan pintu. Tubuh mungil Agus sudah berdiri di depan pintu bersama seorang anak laki-laki remaja. “Hey, kalian udah datang? Kok cepat sekali? Ini ‘kan masih jam setengah tujuh, apa kalian gak shalat?” tanya Rudi sambil mempersilakan kedua bocah ini masuk ke dalam kamarnya.
“Kak, kenalkan ini Dharma. Kemarin sudah ketemu di work shop tapi belum kenalan ‘kan?” kata Agus.
“Dharma.”
“Rudi.”
“Dharma ini orang Buddha, Kak. Jadi, dia gak shalat. Sedangkan aku...,” ujar Agus berusaha mencari alasan.
“Sedangkan kamu kenapa? Malas? Jangan cari-cari alasan!” goda Rudi.
“Enggak. Makanya buruan biar aku bisa sempat shalat,” jawab Agus. Dharma dan Rudi hanya tersenyum mendengar jawaban Agus. Agus membalas dengan senyuman jahilnya, seakan mengerti isi hati Rudi dan Dharma. “Ya udah, yuk. Kita berangkat,” ajak Rudi menuntun kedua bocah ini keluar dari kamarnya.
💌
ANGIE terburu-buru berjalan keluar dari villa. Tanpa sengaja Marsha melihat tingkah Angie yang mencurigakan. “Lho, baru aja sampe rumah. Mandi, terus mau pergi lagi. Dia mau ke mana lagi sih?” tanya Marsha pada dirinya sendiri. Saat Marsha hendak menguntit Angie, Lolita keluar dari kamar untuk mendapatinya, “Cha, ini gimana sih pasangnya? Pasangin dong,” kata Lolita sambil mengotak-atik gelang barunya.
Namun Marsha tak menghiraukannya, dan justru buru-buru menyusul langkah Angie. Melihat tingkah Marsha, Lolita mengikutinya pula dari belakang. Saat Angie baru saja meraih gagang pintu mobilnya, tangan Marsha sudah menggenggam pergelangan tangannya.
“Gie, lo mau ke mana?” tanya Marsha sinis. Angie berusaha melepaskan genggaman tangan Marsha. Sayangnya, usahanya tidak lebih kuat dari pada genggaman Marsha.
“Apa sih Cha?!” teriak Angie meronta.
Lolita melerai Marsha dan Angie, “Cha, Cha, udah cukup! Gak usah pake kekerasan juga kali, Cha!” Marsha melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan tangan Angie.
“Lo mau ke mana hah?! Kita baru aja pulang dari kantor, sekarang lo udah mau pergi lagi. Pake acara gak pamit lagi. Ada apa sih?” semprot Marsha penuh emosi.
Angie terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa pada Marsha. “Hey, lo bisa jawab gue ‘kan? Jangan bikin emosi dong!” semprot Marsha sekali lagi.
Dengan sigap Lolita menetralisir keadaan, “Cha, Cha, lo jangan gitu-gitu amat dong. Ini ‘kan bisa kita bicarakan baik-baik. Mending kita masuk dulu, kita ngomong di dalam sambil tenangin diri masing-masing.” ujar Lolita tenang.
Marsha mengangguk pelan, namun wajahnya masih tampak sangar dan menatap Angie tajam. Lolita menuntun Angie masuk ke dalam villa. Sedangkan Marsha berjalan mendahului mereka berdua. Sambil berjalan Lolita mengelus-elus punggung Angie.
💌
“SELAMAT malam, Non Mawar.” Suara anak-anak menyapa Mawar berhasil membuatnya kaget. Ia menoleh ke arah mereka, ternyata sudah ada Rudi di antara mereka. “Lho, kenapa kamu ada di sini?” tanya Mawar keheranan.
“Yaaahh, Kak Mawar. Kalo udah lihat Kak Rudi, sapaan kita juga gak dijawab,” kata salah seorang bocah dengan nada lesu.
Mawar mendekati anak itu, “Hey, kok ngomongnya gitu sih? Selamat malam, Sayang,” bujuk Mawar lembut. “Selamat malam semuanya,” lanjut Mawar pula.
Tiba-tiba bel tanda jam pelajaran tambahan sudah dimulai. Serentak anak-anak ini berlari menuju kelas mereka masing-masing. Meski gedung semi permanen yang digunakan untuk les tambahan ini tidak terlihat mewah, tapi anak-anak ini tetap semangat belajar dan tidak terlihat sedikit pun kesedihan di wajah mereka. Masing-masing guru suka rela yang juga warga kampung ini pun masuk ke kelas ajar mereka masing-masing.
“Mawar, tunggu,” panggil Rudi.
Mawar yang hendak menuju kelas ajarnya berhenti. Ia menoleh ke arah Rudi. “Ada apa, Mas?” tanya Mawar lembut.“Boleh gak, kalo saya ikut jadi guru di sini?” tanya Rudi malu-malu.
“Mas Rudi yakin mau jadi guru di sini?” selidik Mawar.
“Kenapa? Emangnya saya gak terlihat yakin?” ujar Rudi melempar balik pertanyaan Mawar.
“Bukan begitu. Mungkin kami tidak sanggup membayar guru seperti Mas Rudi. Soalnya semua guru di sini juga dibayar seadanya, bisa dibilang hanya ucapan terima kasih,” lanjut Mawar datar.
“Oh, gak apa-apa. Saya gak mengharapkan itu kok. Niatnya cuma untuk berbagi ilmu, supaya saya juga lebih bermanfaat buat orang lain. Saya memang gak berpengalaman mengajar, seiring berjalannya waktu mungkin saya akan terbiasa,” jawab Rudi bijak. Mawar diam sejenak, sepertinya ia sedang mempertimbangkan sesuatu. “Itu juga kalo diizinkan, kalo gak diizinkan juga gak apa-apa kok,” sela Rudi.
“Oh, iya, iya, boleh kok, Mas. Kebetulan kita kekurangan guru untuk siswa SMA. Mas mau mulai kapan?” jawab Mawar tersadar.
“Sekarang juga boleh,” jawab Rudi mantap.
“Baiklah. Mas boleh ngajar mulai hari ini. Tapi sepertinya hari ini Mas harus ikut dengan guru yang lain dulu ya. Besok baru dengan kelas sendiri,” ujar Mawar pula.
💌
ANGIE, Lolita dan Marsha duduk di sofa kamar mereka. Angie di tengah, Lolita di kiri dan Marsha di sebelah kanan Angie. Ekspresi mereka tampak tegang, Marsha terlihat tak bersahabat sedangkan Angie gusar. Lolita justru mencemaskan emosi kedua temannya ini yang sering tak terkendali. “Jadi, lo tadi mau ke mana?” tanya Marsha sinis. Angie tertunduk lalu menjawab dengan setengah suara, “Mau nyari Rudi.”
“Rudi itu bukan anak kecil, dia gak perlu dicari,” potong Marsha lebih sinis.
“Terus aku harus diam aja? Ketika Rudi pergi dengan perempuan itu, dan aku tahu mereka ke mana.” Angie berusaha membela diri.
“Tapiiiii, cara lo hanya bikin Rudi semakin berlari jauh, Gie. Kalo lo terus-terusan bersikap kayak gini, Rudi justru bakal sembunyi dari lo!” sahut Marsha dengan nada meninggi.
“Itu cuma pemikiran lo doang, Cha. Belum tentu itu benar, dan kalo pun Rudi lari, memangnya ke mana sih dia bisa pergi? Kampung sekecil itu gak cukup untuk bersembunyi dari gue,” jawab Angie berbalik emosi. Marsha menatap Angie tajam, ia tampak berusaha meredam emosi yang meluap-luap di dalam jiwanya. “Keras kepala banget sih lo! Gue capek ngomong sama lo, lo gak pernah bisa dengerin gue,” ujar Marsha geram.
“Gak ada yang minta lo bicara. Kalo lo capek ngomong sama gue, ya udah gak usah ngomong,” jawab Angie cuek.
“Ok! Mulai hari ini, gue gak mau ikut campur urusan lo. Jangan cari-cari gue kalo lo ada masalah lagi sama Rudi. Dan jangan salahkan gue kalo nanti Rudi semakin menjauh dari lo,” kata Marsha semakin geram. Lalu buru-buru menghubungi seseorang, dan mengepak seluruh barang-barangnya ke dalam dua koper besar. Tak berapa lama, seorang lelaki muda seusianya datang menjemput Marsha. Lolita tak kuasa menengahi mereka. Ia hanya bisa gusar, mondar-mandir dengan pemikirannya sendiri. Tapi, ia masih di sini menemani Angie.
💌
KAMU SEDANG MEMBACA
Sure, It's a Truly Love [On Going - Segera Terbit]
RomantizmRange 15+ Bangkrutnya pemilik peternakan kuda tempat Mawar bekerja, seperti menjadi skenario Tuhan untuk mempertemukannya dengan Rudi. Mawar dengan segala keunikannya berhasil mengambil tempat istimewa di hati Rudi. Sayangnya, peternakan kuda yang d...