Seiring waktu berlalu, dan hari yang terus berjalan tanpa memikirkan haru. Anak-anak tumbuh menjadi remaja dan remaja mulai membiasakan diri sebagai dewasa yang baru menetas.
Dan saat itu tiba, mereka mulai mencari jati diri.
Masih dengan Galaksi di sini, laki-laki itu menatap sendu pada sebuah batu nisan tua bertuliskan nama seorang laki-laki. Kedua tangannya mencengkram erat bunga melati yang sengaja ia beli diperjalanan, tak ada aktifitas apapun sejak ia tiba satu jam yang lalu.
Langit sepertinya sedang mendukung bagaimana suasana hati seorang galaksi Ramadhan, bukan temaram oranye saja, namun sebagian abu menyelimuti langit diatas kepalanya.
kemeja hitamnya akan basah jika ia tidak segera pergi dari sana, karena sendunya langit takkan mentolerin siapa saja yang akan ia jatuhi beban yang ia tanggung selama ini, yakni hujan.
Dalam perjalanannya menuju pemakaman umum, Galaksi tidak sendiri. Hanya saja, kedua orang sahabatnya memilih untuk tidak ikut kedalam area pemakaman. Mereka ingin memberikan waktu kepada Galaksi untuk memikirkan, merenungi, dan memaafkan dirinya sendiri.
Hanya memberikan sedikit ruang untuk Galaksi bernafas dan berdamai dengan dirinya.
Laki-laki yang sudah menyatu dengan tanah dihadapannya, laki-laki yang sudah membuangnya, memisahkan ia dengan sang Ibu, membuatnya hidup dipanti asuhan, dan kini-- ia harus meluluhkan hati untuk orang yang harusnya Galaksi panggil sebagai Ayah.
Tiba saat ia merendah, memberikan setangkai demi setangkai bunga yang ia bawa di atas makam. Galaksi mulai membayangkan bagaimana ia sangat tidak di inginkan. Bagaimana ia dibenci, baik oleh keluarga Ibu dan keluarga Ayah. Bagaimana ia bertahan selama 9 bulan di lingkungan yang dipenuhi kebencian. Lahirnya ia yang tak diharapkan siapapun.
Hanya ia dan bayangan lain yang mulai masuk kembali.
Bayangan bagaimana ia dipisahkan oleh Ayahnya sendiri dari Ibu. Bayangan bagaimana ia dibuang dipanti asuhan. Tak di inginkan. Sendirian dimalam yang sunyi itu. Kalau saja ia tidak menangis karena dingin dan rasa lapar, mungkin ia akan mati membeku saat baru sehari dilahirkan.
Satu tangkai terakhir ada ditangan kirinya, dan ia masih diam.
Kemudian menarik nafas dalam sambil memejamkan matanya yang mulai perih berair.
Jika biasanya ia akan memindahkan setangkai demi setangkai bunga itu dari tangan kiri dan meletaknnya dengan tangan kanan, kali ini, tangkai terakhir ia simpan dengan menggunakan tangan kirinya.
"Terima kasih.."
🌱
"Bim?"
"Hem?" Bima hanya menggeram. Ia terlalu sibuk dengan dunianya, meski yang ia lakukan hanya menatap langit yang sama dengan Cakra.
Udaranya Desember sedikit lebih dingin dari hari kemarin, Bima yang memakai hodie hijau army nya pun masih bisa merasakan dingin menusuk ke tulang. Termasuk Cakra Aira yang hanya mengenakan jaket jeans setelan anak motor.
"Kalau lo jadi Gaga.. apa lo bisa terima dan mau memaafkan kesalahan orang yang udah buat hidupnya menderita?"
Bima menurunkan pandangannya. "Gak tahu. Hidup Galaksi benar-benar rumit. Mungkin kalau gue jadi dia, gue akan bisa sekuat Galaksi. Galaksi terlalu sempurna, dia terlalu baik untuk disakiti. Dia pantas buat dapat apa yang dia perjuangkan."
Cakra menoleh mendapati Bima masih tertunduk menatap sepatu miliknya yang sedikit kotor.
"Dan.. masalah memaafkan. Gue mungkin mau, bisa, tapi gak tahu hati gue nerima atau enggak."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] BabeLova - Jaemin, Haechan, Mark
Novela Juvenil[BabeLova] -Cakra yang tinggal di gudang masjid, karena orang tuanya meninggal saat ia masih kecil. "Aku? Sendiri? Aku, kan punya Kakak sama Adek! Siapa? Jelas Kak Bima dan Adek Gaga! Siapa lagi? Aku.. aku cuman punya kalian. Iya, kan? Kakak Bimaa...