Tas hitam yang dibawa oleh Jagat sudah kosong. Buku-buku di dalamnya kini sudah berlabuh pada tangan-tangan mungil pula manik mata yang menuntunnya untuk terus membaca.
Saung yang semula penuh kini merenggang sebab bocah-bocah itu berhamburan mencari titik paling nyaman untuk membaca dengan tenang. Beberapa memilih pohon rindang sebagai tempat punggungnya bersandar. Pohon yang hanya berjarak tujuh langkah dari saung itu kini tak lagi sebatas menyajikan rimbun daun hijau dan beberapa parasit pada kokoh batang inang. Tetapi juga memperlihatkan ketiga bocah yang tengah membaca dengan raut senang.
Rindu si Tapir, Dini si Angsa Pasar Tradisional, pula dengan Farhan yang memberi mereka julukan tersebut ikut terduduk di bawah pohon itu. Terdapat pula tak jauh di samping pohon tersebut dua bocah laki-laki berbaju hijau dan hitam panjang yang terduduk sembarang tengah membaca bersama. Zinnia ingat betul, yang berbaju hijau adalah bocah yang berteriak penuh antusias begitu Jagat sampai, dan yang berbaju hitam panjang adalah yang tadi menarik-narik lengan Jagat.
Ada pula seorang perempuan berbaju merah jambu yang sudah terduduk tepat di ayunan dengan tali yang tersimpul di salah satu dahan pokok yang terlihat paling kokoh dan besar. Zinnia tak tahu siapa nama gadis kecil itu. Namun, Zinnia pula ingat bahwa gadis kecil itulah yang tadi memeluk lelaki di sampingnya.
Netranya kini memirsa beberapa awak yang masih setia mendudukan diri di saung. Si Kucing Kerajaan tampak menyandarkan diri pada tiang penyangga. Sesekali pula terlihat dilakukannya secara berulang mengusap cairan kental yang terus timbul dari rongga penghidu.
Satu orang membaca dengan terlentang. Mengambil kesempatan meluruskan badan begitu saung mulai renggang. Ada pula dua bocah yang tampak berdiskusi dengan bisik-bisik yang masih bisa didengar samar. Sesekali terdengar pula lantunan terkikih-kikih. Entah apa yang mereka tertawakan, barangkali buku yang dibacanya penuh guyonan.
"Kali ini kamu udah pastikan enggak ada buku George Orwell lainnya yang terhimpit di antara buku-buku yang dibawa, kan?"
"Kayaknya, sih, enggak ada."
"Kok kayaknya? Meragukan banget ...."
Tanpa merapal kata, kekehan kecil begitu saja tercipta seakan jadi jawab paling sempurna.
"Bang Jagat! Bang Jagat!" Seruan yang menggema pada rungu itu bersatu padu dengan derap langkah yang berlari ketika alas kaki menyentuh tanah. Dengan buku pada tangannya dan baju yang sedikit kebesaran membaluti tubuhnya, teriakan dan langkah kakinya yang berlari itu mampu menarik beberapa atensi.
"Bang Jagat!" kata bocah tersebut kembali memanggil namanya seraya mendudukan diri.
"Jangan teriak-teriak, Farhan, temannya lagi pada baca."
"Hehe, iya, maaf, Bang ...," katanya sembari cengengesan, "Bang Jagat, planet yang ukurannya kecil itu beneran ada, ya?"
"Ada. Kamu pernah dengar asteroid?"
Bocah itu tampak mengangguk-anggukan kepalanya. "Farhan tau!"
"Asteroid atau planetoid itu planet kecil," jawab Jagat. Netranya kini melirik buku yang tengah didekap oleh bocah tersebut. Dan tepat seperti apa yang Jagat duga, pertanyaan Farhan yang datang secara tiba-tiba itu dikarenakan buku yang tengah dibacanya. Buku berjudul The Little Prince dengan judul asli Le Petit Prince yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Pangeran Cilik.
Buku tersebut adalah novel klasik berbahasa Perancis karangan Antoine de Saint-Exupéry yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dialek. Yang mana buku tersebut juga menjadi salah satu buku kesukaan Jagat. Buku anak-anak yang pula cocok dipersembahkan sebagai dongeng untuk orang-orang dewasa, buku yang sarat akan makna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Cair
General FictionSegala yang terindra adalah cair. Dan waktu ikut mengalir di dalamnya. Entah ke hulu mana yang dituju, entah di tepian mana kelak bertemu. Tapi sejatinya segala yang terindra adalah cair, dan waktu ikut mengalir. Begitu pula dengan wajah pulang yang...