Prolog

188 29 2
                                    

Bagi saya, Anda adalah guru terbaik meski saya lebih sering bersumpah serapah untuk Anda di dalam hati.

Meski baru dua tahun menjadi guru, tapi surat semacam ini sudah pernah kudapatkan–tahun lalu ada tujuh. Namun entah berapa kali aku membaca kalimat pasaran di surat kelulusan ini, seperti ada sesuatu yang mendasari perasaanku saat membacanya. Surat itu dari salah satu murid paling bebal selama aku mengajar. Murid yang amat spesial.

Lama sekali aku membacanya, hingga tak terasa isi kaleng bir di tanganku sudah tandas. Dengan segala perasaan yang bercampur aduk di benakku, kaleng kosong itu kulempar sembarang. Kembali kubaca surat itu, mengabaikan puluhan amplop berwarna-warni yang memenuhi meja kerjaku.

"Hal paling melankolis dalam hidup seorang guru adalah saat melihat kelulusan anak-anak didiknya dan melepas mereka."

Kata-kata kepala sekolah saat pidato di acara kelulusan kembali terngiang. Aku tidak menganggap hal itu salah, tapi hal itu berkali lipat kurasakan, lebih dari guru-guru lain. Dulu aku bisa santai memanggilnya untuk mengerjakan remidi ataupun latihan soal khusus, yang sebenarnya hanyalah akal-akalan saja agar aku bisa menghabiskan waktu bersamanya. Tidak bisa dipungkiri, rata-rata nilai fisikanya sangat mengkhawatirkan, tapi aku tidak pernah melakukan remidi untuk anak didikku yang lain meskipun nilai mereka tidak beda jauh dengannya. Aku tahu, karena hal itulah dia menghindariku–hanya karena statusku sebagai gurunya dia tetap menghargaiku di tengah tumpukan keluhan kesal dan sumpah serapahnya.

Sekarang dia sudah lulus. Dengan segala rasa rinduku, bagaimana caraku menemuinya? Aku sudah terlepas darinya. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk menghabiskan waktu bersamanya, menatap wajah kesalnya, mendengarkannya mengatakan hal-hal tidak masuk akal yang mengganggu, dan hal-hal kecil lain yang membuatku bahagia.

"Ugh!"

Aku mengerang karena kepalaku terasa berat dan berputar. Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sebelas dan jendela yang masih terbuka memperlihatkan langit malam dengan gugusan bintang. Aku menggeliat, lalu menyeret langkahku menuju kamar mandi.

Tirai tersibak begitu angin berembus memasuki kamarku, menyapu meja kerjaku yang berantakan dan menerbangkan puluhan amplop di atasnya. Surat spesial itu juga terbang, lalu berserakan bersama amplop dan kertas-kertas lain di lantai. Satu lembar foto juga terbang dan mendarat di atasnya. Aku yakin, seluruh dunia akan terpesona saat melihat senyum dari bocah pirang yang ada di sana.

∆∆∆

LOVE FORMULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang