TIGA PULUH TUJUH

5.8K 483 15
                                    

Untuk kesalahan penambahan kata, dialog, dan lainnya... Maaf, ya... Belum sempat revisi, heheh.

37. Bandung yang berbeda.

Rindi, Rafabian, Rifki dan Anton berjongkok mengelilingi sebuah makan yang bertuliskan nama "Ratih" di permukaan nisannya. Makam itu nampak lebih bersih dibandingkan makam-makam yang ada di sekitarnya. Dengan taburan bunga serta tanahnya yang sedikit basah.

Sudah sejak 20 menit yang lalu mereka berempat berada di depan makam. Membacakan ayat suci al-qur'an lalu menaburinya bunga. Sentuhan diatas permukaan batu nisan berbahan keramik bersamaan dengan jatuhnya air mata Rindi. Perempuan itu sejenak mengingat kenangan antara dirinya dan Sang ayah beberapa tahun silam saat berkunjung ke sini. 

"Ibu... Ini anak Ibu," Rindi menghirup udara di sekitarnya untuk mengisi kekosongan ruang paru-paru karena menahan tangis, "Nama aku udah ganti, Bu. Ibu pasti suka... Apalagi nama ini nama yang sudah Ibu siapkan sebelum aku lahir." 

Rindi menatap Rafabian dengan mata yang beraca-kaca, "Ini Bian, Bu. Suami Rindi. Menantu yang kata Bapak, masuk ke dalam kriteria suami terbaik untuk anak perempuan Ibu." Rindi terkekeh geli karena ucapannya sendiri. "Ibu udah sama Bapak, kan?"

"Sampaikan salam aku sama Bian ke Bapak ya, Bu? Bilang ke Bapak kalau Rindi rindu." Sudah cukup berbohong pada diri sendiri. Rindi tidak lagi mampu menahan tangisnya. Perempuan itu terisak.

Rafabian memeluk tubuh Rindi dari samping, mencoba menguatkan perempuannya. "Ibu... Rindi minta maaf karena tempat Bapak tidak ada di samping Ibu." Rindi menunduk, "Maaf belum bisa kabulin permintaan Bapak yang terakhir, Bu. Tapi Ibu tenang aja, InsyaAllah nanti Rindi pindahin Bapak disini ya, Bu? Biar Bapak sama Ibu bisa sama-sama lagi."

Rafabian mengelus lembut bahu Rindi yang dipeluknya, "Bu, terima kasih sudah mau berjuang melahirkan Rindi," Tatapannya ia alihkan dari makam. "Terima kasih karena Ibu rela memperjuangkan nyawa Ibu untuk perempuan yang saya cintai ini."

Pemandangan suami istri itu terekam jelas di penglihatan Rifki dan Anton. Di dalam benak masing-masing sudah memberikan penilaian terhadap laki-laki yang ada dihadapan mereka. Menurut keduanya, Rafabian adalah laki-laki yang tepat untuk menjadikan sahabat mereka lebih baik. Laki-laki itu mampu menjadi cangkang ternyaman dari seorang Rindi.

"Hm... Bu. Rindi juga bawa kabar gembira untuk Ibu. Sebentar lagi, Rindi akan melahirkan anak Rindi, Bu." Pengakuan Rindi berhasil mengejutkan Anton dan Rifki. 

Kedua laki-laki itu sudah menatap Rindi dan Rafabian secara bergantian dengan tatapan mengintimidasi. Meminta penjelasan tanpa mencoba bertanya panjang lebar. 

Rafabian tersenyum kecil, "Nanti kita jelasin."

....

Didalam mobil sedan bermerk Mazda CX-5  berwarna snowflake white pearl mica. Mobil pribadi milik Anton, yang dikendarai empat orang yang tidak lain adalah Rindi, Rafabian, Anton, dan Rifki melaju membelah jalan kota Bandung sejak kepulangan mereka berempat dari makam. 

Sedari mulai menaiki mobil, hingga mobil itu melaju kurang lebih 5 menit, Anton dan Rifki tidak henti-hentinya menanyakan perihal calon keponakan yang kabarnya baru terdengar. 

Sembari fokus menyetir, Anton sesekali melirik kaca di atasnya untuk bisa melihat jelas pergerakan dibelakang sana. "Buruan lo jelasin, Din- sorry, Rindi."

"Kalian kenapa sih? Dari tadi itu mulu yang ditanyain." Kesal Rindi yang memang sedari tadi malas menjawab semua pertanyaan dua laki-laki di depannya.

"Itu tuh ponakan kita! Ya harus jelas dong, asal usulnya dari mana!" Sediki frontal, tapi itulah kenyataannya.

Dokter Muda Rafabian (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang