1. AKU DILEMPAR DARI ATAS KAPAL

35 6 4
                                    


"Namamu kampungan."

Natakala, laki-laki berbaju belel dan bau rumput itu berkomentar, matanya menatapku dengan sorot merendahkan. Padahal, kalau aku boleh memberi saran, lebih baik dia berkaca dulu sebelum membuka mulut. 

"Kau sadar tidak kalau rupamu seperti gembel?" ucapku kesal. Aku langsung duduk di geladak kapal yang kumuh, berdempetan dengan busa-busa berjamur yang terkena air hujan terus menerus. Anggaplah di kapal ini ada nahkoda abal-abalnya, yang kami berdua panggil Si Gempal. Si Gempal ini adalah nelayan setempat, yang mau menampung kami berdua di kelompoknya setelah aku menyerahkan persediaan makanan.

"Meskipun seperti gembel sepertinya aku tetap tampan," sahut Nata, matanya memandangi sepatu botnya yang lusuh dan dilumuri lumpur. Aku menghela napas sembari mengelap keringat yang membasahi kening. Tempatku tinggal, Pulau Bimala sudah hancur. Padahal dulunya, Pulau Bimala sangat terkenal akan kekayaan makanan lautnya. Namun, entah iklim yang bagaimana sehingga membuat air laut menjadi sepekat oli, membinasakan ikan-ikan yang hidup di dalamnya. Bahkan untuk minum, mandi dan lain-lain kami tidak bisa. Bagaimana mau bisa, siapa yang sudi meminum air atau bahkan mengguyur diri sendiri dengan air kotor. 

Belum cukup atas fenomena itu, Pulau Bimala terkena kesialan lain. Tsunami mengerikan menerjang pulau, menggeser rumah-rumah penduduk dengan air hitamnya yang dahsyat. Aku beruntung ada di puncak gunung waktu itu, mencari sayur atau mungkin daging monyet sebagai pengganti ikan laut yang segar. Hanya sebagian orang saja yang selamat, sementara yang lainnya hanyut diseret air hitam mengerikan. 

Akhirnya aku ada di sini. Setelah mendengar kabar bahwa ada pulau lain yang lebih sehat, maka aku beranjak pergi ke sana. Namun, ternyata kesialanku tidak berakhir disitu saja. Bertemu Nata pada saat kecopetan merupakan hal buruk juga. Apalagi sekarang dia sedang mengoceh hal-hal tidak jelas. 

"Kau yakin Pulau Aruna seperti yang dikatakan orang-orang?" tanya Nata. Aku mengendikkan bahu. "Ya aku tidak tahu. Makanya aku coba untuk ke sana. Yah, kau tahu... membuktikan sesuatu."

"Bagaimana kalau di sana tempat berkumpulnya semua orang kanibal? Kau tahu, krisis air membuat manusia hampir gila."

Aku terdiam sejenak. Benar juga apa kata Nata. Namun, kalau itu terjadi, maka aku akan mencoba menyerahkan Nata untuk dimakan suku di sana. "Itu tidak akan terjadi, Bodoh. Aku akan menggigit mereka duluan."

"Cih, kau pikir kau sekuat apa."

Tidak ada perbincangan setelah itu, karena aku fokus membayangkan bagaimana jadinya kalau aku terlempar di laut hitam ini. Mungkinkah ikan-ikan laut sekarang bukannya mati malah bermutasi menjadi spesies baru yang mengerikan? Misalnya, menjadi buas dan besar, begitu? Kan siapa tahu saja. 

Tiba-tiba saja kapal bergoyang kasar tak beraturan. Semua penumpang kapal kalang kabut, berteriak meminta tolong. Aku duduk sambil mengamati kebodohan orang-orang. Kami semua berada di tengah lautan, ke mana lagi untuk meminta pertolongan. Mereka mengharapkan Tuhan, begitu? 

"Hei, kau kok tenang saja?!" ucap Nata. 

"Lalu aku harus apa?"

Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba seseorang mendorongku hingga ke pinggir kapal, aku menahannya sekuat tenaga. "Kau mau apa, Brengsek?!"

Pria bertubuh kurus dan berkepala botak itu menjerit. "Kami harus mengurangi beban!"

"Mengurangi beban--maksudmu kau mau melempar aku?!"

Aku langsung didorong begitu saja tanpa penjelasan. Air laut yang panas serta matahari terik di atas sana melahapku. Sialan, masa aku mati hari ini?! []

To be continued...

07/12/2022 

Oisha. 


PANCAKARSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang