10 - with my brother

1.5K 177 42
                                    

(+) 4k words


Sudah terhitung tiga puluh menit Doyoung sama sekali tidak beranjak dari atas kasur. Ia sedang merajuk karena sang kakak lagi-lagi melarangnya untuk bertemu dengan Haruto. Katakanlah jika Doyoung pergi bermain bersama Haruto, Doyoung perlu pergi diam-diam agar tidak ketahuan. Namun apesnya, saat kemarin malam Minggu, Doyoung bertemu sang kakak di minimarket dan berakhir Doyoung ditarik pulang oleh sang kakak. Padahal saat itu Doyoung sedang membuat pop mie untuk dirinya dan Haruto.

"Dobby, ayo cepet turun! Kamu belum makan dari pagi." kata sang kakak sambil berkaca pinggang di ambang pintu kamar. Namun Doyoung sama sekali tidak menjawab. Dirinya berpura-pura tidur dan dengan berani membelakangi sang kakak.

"Kalo kamu nggak nurut apa kata kakak, segala fasilitas yang kakak kasih bakal kakak sita. Kakak tunggu 10 menit, di bawah."

Doyoung kesal jika sang kakak sudah mengancamnya dengan hal itu. Kakaknya sangat tahu bahwa Doyoung masih banyak bergantung terhadapnya. Doyoung tidak semandiri yang kalian pikirkan. Bahkan ia sama sekali tidak memiliki tabungan karena sangat mengandalkan sang kakak.

Setelah lima menit bergelut dengan pikirannya, Doyoung beranjak dan menyusul sang kakak. Doyoung berusaha untuk tidak menunjukkan rasa kesalnya, karena hal tersebut pasti akan tersampaikan melalui ekspresi wajahnya. Namun Doyoung lupa jika sang kakak dapat dengan mudah membaca gerak-gerik manusia.

"Laper kan? Cepet duduk terus makan."

Kepala Doyoung mengangguk dan langsung menuruti sang kakak. Ia duduk di samping kanan sang kakak yang kebetulan duduk di tengah meja makan.

Mereka makan malam dengan damai tanpa ada yang memulai obrolan. Sedari kecil mereka diajarkan untuk fokus ketika makan dan tidak berbicara. Kedua orangtua mereka selalu memberitahu hal-hal yang diharapkan dapat menjunjung tinggi kehormatan nama keluarga.

"Bentar lagi tahun baru, kamu ada rencana tempat kita harus ngerayain dimana?" tanya sang kakak setelah menyelesaikan suapan terakhirnya.

Kepala Doyoung menggeleng, "Nggak tau."

"Seperti biasa cuma kita bertiga yang bakal pergi. Jadi, coba kamu pikir lagi mau liburan dan ngerayain tahun baru dimana."

"Kenapa harus aku yang nentuin? Biasanya juga apa-apa kakak yang ambil keputusan."

Terdengar helaan napas dari sang kakak, "Sebagai hadiah ulang tahun kamu. Happy late birthday."

"Oh, masih inget ternyata kalau adiknya ulang tahun empat bulan yang lalu."

"Kakak sibuk, Dobby."

Doyoung menggenggam sendok dengan kuat, "Sibuk? Kakak sibuk apa sih Dobby tanya? Kakak bahkan nggak pernah inisiatif telfon Dobby. Pernah sekali kakak telfon, itu pun karena tanya perihal dokumen kakak yang ketinggalan, tapi apa nggak sempet ucapin selamat buat aku? Atau senggaknya tanya kabar aku gimana?"

"Kamu tau kan kakak kerja? Masih untung kakak telfon kamu."

"Jadi, maksud kakak aku nggak bersyukur? Kakak telfon aku pun cuma ngabarin uang udah ditransfer lah, gimana keadaan rumah lah. Kakak nggak pernah tanya soal keadaan aku."

"Kakak kerja buat kamu, Dobby."

"Kerja buat aku atau buat posisi kakak di perusahaan ayah sih?" Suara Doyoung sedikit meninggi, membuat sang kakak tidak dapat menahan rasa amarahnya lagi.

"Ini pasti gara-gara kamu temenan sama preman itu kan? Lihat gaya bicara kamu! Kamu jadi semakin berani untuk membantah, melawan, dan berteriak ke kakakmu sendiri?"

suka - harubby ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang