bab 1 Dinding Berdarah

1 0 0
                                    

Biarkeruh menembus ruhku

Akutetap menerkam memangsa

Mukadan lisan kuubah beralih

Berdalih

Hinggakejang lirih merintih


Sebuahtulisan misterius terpampang di dindng TKP. Tulisan tersebut bukanlahditulis dengan tinta biasa, apalagi sebuah grafiti yang memenuhidinding sekitarnya. Akan tetapi, tulisan dengan tinta darah yangtelah mengering.

Dindingtersebut jadi saksi bisu dari mayat yang teronggok di bawahnya. Mayatlaki-laki paruh baya yang meregang nyawa. Tubuhnya ditikam berulangkali dengan sebuah benda tajam yang belum teridentifikasi.

Beberapapetugas telah mendekat mencoba menerka artinya. Namun, belum ada yangmemahami makna dari tulisan tersebut. Semua petugas kebingungandengan pertanyaan mengantung dari tulisan tersebut.

Wargadan wartawan memenuhi TKP yang merupakan gedung sekolah, yang telahlama terbengkalai. Mereka penasaran akan tempat tersebut meski sedanggerimis. Namun sayang, garis polisi telah merentang menghalangi semuayang ingin menjamah TKP, kecuali para petugas.

Ekspresimayat yang sangat ketakutan dan luka tikam menganga seolahmenggambarkan emosi yang dalam dari pembunuh. Tampak seakan, iadengan sengaja menikmati penderitaan yang sangat menyakitkan darikorban yang meregang nyawa.

Timforensik segera menyisir lokasi tersebut mencoba mengumpulkankepingan bukti. Mereka datang dengan pakaian lengkap menutup seluruhbadan, serta masker menutup wajah. Mereka bekerja dengan sangatberhati-hati. Hal tersebut sebagaimana prosedur yang biasa merekagunakan agar tak merusak TKP.

Tidakada bukti DNA dan jejak yang tersisa dilantai karena waktu itu lantaitersebut sempat kebanjiran karena hujan. Masih terdapat beberapagenangan air di TKP. Semua bukti DNA dan jejak hilang, hanya beberapabercak darah dari korban yang tersisa. Bekas banjir di sekitar TKPjadi kemungkinan besar hilangnya bukti DNA.

"Mohonmaaf apa Anda Abiyasa yang bertanggung jawab dalam kasus ini?,"tanya seorang petugas forensik kepada polisi yang berdiri didepannya. Meskipun, ia masih muda polisi namun wajahnya terlihat tua,seram dan pemarah. Wajahnya terlihat makin menakutkan, ketika orangmelihat kumis tebalnya.

"Iyabenar, aku Abiyasa. Jangan sok akrab ya, Lain kali panggil saja pakBiyas, ada apa?," bentak Biyas dengan suara seraknya dengan nadamarah dan mata melotot.

Petugasforensik sedikit terkejut dengan hal tersebut. Biyas sedang sangatserius memperhatikan TKP sehingga gangguan sedikit saja akanmengundang kemarahannya. Kepalanya pusing dipenuhi sejuta pertanyaankarena TKP benar-benar kacau tanpa petunjuk apa pun soal pelaku.

"Inilaporan sementara hasil olah TKP pak," jawab petugas forensikterbata-bata sambil menyerahkan laporannya.

Iabaru sadar bahwa Biyas merupakan polisi yang terkenal dengan sikapburuknya yang suka marah-marah. Ia segera pergi dengan terburu-burumelanjutkan tugasnya, khawatir omelan Biyas makin seram.

"Analisissementara, Kemungkinan kasus pembunuhan. Korban berjenis kelaminlelaki, diperkirakan sekitar 60 tahun. Meninggal dengan tiga puluhtujuh tikaman. Mayatnya belum dapat diidentifikasi. Tidak ada bekasjejak, sidik jari dan bukti DNA dari pelaku. Darah di dindingmerupakan darah korban. Korban kira-kira ditikam 37 kali, meninggalsekitar 10 jam yang lalu. Kuku korban juga sudah dipotong sehinggatidak jelas bukti perlawanan," kata Biyas membaca laporan denganwajah serius.

Petugasforensik tak lupa memasang penanda pada mayat untuk menentukan posekematian mayat. Mereka menggambarkan pola tubuh si mayat denganhati-hati. Pose mayat tergambar dengan bentuk yang cukup jelas.Mereka sedikit kesulitan karena tanahnya lembab dan agak basah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

sang plagiator pembunuh berantai berpuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang