Bab I Mengubur Kenangan

34 4 3
                                    


[Mas Abim, bisa kita ketemu jam empat sore di Green Cafe]. Sebuah pesan ia kirim ke Abim, lelaki yang telah mengisi hatinya selama hampir dua tahun.

Sofia, perempuan berkulit putih dengan rambut lurus sebahu itu kemudian merebahkan diri di atas ranjang di kamar indekos. Tanpa terasa beberapa tetes air mata mengalir melewati pipi mulus itu. Sesekali ia membersihkan cairan kental yang keluar dari hidung mancungnya. Menahan tangis membuat hidungnya tersumbat. Ia bangkit mengambil tisu di nakas yang terletak di sebelah kanan tempat tidur.

"Mas Abim, maafkan aku," batinnya.

Hari masih pagi, matahari baru saja mengeluarkan sinarnya. Hangatnya sinar mentari menerobos lewat jendela di kamar Sofia. Biasanya, di hari libur kerja seperti saat ini ia senang menikmati pagi dengan secangkir teh melati hangat sambil duduk di depan jendela. Sesekali ia ditemani dengan roti isi atau makanan kecil.

Namun, pagi ini ada rencana besar yang telah ia susun. Tanpa menikmati indahnya suasana pagi, ia mulai mengumpulkan beberapa barang yang memiliki kenangan indah. Ia ingin mengubur semua kenangan itu.

Sofia tidak melanjutkan berbaringnya. Ia mengarahkan langkah menuju lemari pakaian dua pintu yang terletak di sudut kamar bernuansa hijau muda itu. Ia membuka laci yang berada dalam lemari. Jemari lentiknya mengambil sebuah kotak kaca kecil. Bros mungil berlapis emas berbentuk mawar itu terlihat indah. Ia sangat menyukai bros itu. Bros pemberian Abim saat ia menyatakan cintanya terhadap Sofia.

Kemudian ia beralih ke pintu lemari sebelahnya. Pandangannya tertuju ke kotak sepatu dengan merk terkenal yang masih jelas terbaca nama merk-nya. Ia mengambil sepatu itu berikut kotaknya, flat shoes cokelat muda dengan asesoris mutiara di bagian depan. Sepatu itu sangat nyaman jika dikenakan. Itu adalah hadiah ulang tahunnya tahun ini. Ia sendiri yang memilih saat Abim berniat memberikan hadiah. Harganya yang terbilang mahal bagi Sofia membuatnya berhati-hati kala mengenakan sepatu itu.

Beberapa potong baju ia keluarkan dari lemari. Setelah semua barang yang diinginkan terkumpul, ia mulai merapikannya dan meletakkannya di paperbag cokelat yang sudah disiapkan. Terakhir jam tangan mungil yang ia simpan di meja rias. Jam tangan yang setiap hari menghiasi pergelangan tangan kirinya, kini harus berpisah dengan pemiliknya.

Kedua matanya menghangat kala ia merapikan barang-barang itu. Lama kelamaan pandangannya mengabur tertahan oleh air mata yang akan keluar. Sofia mencoba menenangkan diri dengan menarik napas panjang beberapa kali.

Selesai merapikan semua barang Sofia memilih tiduran kembali. Semalam dirinya tidak bisa tidur. Berbagai macam pikiran yang mengendap beberapa hari terakhir ini membuatnya tak bisa tidur. Bayangan tentang Abim dan kenangan indah bersamanya tiba-tiba hinggap dalam pikirannya. Ia berusaha melupakannya dengan memejamkan mata. Namun, dirinya sulit untuk mengenyahkan bayangan itu.

Suara khas dari perutnya mengingatkan Sofia kalau semenjak bangun tidur dini hari tadi, belum ada sedikit makanan ataupun minuman yang masuk. Akhirnya, ia bangkit dari tempat tidur menuju lemari kecil tempat menyimpan makanan. Masih ada roti tawar dan selai strawberry serta setoples kecil biskuit. Sofia membuat roti lapis berisi selai dan secangkir teh melati hangat. Aroma melati menguar dari teh yang sedang ia seduh. Ia mendekatkan cangkirnya untuk menghidu aroma itu dari dekat. Beberapa hirupan aroma melati ia nikmati sebelum akhirnya ia mencampurnya dengan satu sendok kecil gula pasir.

Sambil menikmati alunan lagu kesayangannya Sofia mulai sarapan yang terlambat. Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh. "Masih lama," batinnya.

Ia duduk di kursi depan jendela seperti kebiasaannya saat sarapan. Usai sarapan ia merebahkan diri di atas kasur berlapis sprei biru muda motif abstrak.

Ia melanjutkan membaca novel sambil menunggu waktu. Untuk melakukan aktivitas seperti biasanya ia merasa malas. Walaupun beberapa potong pakaian kotor mengisi embernya di kamar mandi, menunggu giliran untuk dicuci, tetapi ia enggan untuk melakukannya. Belum juga habis satu bab matanya tidak bisa diajak kompromi, akhirnya Sofia tertidur.

Sofia terbangun ketika tiba-tiba handphone-nya berbunyi, Sebuah nama terlihat di layar handphone. Namun, ia malas mengangkatnya hingga suara panggilan itu berhenti dengan sendirinya.

"Sepertinya aku tertidur cukup lama," katanya bermonolog. Ia melihat penunjuk waktu di handphone menunjukkan pukul satu siang. Sofia bergegas mandi. Usai mandi ia mematutkan diri di depan cermin yang menempel di pintu lemari pakaian. T shirt ungu muda bercorak anggrek bulan di bagian dada dipadu dengan celana panjang berbahan denim membalut tubuhnya yang langsing. Dirinya berencana untuk ke toko buku sebentar sebelum menuju ke Green Café.

Sofia mengendarai motor matik dengan kecepatan sedang menuju toko buku. Jalan raya yang ia lalui tidak terlalu ramai seperti hari kerja. Ia membelokkan motornya ke sebuah toko buku langganannya. Toko buku itu tidak terlalu besar, tetapi koleksi bukunya cukup lengkap menurut Sofia.

"Cari buku apa, Mbak," tanya penjaga toko ramah. Sofia menyebutkan dua buah novel yang sudah lama ingin ia miliki.

"Sebelah sini, Mbak."

Sofia menuju ke rak buku yang ditunjukkan laki-laki berseragam toko tersebut. Setelah mengambil buku ia langsung ke kasir. Biasanya ia akan berkeliling dulu melihat beberapa buku. Namun, karena ia sudah membuat janji hal itu ia urungkan. Ia langsung menuju ke Green Café yang berjarak sekitar dua kilometer dari toko buku.

Sampai halaman parkir kafe Sofia melihat mobil Abim sudah ada. "Sudah datang ia," batinnya. Sofia menuju tempat parkir khusus motor. Usai memarkirkan motor ia menuju pintu masuk kafe. Dua buah paperbag yang ia tenteng di kedua tangannya membuat dirinya kesulitan membuka pintu. Beruntung seorang pramusaji melihat kerepotannya dari dalam, hingga ada yang membantu membukakan pintu.

"Terima kasih, Mas." ucap Sofia sambil berjalan masuk melewati pintu. Alunan instrumentalia musik pop menyanmbut indra pendengarannya.

Ia berhenti sejenak di depan pintu. Pandangannya diedarkan mencari seseorang. Kafe itu terlihat lengang hanya tiga meja yang terisi. Pandangannya terhenti di sudut kafe sebelah kanan dari pintu masuk. Langkahnya diarahkan ke tempat laki-laki berkaus biru tua itu.

"Hai, maaf kalau menunggu lama," sapanya ketika sudah sampai di dekatnya.

"Enggak kok, baru saja sampai, nih pesanannya saja belum datang," katanya sambil menunjuk meja yang masih kosong di depannya.

Sofia memanggil pramusaji dan memesan Ice Cappucino. Udara yang sedikit gerah dari luar ditambah susanan hati yang tak menentu membuatnya ingin mencari sesuatu yang segar.

"Maaf kalau mengganggu waktumu." Entah kenapa kali ini Sofia tak berani menatap mata dengan sorot teduh di depannya itu.

"Sepertinya serius." Pandangan Abim tak lepas dari wajah oval berhias poni tipis yang selalu ada di hatinya.

"Aku ...." Sofia tak sanggup meneruskan ucapannya. Kepalanya tertunduk seolah ia akan mengakui suatu kesalahan besar.

*bersambung*

Menepis Nista, Meraih AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang