Kegelapan dari dalam gua itu memberi aura kewaspadaan yang langsung ditindaklanjuti oleh Aesa. Dia mengangkat tangan kanan dan melebarkan jari-jarinya, dengan satu kata, "Fotiá," diikuti dengan api yang menyala di kelima ujung jari itu dan Aesa menambahkan, "Exáplosi!"
Dengan sekejap, kelima api di jari-jari Aesa menyebar ke dinding dan perlahan terlihat rupa dan bentuk gua tersebut seperti apa.
Tidak ada yang aneh di dalam gua sana selain apa yang ada di ujung.
"Hei, apa kalian melihat apa yang kulihat?" Aesa menghentikan langkahnya, lalu memperhatikan sesuatu yang menarik perhatiannya dengan lebih cermat.
"A-anak kecil? Itu anak kecil, kan?" Celetuk Vann di balik tubuh Audr dan Igvir.
Langkah mereka sempat terhenti, namun Elsa adalah satu-satunya yang memberanikan diri untuk mendekati tubuh mungil yang tertidur di ujung gua. Itu tubuh anak kecil.
"Elsa!" Desis Audr, namun dengan cepat ditahan oleh Igvir.
"Kita lihat dulu," bisik Igvir.
Elsa mendekati tubuh itu. Perlahan, dia bisa mengidentifikasi tubuh kecil yang sedang terbaring. Tubuh mungil itu adalah seorang gadis, half-elf lebih tepatnya. Pakaiannya terlihat asing dan sedikit lucu, warnanya putih dan motif hitam di beberapa tempat. Meski hanya setengah elf, telinga yang gadis ini miliki lebih condong seperti elf seutuhnya. Rambutnya lurus sebahu, dan warnanya hitam.
Satu hal yang sedikit aneh adalah tanda yang berada di dahi gadis itu. Tanda yang menyerupai sebuah kaca retak yang tidak lebih besar dari setengah ukuran jari.
"Ini seorang gadis half-elf, dan sedikit aneh." Elsa mencoba untuk menyentuh tubuh gadis itu. Telapak tangannya dia ulurkan dengan perlahan dan hati-hati, sentuhan yang Elsa ciptakan kepada gadis kecil itu tidak berpengaruh, namun dingin yang dia rasakan dari tubuh itu sangat luar biasa dan seolah tidak terpengaruh sedikit pun dengan cuaca yang ada di luar.
Dingin ini tidak seperti hal yang pernah Elsa rasakan sebelumnya. Dingin ini tidak bisa dibayangkan, dan merasakannya saja pun tidak membuat dingin itu bisa dideskripsikan dengan mudah.
Elsa dengan cepat menarik tangannya dari tubuh gadis itu, namun elf itu terus memperhatikan lebih dekat, terutama apa yang ada di dahinya. Cahaya dari api yang diciptakan oleh Aesa pun hanya memberi sedikit penerangan, namun ada pantulan warna yang berbeda dari dahi kaca tersebut. Warna yang seirama dengan pasir, dan hangat ketika disentuh.
"Apa menurutmu itu hal yang sama seperti yang sedang kupikirkan?" Igvir kembali berbisik kepada Audr.
Kemudian Audr melangkah maju mendekati Elsa. Satu tatapan singkat darinya cukup untuk memastikan bahwa sesuatu di balik dahi kaca itu adalah salah satu relik. Crystal of Sandfall.
Sebuah suara kemudian didengar oleh Audr. Itu suara Oracle yang menyuruhnya untuk membangunkan gadis itu.
Audr menyentuh telapak tangan gadis itu dengan jari-jarinya, kemudian dia mengucapkan "Síko."
Pada saat itu juga, sepasang mata milik gadis itu terbuka secara perlahan. Itu mata yang sudah tertidur selama entah berapa lama, dan kini terbuka untuk kembali melihat cahaya. Perlahan, warna-warna dunia kembali memenuhi penglihatannya. Warna-warna yang sudah lama dia rindukan meski rasanya hanya seperti tidur siang.
"Nak?" Ucap Audr.
Gadis itu bangun, namun tidak memperlihatkan sedikitpun ketakutan di mata maupun tubuhnya. Dia hanya terduduk di sana, memperhatikan kelima orang yang kini berada di hadapannya. Ada suara yang bisa dia dengar melalui kedua telinganya, namun hanya dengungan keras yang kian mengecil. Semua suara yang masuk terdengar buram, dan butuh waktu beberapa saat hingga gadis itu bisa mendengar dengan normal. Pandangan yang tadinya kabur pun akhirnya mulai jelas dengan perlahan. Tubuh dinginnya perlahan mendapatkan kehangatan kembali.
Dari semua orang itu, tidak ada satu pun yang dia cari ada di sana. Oh, betapa malangnya.
"Nak?" Audr mengulangi, namun tidak ada respons yang dia dapat dari gadis kecil itu. "Kau tidak apa-apa? Siapa namamu?"
Gadis itu ingin berbicara, namun mulutnya seolah enggan terbuka, bahkan untuk mengeluarkan sebuah suara sekali pun. Ada sebuah penyesalan ketika gadis itu mendapati dirinya tidak bisa berbicara, dan batin kecilnya hanya bisa mengatakan bahwa, "Namaku Matilda, dan aku tidak apa-apa."
"Hah?"
Kelima makhluk di hadapan gadis kecil itu terlihat bingung sekaligus terkejut. Ada suara yang dapat mereka dengar, suara yang sepertinya dari gadis itu, namun mulutnya tidak berbicara.
"Namamu... Matilda?" Elsa mencoba untuk tetap tenang dan mengambil alih, namun tidak ada ekspresi yang bisa menipu gadis kecil itu bahwa kelima makhluk itu sedang terkejut dan kebingungan. Dia mendekat ke arah gadis yang bernama Matilda itu dan berjongkok di depannya, sementara kedua tangannya memegang pundak gadis kecil itu dengan hangat dan halus.
Gadis itu hanya mengangguk menanggapi pertanyaan dari Elsa.
"Kau bisa mengingat siapa nama lengkapmu? Atau nama orang tuamu? Dari mana asalmu?"
Igvir maju satu langkah dan memegang pundak Elsa, "Elsa, satu per satu."
"Maaf," Elsa menoleh, kemudian kembali pada gadis kecil itu.
"Namaku Matilda Nalor." Itu jawaban yang diterima oleh kelima makhluk tersebut dari pertanyaan pertama yang diajukan oleh Elsa, kemudian ada jeda singkat. "Ayahku Theo Nalor, dan ibuku Rithriel Nalor," lanjutnya, namun tidak ada kelanjutan jawaban untuk pertanyaan ketiga yang diajukan.
"Nalor?" Celetuk Aesa.
"Kau pernah mendengar nama Nalor, Aesa?" Vann bertanya, kedua alisnya mengerucut untuk mengingat-ingat apakah dia pernah mendengar nama itu.
Aesa mengangguk menanggapi. "Sepertinya aku pernah mendengar nama itu dari buku sejarah ketika masih belajar di Akademi Palawan..."
Kata-kata terakhir dari Aesa memberi Matilda sedikit semangat, "Akademi Palawan! Orang tuaku berasal dari sana!"
"Ah, tentu saja!" Perkataan Matilda seperti pemantik untuk ingatan Aesa. Dan celetukan Aesa barusan, keempat makhluk tersebut beralih untuk menatapnya. "Kalau aku tidak salah ingat, Theo Nalor adalah salah satu Penyihir Tinggi yang turut berpartisipasi dalam kesuksesan Akademi Palawan melawan Para Pembisik pada Perang Besar—era Kebangkitan Treaston."
"Apa yang terjadi pada keluarganya? Kau ingat sesuatu?" Vann melanjutkan dengan pertanyaan lain.
Aesa menggeleng dengan sayu. "Tidak ada yang mengetahui bagaimana nasib mereka—bahkan tidak dalam buku sejarah. Namun terlepas dari cerita sejarah yang hilang itu, yang jelas mereka sukses dengan apa pun tugas yang diberikan pada mereka."
"Itu artinya... bocah ini berasal dari era yang sudah berlalu selama hampir dua ratus tahun lamanya..." gumam Igvir. Dia sendiri tidak percaya dengan apa yang dia dengar, namun jika ini memang benar adanya, maka ini sebuah hal yang luar biasa.
Audr lalu ikut berjongkok dan menatap ke arah gadis kecil yang kini sudah berdiri dengan kedua kakinya. Sumber cahaya sedikit demi sedikit meredup, namun Audr bisa melihat gadis tersebut dengan sangat jelas. Makhluk itu mengangkat tangannya dan menyentuh retakan kaca pada dahi gadis tersebut. Berpendar dan berkilau seperti berlian yang sangat berharga.
"Aidóni..." Audr bergumam sembari menutup kedua matanya. Kemudian suara Oracle terdengar lirih di kepalanya—seperti yang lalu, dan kali ini suara tersebut mengiyakan.
Dia lalu berdiri dan bertolak ke arah jalan keluar gua.
"Kita sebaiknya keluar dari sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Nightingale Whisperers
Fantasy[Book Three: The Chosen Saga] [a i d ó n i] [proses revisi] [Complete] [harap membaca The Runaway Chosen & The King's Move terlebih dahulu] . ::.. Korrona runtuh, pada akhirnya. Hal itu tidak dapat dielakkan. Sudut Nazrrog semakin menyempit selagi K...