Bab 2 Hati yang Terluka

9 4 1
                                    


Abim menggenggam tangan gadisnya.

"Ada apa, Sayang?" Pandangannya tak lepas dari wajah Sofia. Sofia masih menunduk, ia tak sanggup menatap wajah itu.

Seorang pramusaji berseragam hijau muda dengan celemek hitam bertuliskan nama kafe mengantarkan pesanan mereka.

"Silakan," ucapnya ramah.

"Terima kasih," balas Abim.

"Tidak perlu ada yang disembunyikan Say, toh sebentar lagi kita akan menikah."

Kurang dari enam bulan lagi mereka akan meresmikan hubungan. Hal ini membuat kegundahan hati Sofia makin menjadi.

"Aku ... aku mohon hubungan kita sampai di sini saja," ucapnya lirih. Pandangannya ia alihkan ke jendela kaca sekedar menutupi air mata yang mulai menggenang. Ia tak ingin terlihat menangis di hadapan Abim.

"Apa maksudmu, Sayang?"

Sofia tak langsung menjawab. Ia meraih gelas panjang berisi Ice Cappuccino dan mulai mengaduknya dengan perlahan.

"Ya ... hubungan kita sampai di sini saja, maaf." Kali ini Sofia mulai bisa mengusai perasaannya. Diisapnya minuman yang berada di depannya menggunakan sedotan yang ada di gelas.

Abim menunduk, ia mengaduk kopi hitamnya untuk mengalihkan perasaan yang tak menentu. Aroma kopi Arabica yang wangi tak sanggup memberikan ketenangan bagi Abim.

"Ada yang salah dengan hubungan kita? Atau aku menyakitimu selama ini?"

Sofia menggeleng. "Tidak, tidak ada. Kamu baik, bahkan terlalu baik buat aku."

"Lantas?"

Sofia terdiam, ia meminum kembali Ice Cappuccino-nya. Peristiwa beberapa hari yang lalu menghampiri angannya.

***

Kurang lebih satu jam sebelum jam kerjanya selesai, Pak Pramono-- atasan sekaligus pemilik usaha travel tempatnya bekerja mendatangi ruang kerjanya.

"Selamat sore Pak, ada yang bisa saya bantu?" sapa Sofia sambil bangkit dari kursi begitu melihat atasannya masuk ke ruangan.

"Duduklah, saya cuma mau bicara sebentar." Pramono duduk di kursi yang terletak di seberang meja kerja Sofia.

"Baik, Pak." Sofi duduk kembali. Dalam hati ia bertanya-tanya kesalahan apa yang telah ia perbuat, hingga atasannya datang langung ke ruangannya. Bukan sebaliknya, ia yang dipanggil seperti biasanya.

"Hubunganmu dengan Abim baik-baik saja?" Sofia terkejut mendengar pertanyaaan yang tak dinyana itu. Ia mengangkat wajah dan memandang laki-laki paruh baya yang berada di depannya.

"Maksud Bapak?"

Laki-laki yang mengenakan kemeja batik itu tersenyum ke arahnya. "Kalian berdua sudah serius?"

Sofia mengangguk ragu, ia sungkan untuk menjawab dengan kata-kata.

"Biarpun kalian sudah serius, Bapak minta mulai sekarang tinggalkan Abim." Kata-kata yang terucap oleh laki-laki yang sudah beruban itu mengagetkan Sofia walaupun diucapkan dengan suara yang pelan.

Sofia menunduk, perasaannya tak menentu. "Apa salahku hingga Pak Pramono menyuruh aku menjauhi anaknya?" tanyanya dalam hati.

"Baik, Pak." Hanya itu yang sanggup keluar dari mulut Sofia. Ia tak berani menanyakan alasannya.

"Tapi ingat! Jangan bilang ke Abim kalau saya yang menyuruh kamu meninggalkannya."

"Baik. Pak." Sofia tak sangggup memandang wajah Pramono.

"Terima kasih atas pengertianmu. Bekerjalah seperti biasa. Mulai bulan depan gajimu akan saya naikkan."

Usai mengucapkan itu Pramono berdiri hendak meninggalkan ruangan Sofia. Sofia masih mematung di tempatnya.

"Sofia, sebenarnya ...." Laki-laki itu tidak jadi meneruskan kalimatnya. Ia belum beranjak dan terlihat ragu untuk melanjutkan ucapannya.

"Ah ... sudahlah ... lupakan." Cepat-cepat ia meninggalkan ruangan Sofia. Sofia tergeragap ketika mendengar suara pintu ditutup dan baru menyadari kalau atasannya itu sudah meninggalkan dirinya.

Sofia masih bingung dengan pernyataan atasannya sekaligus calon bapak mertuanya itu. Ia tak habis pikir, kenapa baru sekarang ia mengatakan itu di kala hubungannya dengan Abim sudah serius.

"Kenapa tidak dari awal ketika Mas Abim mengenalkan aku?" tanyanya dalam hati.

Keheranan Sofia bertambah mengingat beberapa bulan terakhir ini sikap Pak Pramono ia rasakan berlebih. Hadiah kecil sering ia terima atau sekedar makan siang yang dikirimkan ke ruangannya.

Bahkan beberapa kali atasannya itu mengajak makan siang di luar kantor. Akan tetapi, Sofia belum pernah menerima ajakannya itu.

Sofia menyeka air mata yang menggenag sudut kelopak matanya. Ia bingung bagaimana harus mengatakan hal ini ke Abim.

***

"Sofia." Suara Abim mengagetkannya.

"Kenapa melamun? Ada apa sebenarnya?" lanjut Abim.

"Aku ingin mengembalikan semua yang pernah kamu berikan."

"Ada apa dengan semua ini, Sofia!" Abim mengeraskan suaranya. Ia benar-benar tak menyangka akan sikap Sofia.

"Tidak ada yang salah dalam hubungan kita. Aku cuma mohon agar hubungan kita hanya sampai di sini dan aku kembalikan semua pemberianmu karena aku tak sanggup menyimpannya." Sofia berusaha tegar mengucapkan kalimat itu walaupun hatinya remuk redam.

Jauh di lubuk hatinya ia merasa lega. Namun, ia harus sanggup menata kembali hatinya yang hancur berkeping-keping, entah sampai kapan.

Abim terdiam, ia merasa syok dengan ucapan Sofia. Masa depan indah yang sudah ia rancang bersamanya hilang begitu saja.

"Maaf Mas Abim. Aku tidak bermaksud menyakitimu, tapi aku harus melakukannya," katanya sambil meletakkan dua buah paper bag yang ia bawa dari rumah di hadapan Abim.

Setelah menunggu beberapa saat tidak ada reaksi dari laki-laki berkaca mata itu, Sofia beranjak dari duduknya hendak pergi. Ice Cappuccino yang masih setengah gelas ia abaikan begitu saja.

"Aku pulang, Mas. Maafkan aku." Sofia melangkah pelan meninggalkan kafe. Abim masih terdiam.

Beberapa saat kemudian Abim baru menyadari Sofia sudah tidak ada di depannya. Ia ingin berteriak sekeras mungkin untuk meluapkan kekesalannya. Akan tetapi, ia sadar, dirinya berada di tempat umum. Segera ia memanggil pramusaji untuk minta billing.

"Ini Mbak, buat Mbak semua," ucap Abim menyerahkan kedua paper bag tadi dan bergegas menuju kasir. Pramusaji bertubuh hampir sama dengan Sofia tersebut terbengong melihat sikap laki-laki yang baru saja pergi dari hadapannya.

Dalam perjalanan Abim tak tahu harus kemana. Ia mengarahkan mobilnya sekehendak hati menembus jalanan ibu kota yang mulai meremang. Hatinya benar-benar hancur. Ia tak habis pikir kenapa Sofia tiba-tiba berubah. Bayangan indah saat tadi berangkat terganti dengan hal-hal yang tak ia harapkan.

Suara klakson dari mobil yang berada di belakangnya mengagetkan dirinya. Abim tak menyadari lampu pengatur lalu lintas sudah berubah hijau. Buru-buru ia mengganti persneling dan menginjak pedal gas perlahan.

"Sofia kenapa kamu, Sayang?" batinnya sambil mengemudikan mobilnya dengan tujuan tak pasti.

*bersambung*

Menepis Nista, Meraih AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang