__________________
Hari yang Aiden tunggu-tunggu akhirnya tiba.
Sebagaimana bisa ditebak, tim basket putra dari Nation Star berhasil lolos dengan mulus ke tahap final, pun sebentar lagi mereka akan melawan SMK Saint Peterson—sekolah tetangga yang menurut cerita turun-temurun dari nenek moyang, sudah jadi musuh bebuyutan mereka sejak zaman penjajahan Jepang.
Terlihat Gedung Olahraga tempat berlangsungnya pertandingan kini tiga kali lipat lebih ramai disesaki para suporter, dan hampir enam puluh persen ialah cewek-cewek bersuara nyaring bikin budek telinga, yang telah siap lahir batin jiwa raga berdiri di garda paling depan untuk mendukung tim sekolah kesayangan.
Kalau boleh terus terang nih, meski ini bukan pertama kalinya Aiden ikut pertandingan besar dan membawa Nation Star keluar sebagai pemenang, begitu menyaksikan betapa riuh para penonton menyoraki nama sekolah, bahkan ada yang nekat bawa kembang api dan petasan, Aiden macam berada di medan perang dan napas hidupnya sedang dipertaruhkan.
Gugup? Bukan main, cok!
Nggak bermaksud mau songong ya, tapi selaku sang kapten, sudah jelas dia bakal lebih banyak kena sorot. Belum lagi, nama baik Nation Star harus dipertahankan mengingat tiga tahun berturut-turut sekolah mereka jadi pemenang.
Walau Kak Lingga, sang coach, nggak mendesak secara langsung, baik Aiden dan timnya paham betul mereka tidak boleh sampai kalah. Apa pun yang terjadi di lapangan nanti, mereka wajib keluar dengan gelar juara pertama. Inilah yang bikin Aiden kian was-was, meski masih ada waktu setengah jam sebelum pertandingan resmi dimulai.
"Gais, gue minta waktunya sebentar."
Sebuah tindakan refleks dia bangun berdiri dan menghadap rekan-rekannya, termasuk mereka yang jadi pemain cadangan. Semua yang sibuk mempersiapkan diri langsung memberi atensi penuh, sebelum ia berujar serius.
"Gue cuma mau tegasin lagi apa yang kemarin dibilang sama Kak Lingga. Kali ini anak-anak Saint Peterson bukan lawan yang enteng. Bukti bahwa mereka bisa sampai ke final bukan hoki semata, tapi mereka punya skill dan kemampuan yang nggak bisa kita remehin."
Beberapa mengangguk setuju, sedangkan yang lain tetap diam dan fokus mendengar arahannya.
"Walau kita udah pelajari kelebihan dan kelemahan mereka, bisa aja hari ini mereka main lebih bagus atau punya taktik baru yang nggak kita duga. Yang terburuk, mungkin mereka lebih kasar dan sengaja bikin kita cedera. Untuk itu gue harap, apa pun yang terjadi di lapangan, jangan ada yang nekat main sendiri."
Tatap penuh arti lekas Aiden terima, sampai dia membuang napas dan tersenyum tipis.
"Gue tau lo pada pasti mau banggain Nation Star dan nggak bikin angkatan kita malu. Gue juga demikian. Satu yang pasti, kemenangan hari ini nggak bergantung cuma sama gue, Dean, Agam, Natan, atau Levin. Tapi bergantung sama kita semua. Selama kita mainnya kompak, gue yakin peluang buat menang bakal makin gede."
Baru selesai berujar begitu, ia malah disambut oleh decak remeh.
"Talk to yourself, Den. Don't teach us. Semua di ruangan ini juga tau kalo dari dulu lo yang selalu pingin nguasain lapangan dan nyari perhatian."
Aiden lantas menipiskan bibir begitu mendengar tutur sinis Agam. Sedikit cerita, sudah bukan rahasia lagi bahwa sejak tahun lalu, cowok itu berambisi ingin jadi kapten menggantikan Kak Rain, tapi nggak berhasil terpilih. Aslinya, Aiden pingin membalas ucapan si anak kampret ini dengan kalimat yang lebih menusuk, namun dia sadar sekarang bukan waktu yang tepat.
Sebisa mungkin, ia perlu menghindari konflik antar anggota yang berpotensi bikin mereka nggak akur.
"Aiden nggak berusaha nguasain lapangan, Bro."
KAMU SEDANG MEMBACA
Defenders ✔️
Teen Fiction• PERFECT SERIES • [Completed] [Dapat dibaca terpisah] _____________________________________ de·fend·er /dəˈfendər/ (noun.) a person who defends someone or something from attack, assault, or injury. • • • Tentang Monita yang merasa tidak pernah m...