Rasa nyaman di tempat kerja tidak dirasakan lagi oleh Sofia sejak Pak Pramono bicara beberapa waktu yang lalu. Apalagi ketika ia harus berhadapan dengan Abim karena urusan pekerjaan.
Akhirnya, sebuah keputusan Sofia ambil. Pagi itu sebelum Sofia mulai kerja, ia memutuskan untuk menemui Pak Pramono.
"Selamat pagi, Pak Pram," sapanya ketika ia memasuki ruang kerja atasannya itu.
"Oh ya, ada apa Sofia duduk dulu."
Sofia duduk di kursi yang bersebarangan dengan meja kerja Pramono. Sebuah map biru ia bawa untuk diserahkan ke Pramono.
"Ini Pak, saya bermaksud mengundurkan diri dari perusahaan Bapak." Sofia mengangsurkan map yang berisi surat pengunduran dirinya.
Pramono menerima map dari Sofia dan mulai mepelajari isinya. Raut muka Pramono berubah seketika. Ia tidak menyangka Sofia yang merupakan karyawan andalannya akan mengundurkan diri.
"Ada apa Sofia, kenapa kamu mau keluar, apa gaji yang saya berikan kurang?"
"Tidak Pak, bahkan gaji yang bapak berikan lebih dari cukup."
"Jadi?"
"Saya ingin pulang kampung merawat ibu."
Pramono berdehem sejenak. Ia mencondongkan tubuhnya mendekati meja yang ada di depannya.
"Begini Sofia, sebenarnya ...." Pramono tidak melanjutkan ucapannya. Ia menghela napas sejenak seolah ragu untuk menyelesaikan kalimatnya.
"Ada apa Pak?" tanya Sofia penasaran.
"Ada yang ingin saya sampaikan. Sebenarnya saya menyukaimu, saya ingin menjadikanmu istri. Rencananya saya akan membuka cabang di Surabaya, nanti kamu yang pegang. Saya melihat kinerja kamu bagus mulai dari marketing biasa sampai sekarang menduduki jabatan Head Marketing kamu bisa melakukannya dalam waktu yang tidak lama."
Sofia tertegun mendengar penjelasan atasannya. Ia tak menyangka sama sekali kalau Pramono menyukainya.
"Mungkinkah itu yang membuat aku harus menjauhi Mas Abim?" batinnya. Ia tidak berani menanyakan langsung hal itu ke Pramono. Sofia menunduk, ia memainkan ujung kemejanya untuk menetralisir perasaannya yang tak menentu.
Tidak bisa dipungkiri lagi kalau Pramono ingin mencari istri kedua. Marina, istrinya hampir tiga tahun menderita stroke dan hanya berbaring di tempat tidur. Melihat Sofia yang cantik dan juga ulet dalam bekerja membuat dirinya tertarik untuk memperistri sekaligus ia akan mempercayakan perusahaan cabang barunya.
Pramono tega menyingkirkan Sofia dari sisi Abim. Ia beranggapan Abim lebih mudah mencari pengganti Sofia. Untuk perusahaan barunya Pramono tidak ingin mempercayakannya ke orang lain. Ia berencana setelah cabang barunya dibuka Abim yang akan memegang perusahaan pusat.
"Bagaimana Sofia?" tanya Pramono setelah mereka saling berdiam diri.
"Maaf Pak, saya harus pulang kampung merawat ibu. Ibu saya beberapa bulan terakhir ini sakit-sakitan dan sendiri di rumah." Sofia tidak berani memandang wajah atasannya.
"Masalah ibumu gampang, nanti kalau kamu di Surabaya saya siapkan rumah dan ibumu bisa diajak serta, kalau perlu nanti bisa membayar orang khusus merawat ibumu."
"Maaf Pak saya tidak bisa, ini surat pengunduran diri saya, saya permisi." Sofia buru-buru bangkit dan hendak pergi. Akan tetapi, dirinya kalah cepat dengan tangan Pramono yang mencekal pergelangan tangannya hingga ia urung untuk keluar dari ruangan itu.
"Pertimbangkan penawaran saya Sofia, masa depan kamu akan cerah kalau kamu menerima saya."
"Maaf Pak saya harus pergi." Sofia menarik tangannya dan segera meninggalkan ruang kerja atasannya.
Sesampainya di ruang kerjanya, ia hempaskan tubuhnya di kursi kerja. Ia tak menyangka sama sekali Pramono akan mengatakan itu semua. Tangannya memijit pelipisnya perlahan untuk mengurangi rasa pening yang tiba-tiba datang. Ketukan pintu di ruang kerja mengagetkannya.
"Permisi, Bu."
Seorang laki-laki kurus mengenakan seragam Office Boy masuk sambil membawa nampan berisi secangkir teh panas dan piring kecil berisi dua potong kue. Ia menuju meja kecil yang berada dekat meja kerja dan meletakkan cangkir teh itu seperti biasanya.
"Odi, tolong buatkan kopi panas tanpa gula ya."
"Baik, Bu."
Sofia ingin mencoba menenangkan pikirannya dengan secangkir kopi pahit. Beberapa hari terakhir ini pikirannya benar-benar kalut. Antara melepaskan Abim, penawaran Pramono serta keadaan ibu yang sakit-sakitan silih berganti mampir dipikirannya.
Tak lama kemudian Odi datang membawa pesanan Sofia. Ia meletakkan cangkir kopi di samping cangkir teh.
"Ada yang bisa dibantu lagi, Bu?"
"Sudah, terima kasih ya."
Odi bergegas keluar dari ruangan berpendingin dengan nuasa cokelat muda itu. Sofia meraih cangkirnya dan mulai menghidu aroma wangi kopi. Ia mulai menyesap sedikit demi sedikit. Entah karena aroma kopi yang menenangkan atau karena sesapan kopi, ia merasa lebih tenang.
Sofia mulai memeriksa beberapa berkas yang menumpuk di mejanya kemudian menyalinnya di komputer. Secepat mungkin ia akan menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Ia tidak mau berlama-lama di perusahaan. Pengakuan Pramono serta tawarannya untuk memimpin perusahaan baru sama sekali tidak menarik Sofia. Malah sebaliknya ia merasa muak dengan atasannya.
Pramono tega menelingkung anaknya sendiri dan tega ingin mengkhianati istrinya yang sudah tak berdaya. Padahal menurut beberapa temannya yang lebih lama bergabung di perusahaan ini, awalnya perusahaan travel ini dirintis oleh Bu Marina.
"Ah laki-laki, begitu gampang mengganti orang yang telah berjasa dalam hidupnya," batinnya sambil matanya menatap layar komputer menyelesaikan pekerjaannya.
Sofia berencana setelah pekerjaannya selesai dan ia serahkan ke sekretaris Pramono ia akan menyiapkan segalanya untuk pulang kampung. Dua hari yang lalu ia sudah mengutarakan niatnya untuk keluar dari indekost.
"Tidak balik ke Jakarta lagi, Sof?" tanya Bu Yanah pemilik indekost kala itu.
"Tidak Bu, saya mau buka usaha di kampung sambil merawat ibu."
Sebenarnya Bu Yanah menyayangkan Sofia pergi. Selain baik hati, Sofia juga selalu tepat waktu membayar sewa. Selama bekerja di perusahaan travelling Sofia tidak pernah pindah indekost. Kamar yang nyaman serta perlakuan Bu Yanah yang baik membuat Sofia betah.
Penunjuk waktu di layar komputer menunjukkan pukul dua belas. Waktunya istirahat, tetapi Sofia memilih berkutat dengan pekerjaannya. Ia tidak berminat makan siang di kantin bersama rekan kerjanya seperti kebiasannya setiap hari.
Sofia sudah mempersiapkan makan siang dari rumah hingga ia tidak perlu keluar ruangan untuk makan siang. Sofia menghentikan sejenak kegiatannya. Ia meluruskan punggung di sandaran kursi.
"Sedikit lagi selesai, mudah-mudahan dua hari lagi kelar."
Sebuah pesan singkat masuk di handphone-nya. Setelah membaca pengirimnya Sofia malas membuka pesan itu, tetapi ia juga penasaran akan isinya.
*bersambung*
KAMU SEDANG MEMBACA
Menepis Nista, Meraih Asa
RomanceSofia, seorang wanita karier yang sedang berada di puncak kariernya harus kandas kisah cintanya karena orang ketiga yang menghalanginya. Siapa sangka gadis yang meniti kariernya dari bawah dan mengadu nasib di Jakarta usai SMA ini dulunya akan "diju...