Hari kita, milik kita
Paku masa telah terbelah dua
Demi siapa kita bertahan
Untuk hari esok di masa depan
Hari kita, milik kita
Peraturan baru telah dibuka
Jangan biarkan mimpi kita padam
Menyisakanmasa pelik yang kian kelamTumbuhlah benih harapan bangsa
Meski berakhir sebagai tunas keluarga
Aku memegang erat map amplop yang berisi selembar kertas hasil perjuanganku selama tiga tahun dan menatapnya lekat-lekat, Nasib! Batinku.
Dengan banyak pikiran yang menggelayut di kepala, kulangkahkan kaki keluar dari kelas yang gaduh itu, lalu duduk di bangku taman tepat di bawah pohon besar yang konon sudah berusia enam puluh tahun.
Aku melirik kepada beberapa murid yang tengah berjalan beriringan, mereka itu adalah yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya dan diminta menghadap Kepala Sekolah untuk mengambil formulir pendaftaran siswa-siswi baru. Sementara, langkahku harus terhenti sampai di sini, dan menikmati suasana sekolah untuk yang terakhir kalinya. Dan yang membuatku sedih, aku juga tidak bisa mengikuti acara Purnawiyata selanjutnya, yang akan diselenggarakan besok. Rencananya, semua murid yang lulus akan pergi tur ke Kota Jakarta, sebelum kemungkinannya ... kami tidak dapat berjumpa lagi satu sama lain.
Aku memandangi kelas demi kelas di kejauhan, bangku teras, lapangan, lorong, dan merekam ulang setiap kenangan yang pernah aku lewati. Membuat aku menitikkan air mata. Aku tidak bisa menyalahkan siapa pun, atau menyalahkan nasib. Kau tahu, inilah saat-saat menyakitkan hidup sebagai orang miskin.
'Aku tidak bisa memilih lahir di keluarga yang berkecukupan, namun aku selalu merasa bahagia' —kalimat ajaib yang selalu kuserukan sebagai kata-kata penghibur—rupanya, kini sudah tidak berlaku lagi. Sebab kenyataannya, untuk mendapat ilmu saja kita memerlukan sesuatu yang bernama uang.
Namun, jika dipikir kembali, bukankah aku masih terbilang beruntung? Meski aku sering menggunakan baju seragam kakakku selama dua tahun terakhir di sekolah dasar; meski harus menggunakan sepatu bekas kakakku yang sudah tidak muat lagi di kakinya sepanjang sekolah menengah; meski aku harus berjalan kaki hampir dua kilo meter setiap pulang-pergi ke sekolah; bahkan hari ini, baju seragam yang aku pakai adalah baju yang akan kakakku kenakan untuk masuk sekolah pukul satu siang nanti—jika kau teliti, kau dapat mengetahuinya dengan melihat bagian saku bajuku yang memiliki latar kuning pada lambang osis nya—Dan aku bisa melewati semua itu hingga hari ini.
Di bawah teduhnya pohon, kuperhatikan kakiku yang sedang memakai sepatu butut itu. Sepatu berwarna kelabu, yang bagian depannya sedikit menganga dan sudah tipis pula di bagian tumitnya. Jika musim hujan tiba, lewat retakan itu pula, genangan air di jalan bisa dengan mudah membasahi kaus kakiku. Kaus kaki yang sudah longgar dan aku ikat dengan sebuah karet gelang. Jangankan orang lain, aku pun merasa iba kepada diriku sendiri.
Dan aku pun selalu diliputi rasa khawatir, bilamana bagian depan sepatu yang menganga akan semakin melebar. Sehingga tak jarang kuoleskan lem yang dipakai oleh Ayah, ketika ada orang yang membayarnya untuk menambal ban sepeda. Dan itupun, aku harus menggunakan lemnya secara diam-diam di gudang. Aku tak mau jika orangtuaku melihatnya—meski aku yakin, mereka pun tahu—sepatu ini sudah tidak layak pakai lagi.
Ekor mataku menangkap bayangan seseorang yang datang, kemudian ia duduk di sampingku.
"Selamat atas kelulusannya!" serunya kepadaku.
Mendengar itu, sontak aku melirik, dan terkejut setelah melihat siapa orang yang kini duduk di sampingku. Ia seorang murid pindahan di kelas sebelah, tepatnya satu tahun yang lalu.
"Iya, terima kasih. Untukmu juga, selamat atas kelulusannya!" Aku membalas. Lalu ia tersenyum dan mengangguk saja.
Aku melihat raut di wajahnya, seperti orang yang sedang memikul beban lebih berat daripada aku. Membuat aku enggan untuk bertanya lagi.
"Siapa namamu?" Ia bertanya tiba-tiba.
"Eksha, Eksha Dhiatri."
"Aku Farhan Adhiyaksa," ucapnya seraya mengulurkan tangan. Dan aku menjabatnya sembari tersenyum.
Apa ada orang yang baru berkenalan di hari kelulusan mereka, selain kami? Ini teramat lucu!
Farhan yang tengah duduk tepat di sampingku itu, melihat-lihat ke atas pohon. Ia sempat bergumam sendiri tentang sesuatu, namun aku tidak mendengarnya dengan jelas, sebelum akhirnya ia kembali membisu. Dan setelah itu, kami berdua tidak mengobrol atau berkata apa pun lagi, hanya duduk berdua di bangku yang sama, seolah sedang memikirkan masalah masing-masing.
Tidak lama, kulihat Farhan melipatkan lengan di kepala dan memejamkan mata. Aku tidak yakin saat itu, apakah ia tertidur atau tidak. Dan tidak ada niat untuk mau tahu juga. Sementara aku, masih menunggu teman-teman sembari membuka sebuah buku puisi karya Hartojo Andangdjaja untuk mengusir kejenuhan.
Saat membaca sebuah puisi yang berjudul: Cinta Dilukis Dalam Sajak, suasana saat itu terasa begitu nyaman. Embusan angin yang lembut dari arah timur, mengantarkan harum dari bunga-bunga yang potnya berjajar di seberang pintu perpustakaan. Seolah, wanginya telah menyebar ke seluruh pekarangan sekolah. Sayangnya, aku tidak dapat berlama-lama menikmati ketenangan itu, keempat temanku sudah datang dan mengajakku untuk pulang. Aku sempat menoleh sekali ke arah Farhan, sebelum aku meninggalkan murid baru yang telah lulus itu ... sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIPPOCAMPUS ; Gele Roos 1988 [SUDAH TERBIT]
Художественная прозаFOLLOW! JANGAN LUPA VOTE, KOMENTAR, SARAN DAN KERITIK YANG MEMBANGUN, YA! TERIMAKASIH.