Bab 4 Pulang

6 2 0
                                    


Jari tangan Sofia seolah tidak bisa diajak kompromi. Jari tangannya menekan tombol untuk membuka pesan.

Sofia saya tunggu makan siang di ruangan saya. Begitu isi pesan yang masuk dari Pramono. Sofia bimbang, ia ingin membiarkannya saja tapi seakan tidak sopan, mau membalas dengan penolakan tetapi ia sungkan.

Maaf Pak, saya sudah makan, saya sedang menyelesaikan pekerjaan. Akhirnya Sofia membalas pesan itu. Ia tidak peduli seandainya Pramono marah terhadap dirinya.

Sofia tidak menghentikan pekerjaannya untuk makan siang seperti pesan yang ia kirim ke Pramono. Keinginannya untuk menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin membuat perutnya tidak terasa lapar. Dirinya meraih botol berisi air putih yang selalu ia bawa di tas kerjanya. Beberapa teguk air membasahi kerongkongannya sekedar menghapus dahaga.

Berkas terakhir selesai ia salin tepat ketika jam dinding bulat di ruangannya menunjukan pukul dua lewat tiga puluh menit. Masih setengah jam lagi, batin Sofia. Usai mematikan komputer ia mengambil kotak bekal makan siangnya. Sambil menunggu jam pulang ia menghabiskan bekalnya. Nasi liwet yang ia masak tadi malam menggunakan magic com beserta lauk ayam goreng dan lalap mentimun, semuanya sudah mendingin.

Tanpa terasa jam kepulangan sudah tiba. Sofia membereskan beberapa berkas dan bersiap ingin pulang. Sebuah pesan singkat kembali masuk di handphone-nya. Mengetahui siapa yang berkirim pesan Sofia mengabaikannya. Ia berniat membukanya sesampainya nanti di indekost.

Sesampainya di kamar indekost, sambil berbaring melepas penat Sofia membuka pesan dari Abim. Aku antar pulang ya. Begitu isi pesan yang tadi masuk saat dirinya masih di kantor. Namun, Sofia tidak berniat membalasnya. Ia mulai menjaga jarak dengan Abim.

Waktu yang ditunggu pun tiba. Semua urusan di Jakarta sudah selesai. Walaupun pengunduran dirinya belum disetujui oleh Pramono tetapi Sofia nekat untuk pulang.

"Mbak semua pekerjaan sudah saya selesaikan dan sudah saya kirim ke email perusahaan ya," kata Sofia ketika menghadap Sisca sekretaris atasannya.

Perempuan berwajah bulat dengan rambut pendek itu memandang Sofia sejenak. Sebenarnya ia menyayangkan Sofia berhenti bekerja. Sofia orang yang ramah dan enak diajak bertukar pendapat.

"Memang sudah di setujui Pak Pram pengunduran dirinya?"

"Belum, Mbak."

"Terus gimana? Tetap mau resign?"

"Iya Mbak, saya sudah janji ke ibu untuk secepatnya pulang. Nanti kalau sudah acc seandainya dapat pesangon tolong transfer saja ya, Mbak, sekalian gaji terakhir."

"Oke deh."

Sofia mendekati perempuan yang mengenakan setelan blazer cokelat tua itu kemudian memeluknya untuk terakhir kalinya.

"Maafkan aku ya, Mbak, kalau ada yang salah," kata Sofia pelan. Pelupuk matanya terasa menghangat.

"Sama-sama, aku juga minta maaf," sambut Sisca sembari mengurai pelukannya.

Sehari sebelum berangkat pulang, Sofia menyempatkan diri ke rumah Budhe Sarni, wanita yang menjadi tujuan pertamanya saat merantau dulu.

***

Matahari masih memancarkan sinar hangatnya. Sebuah taksi berhenti tepat di bagian ruang tunggu Stasiun Pasar Senen. Sofia segera turun setelah membayar ongkos taksi dan menuju bagasi untuk mengeluarkan satu buah koper berukuran besar serta satu buah tas kain yang tak terlalu besar.

Seorang pemuda berusia sekitar dua puluhan menghampirinya. Dari baju yang dikenakan menunjukkan ia seorang petugas jasa angkat barang atau potter.

"Bisa dibantu, Mbak?" sapanya ramah.

Sofia memperhatikan wajah pemuda itu sejenak kemudian ia mengiyakan bantuan pemuda itu.

"Kereta apa, Mbak?"

"Dharmawangsa, berangkat jam delapan lima puluh lima menit."

"Sebelah sini, Mbak." Pemuda itu menunjukkan pintu masuk untuk keberangkatan keretanya.

Masih ada waktu tiga puluh menit lagi, batin Sofia. Ia mengantre untuk melakukan boarding pass, setelah dilakukan pemeriksaan tiket dan tanda pengenal Sofia dipersilakan masuk. Sampai di peron, kereta yang akan dinaiki sudah ada di jalur keberangkatan.

"Gerbong berapa, Mbak?"

"Gerbong lima tempat duduk nomor dua puluh A."

Pemuda itu kemudian berjalan menuju gerbang lima sambil memangggul koper dan menenteng tas kain milik Sofia. Sofia mengikutinya dengan tergesa menyeimbangkan langkah lebar pemuda itu.

"Terima kasih ya, Mas," ucap Sofia usai pemuda itu menyelesaikan tugasnya.

Ia menyerahkan dua lembar uang sepuluh ribu yang disambut sumringah oleh pemuda bertubuh gempal itu. Koper dan tas kainnya diletakkan di tempat penyimpanan barang yang terletak di bagian atas tempat duduknya. Beruntung ia mendapat tempat duduk dekat jendela sehingga ia bisa menikmati pemandangan luar sepanjang perjalanan.

Sebagian barang milik Sofia sudah dikirim lewat pengiriman barang ke rumah agar ia tidak kerepotan membawanya termasuk sepeda motor. Sedangkan barang-barang yang tidak bisa dibawa pulang ia lelang ke temannya. Kulkas dan televisi miliknya sudah berpindah pemilik.

Belum juga kereta berangkat pikiran Sofia sudah sampai rumah. Ia sudah tidak sabar sampai ke rumah masa kecilnya dan bertemu dengan Utari, ibunya. Masih lekat dalam ingatannya wajah ibu yang sudah tidak sesegar dulu, kurang lebih delapan bulan yang lalu ketika Sofia mengunjunginya.

Wajah cantik serta tubuh segar ibunya kini berubah layu akibat penyakit yang diderita kurang lebih setahun terakhir ini. Saat Sofia pulang terakhir kalinya, ia berniat mengajak serta Utari. Akan tetapi, perempuan yang telah melahirkannya itu menolak. Ia tidak ingin meninggalkan kediamannya.

"Biar Ibu ada temannya sekaligus berobat sampai tuntas." Begitu alasan Sofia saat mengutarakan maksud mengajak Utari. Sofia tidak tega meninggalkan Utari saat itu.

"Biarlah Ibu di rumah saja, Ibu masih kuat, seminggu sekali Mbakmu juga pulang." Dalam hati Utari tidak enak atas ajakan Sofia. Ada rasa bersalah menyelimuti dirinya.

Suara peluit panjang pertanda kereta akan berangkat membuyarkan lamunan Sofia. Secara perlahan ular besi yang dinaiki Sofia berjalan meninggalkan satsiun. Makin lama kecepatannya makin bertambah. Suara mesin yang berirama teratur mengiringi perjalanan Sofia. Ia mengarahkan pandangannya keluar. Sepanjang kiri kanan rel kereta yang dilintasi kini nampak rapi. Tidak ada lagi bangunan liar beserta kesibukan di pagi hari para penghuninya seperti pemandangan yang pernah Sofia seperti beberapa tahun yang lalu.

Sofia melirik penumpang yang duduk di sebelahnya. Seorang laki-laki paruh baya yang asyik dengan handphone di tangannya. Tiba-tiba Sofia teringat belum memberi kabar kepulangannya hari ini ke ibu. Ia mengambil handphone di tas selempang yang masih tersampir dipundak, ada sebuah pesan masuk dari seseorang yang ingin dilupakan.

***

Menepis Nista, Meraih AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang