Gelap.
Dalam kegelapan, ada satu kehangatan. Seperti selimut wol yang melilitku dengan lembut. Lalu, ragaku tiba-tiba terasa ringan. Kurasa, itu karena sepasang lengan yang mengangkatnya.
Gemerisik kain beradu dengan deritan kayu. Sesekali, sedikit sentuhan mengusikku dalam lelap.
Namun, aku tetap abai. Aku tak akan bergerak sampai ada yang memaksaku bangun. Sebab, energiku telah terkuras usai menangis tiada henti.
Kelelahan ini membuatku enggan. Enggan untuk menghadapi realita yang memuakkan.
****
Sayup-sayup cuitan burung mengusik telinga. Sahutan para unggas tak kalah menanggapinya. Terusik olehnya, mataku terbuka perlahan.
Pemandangan pertama yang kulihat adalah langit-langit kayu dengan lampu gantung. Aku bangun dengan posisi berbaring, lengkap dengan selimut yang menutupi tubuhku.
"Ughh."
Aku menekan dahi. Rasanya, seperti ada batu besar yang memberatkan kepalaku. Setelah tertidur panjang, seharusnya aku terbangun dalam kondisi prima. Namun, kali ini sekujur tubuhku tak terasa bugar sama sekali.
"Sudah bangun?"
Gema suara lelaki membulatkan mataku. Sontak, aku menoleh ke arah seseorang yang duduk tak jauh dari tempat tidurku.
"A-apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku pada pria yang berjaga di sisiku itu, Louis.
"Menurutmu bagaimana?"
Aku memindai Louis dari ujung kepala hingga kaki. Rambutnya yang sedikit kusut, kemeja putihnya yang kotor oleh riasan, serta penampilannya yang acak-acakan. Membuatku berpikir jauh tentang apa yang telah terjadi.
"Astaga!"
Aku ingat.
Aku ingat bagaimana ia membawaku ke kamar klinik hingga bajunya tak beraturan.
Aku ingat bagaimana aku mengacak-acak rambutnya karena terlalu banyak minum.
Aku ingat bagaimana riasanku yang luntur itu menempel pada kemejanya. Layaknya anak kecil, aku menangis hingga tanpa sadar, aku menerima pelukannya.
Oh, astaga!
Aku bahkan merancau dengan konyol di hadapan pria itu.
Sungguh, ini sungguh memalukan.
Seandainya saja aku bisa mengubur kepalaku ke dalam gundukan tanah....
"Baguslah, setidaknya kau tidak lupa," tukas Louis. Senyum sinisnya masih tampak jelas walau ia menutupinya dengan kepalan tangan.
"Apa kau akan terus di sini, Tuan?" tanyaku spontan. Meskipun aku malu bukan kepalang, raut muka terganggunya membuatku cukup kesal.
"Aku terus berjaga di samping seseorang karena ia minta ditemani."
Aku berkata begitu?
Dia pasti sedang bergurau, 'kan?
"Lalu, di mana gaunku semalam? Kau tidak berbuat macam-macam terhadapku, 'kan?" Aku bertanya karena gaun yang melekat di tubuhku bukan lagi gaun bubble ungu, tapi gaun rumbai putih polos.
"Gaun itu basah oleh minuman yang tumpah. Jadi aku meletakkannya di keranjang kotor."
Astaga, kekacauan apalagi ini?
Ia pasti berbohong, 'kan?
Tidak, aku tak melihat keraguan dalam ucapannya.
Disamping itu, baru kali ini ada seorang pria yang menggantikan bajuku. Meskipun gaun yang dilepasnya merupakan gaun luaran, tetap saja ini pertama kalinya kekacauan terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Want The Male Lead's Obsession
FantasySenika Chester adalah seorang Lady "Mawar Biru" yang paling dicintai sekekaisaran. Ia memiliki segalanya; mulai dari kecantikan, kekuatan, kehormatan, hingga kekasih impian para gadis. Hidupnya diberkahi berwarna-warni kasih sayang yang tiada hentin...