Pantai sudah menjadi gelap dan dingin. Sudah satu jam berlalu aku duduk di dermaga, memandang matahari yang tenggelam ditelan lautan. Kuas cat yang kupegang mulai mengering karena aku membiarkannya tersapu angin. Pikiranku kusut seperti jaring ikan milik nelayan. Aku benci memiliki rasa gengsi yang setinggi ekspektasi Papa padaku. Aku akan menghubungi Genta, laki-laki yang masuk dalam daftar orang yang perlu ku hindari, dan sekarang aku perlu melawan gengsiku yang tinggi ini.
Sudah sepuluh menit sejak aku memberi sebuah pesan singkat ke Genta, tetapi belum ada notifikasi balasan darinya. Sejenak aku berpikir untuk menarik pesan untuknya, kemudian menghubungi Syiwa, sekretaris kelasku yang super jutek sekaligus tidak mau kalah. Tapi kupikir itu ide yang sangat buruk.
"Oke, besok kutunggu di ruang seni."Tanpa sadar aku berjingkrak-jingkrak, kuas dan cat minyak tercemplung ke dalam lautan. Tunggu. Kenapa aku senang?
Genta pandai menggambar dan melukis. Aku pernah menemukan buku sketsanya yang lecek di tempat sampah. Entah dia sengaja membuangnya atau ada yang usil padanya, aku juga tidak heran jika seseorang sengaja membuang buku sketsanya untuk balas dendam atas kenakalannya. Gambarnya sangat bagus, dia sempurna menggoreskan pensilnya yang tinggal sepanjang jari kelingking. Saat kelas seni, Pak Sandi selalu memuji karya Genta. Dia selalu mendeskripsikan karya Genta yang abstrak dengan pencampuran warna yang unik.
"Aku nggak mau ngajarin kamu melukis."
Demi ekor cicak. Sungguh kah dia bilang begitu? Perlukah aku melempar alat-alat lukis yang sudah kubawa pada wajahnya yang menyebalkan?
"Sore ini aku harus remedial matematika, kamu perlu ajari aku tentang limit dan integral. Kamu tahu 'kan dari 30 siswa, cuma aku yang remedial." Laki-laki itu memasang wajah memelas. Harusnya aku curiga saat dia mau menolongku secara cuma-cuma.
"Kamu sanggup mencerna semua materi dalam waktu 4 jam?" aku memastikan kegilaannya.
"Masa kamu nggak tahu," Genta mengernyitkan dahinya, "aku ini jenius."
Sudah ku pastikan Genta memang gila.
Setelah panjang lebar menjelaskan konsep limit dan integral, Genta terlihat percaya diri memasuki ruang kelas yang hanya dirinya dan Pak Reno saja yang menempati kelas itu. Genta memintaku untuk menunggunya sebentar, karena dia berjanji akan menyelesaikan remedial dalam 25 menit saja. Laki-laki itu tidak bercanda. Dia benar-benar menyelesaikannya dalam waktu 25 menit.
"Kepalamu keluar asap."Bahunya terangkat, Genta mengusap rambutnya. "Tentu saja, siapa yang tidak gemetar saat hanya berdua dengan Pak Kumis Tebal itu? Napasnya saja membuat atmosfer kelas menurun. Kalau dipikir-pikir, aku ini hebat bisa seruangan dengan dia."
Aku belum pernah mengobrol dengan Genta lebih dari lima kata. Kami benar-benar jarang berinteraksi walaupun kami sekelas. Yang kutahu dia adalah siswa yang nakal dan gemar membuat onar, meski begitu kenakalannya tidak ada yang mencemarkan nama sekolah dan orang tuanya.
"Kamu bawa cat yang seperti apa?" Genta terlihat sibuk mencari kanvas di lemari.
"Palet. Papaku yang membelinya semalam."
Aku bisa mendengar helaan nafas Genta. Aku tidak tahu apa yang salah. Apa aku salah membawa cat? Bukankah sama saja?Genta menyerahkan selembar label padaku. "Tulis nama-nama warna di palet catnya. Aku mau mengambil anak-anakku dulu."
Aku tahu yang dia sebut sebagai anak-anaknya. Pensil dan alat gambar kesayangannya. Kulihat dia datang kembali dengan sumringah, kaos kakinya yang berbeda warna sudah menjadi ciri khasnya. Aku tidak tahu dia sengaja membedakannya atau tidak, pada akhirnya dia mungkin memang dilahirkan sebagai seniman yang khas.
Selembar kertas jatuh di antara alat-alat gambar milik Genta. Aku mengambilnya dan kertas itu adalah surat kesehatan Genta. Sekilas aku membaca isinya, tidak ada yang salah dengan kesehatan Genta sampai aku menemukan tulisan buta warna monokromatik.
"Aku ketahuan, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Dua Warna
Teen FictionAku meminta Genta untuk mengajariku cara melukis, ralat, aku terpaksa meminta Genta untuk mengajariku cara melukis.