Empat hari yang lalu, Naro mengerang keras seraya menyingkirkan kasar barang-barang yang ada pada meja ruang tamu rumahnya yang sudah jarang ia kunjungi. Rumah itu adalah tempat tinggal pertama Naro kala menginjak tanah Jakarta. Karena ulahnya, dua vas bunga dan asbak untuk tamu pecah.
Naro berpikir untuk sesaat. Apa benar berkas itu asli?
Jika benar, mengapa Razel bisa semudah itu menjalankan rencananya dibanding dirinya yang jelas memulai dulu? Naro ingin menjatuhkan ayahnya dengan usahanya sendiri. Tidak seperti ini, apalagi dibantu oleh orang yang dibencinya.
Naro mengerang emosi lagi seraya membuang alas meja dengan kasar. Ia tidak terima ini.
"Kak Naro kenapa?"
Naro seketika memejam lantas menunduk atas kedatangan Antha tanpa ia sangka-sangka.
"Ke kamar Kakak yuk, Kak." Antha menuntun sang kakak hingga di tempat yang pemuda itu maksud. Di kamar, Naro tak berkata apa pun. Antha sendiri tidak memaksa kakaknya untuk bercerita. "Tidur aja, Kak."
Naro mendengarkan perkataan Antha dengan merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Namun, sorot emosinya belum hilang dari wajah. Antha tetap setia berada di sisi Naro tanpa bosan. "Kak-" Tangan Antha cepat bereaksi melihat kakaknya mengepalkan tangan terlalu keras. Naro kembali menyesali sikapnya yang tak dapat menahan emosi di depan mata sang adik serta foto Mona yang terpampang di dinding kamar.
Pada akhirnya Naro memang bermalam di rumah itu bersama Antha yang tidak henti mencemaskannya. Pemuda itu tidak bisa meninggalkan sang kakak jauh-jauh. Saat keesokan harinya Naro menolak ajakan pulang ke coffe shop, pemuda itu membatalkan niatnya.
***
Suasana hati Naro masih tak berubah seperti hari itu. Akibatnya Naro enggan ke mana-mana dan tetap di rumah hingga sekarang. Antha masih tidur di samping lelaki itu. Naro sudah terjaga dari tidurnya karena ponselnya berdering dan memunculkan nama seorang. Betrand menghubunginya pukul 03.30 seperti ini? Naro pun mengangkat panggilan itu tanpa berpikir lebih lama.
"Mas."
"Ada apa?"
"Mas Naro belum denger berita Pak Ardan?"
Mata Naro menajam. "Enggak. Kenapa?"
Tiga puluh menit kemudian, Naro memasuki sebuah gedung rumah sakit setelah memarkirkan mobil pada tempatnya. Sorot wajahnya kaku, jalannya sedikit cepat.
"Pak Ardan kecelakaan, Mas. Pak Ardan meninggal di tempat."
Masih terbayang jelas ucapan Betrand beberapa saat lalu. Naro sulit mempercayai jika tak melihatnya sendiri. Beberapa menit kemudian, Naro menemukan seorang yang duduk tanpa suara di sebuah kursi panjang. Orang itu Razel yang membuat Naro tanpa berpikir lama menghampirinya. "Papa mana?" ucap Naro. "Lo ngapain di sini?"
"Jawab. Kenapa lo diem!" Pada akhirnya Naro tidak bisa mengontrol emosi. Terlebih karena Razel tidak kunjung menjawab pertanyaannya. "Lo punya mulut, kan?!"
"Jawab! Papa mana?!"
Pertanyaan-pertanyaan itu seolah sia-sia. Akhirnya lelaki itu dapat melihat fakta dengan sendirinya saat memasuki ruangan di depannya. Naro mendapati tubuh yang terselimuti kain putih yang setelah dibuka, memperlihatkan wajah pucat Ardan. Apa ini? Rupanya kenyataan itu masih sulit dipercaya olehnya.
Ardan dimakamkan hari itu juga. Naro memperhatikan proses pemakaman Ardan dengan terpaku. Begitu pemakaman selesai dan seluruh pelayat pergi, Naro melangkahkan kaki dengan tegas mendekati makam Ardan, lebih tepatnya pada lelaki yang masih betah berdiri di samping makam. Naro melayangkan pukulan pada bahu orang yang tidak lain adik satu ayahnya sendiri itu. Pukulannya keras sampai Razel terlempar dan jatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER R
Romansa"Aku dan kamu adalah kisah tak sempurna." -------- Razel Ardeo Dewanta. Nama dan bayang wajahnya tak akan pernah Ralissa Azalea lupa. Pemilik senyum terbaik, tapi sendu. Seorang yang membuat Ralissa lebih mengerti arti kata "kasih". Seorang yang men...