12. The Heart Wants What It Wants

7.9K 574 62
                                    

Cuaca hari ini cenderung berangin, maka dari itu aku membawa sweter dan topi, berjaga-jaga seandainya aku membutuhkannya untuk menyeberang ke Horologium atau taman. Dalam kasus ini, aku menggunakan topiku untuk jalan santai ke fakultas Hukum.

Ketimbang fakultas Ekonomi, Teknik, dan Kedokteran; fakultas Hukum termasuk kecil dan bersahaja. Bangunannya terbuat dari bata-bata merah mengilap dengan sulur-sulur ivy dan lanjaran panjang berisi bunga. Hanya ada satu jurusan di fakultas Hukum, dan satu jurusan terdiri dari dua kelas. Aku menghampiri orang pertama yang kutemukan di selasar dan membuka topiku, lalu tersenyum dengan ramah.

"Permisi," ujarku sopan. "Ruangan anak-anak semester tujuh di mana ya?"

Mereka berpandangan.

"Semester tujuh?"

Aku mengangguk.

"Angkatan 12?"

Aku mengangguk lagi.

"Di lantai empat. Ruangan pertama dan kedua dari tangga."

"Thank you," ucapku, lalu segera berlari menuju lantai yang dituju.

Terengah-engah, aku berpegangan pada susuran tangga dan menghela tubuhku ke anak tangga terakhir. Ada dua ruangan di selasar, tapi kedua ruangan itu kosong; hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang mengobrol dan menelepon di balkon. Cewek-cewek itu kelihatannya tidak bisa diganggu. Kurang bersahabat, juga. Aku menunggu hingga cewek tinggi dengan poni rata dan rambut dikucir tinggi itu selesai merayu seseorang di sambungan telepon, dan sepertinya Tuhan mendengar doaku. Beberapa lama kemudian, cewek itu akhirnya mencemplungkan ponsel ke saku jaket denim-nya dan berputar, kemudian mengerem langkah begitu melihatku menghalangi jalannya di tangga.

"Hai," kataku.

"Hai?" katanya.

"Jurusan Hukum?" tanyaku. Pertanyaan tolol.

"Eh ... ya?" Cewek itu kebingungan. Untungnya dia tidak merespons dengan sarkastis atau yang lebih parah menertawakanku.

"Semester tujuh?" tanyaku lagi.

Dia mengangguk lambat-lambat. "Uh-huh."

Aku menjentikkan jariku. "Kelas?"

"B," katanya.

Aku mendesah. Sempurna. "Di mana Faux?" aku bertanya tanpa tedeng aling-aling.

"Ah ..." Cewek itu mengangkat satu telunjuknya sambil mengangguk-angguk. "Akhirnya anak itu punya cewek juga."

Aku mendelik dan diam-diam berharap pipiku tidak mengkhianati usahaku untuk tetap tenang. "Aku bukan ceweknya," aku menegaskan.

Cewek itu mengedik tidak peduli. "Baru aja dia pulang."

"Pulang?" Kali ini aku tidak dapat menahan diri untuk tidak melonjak sedikit. Faux pulang! Cowok itu pulang dari kampus! Faux masih di sini! Oh. Syukurlah. Syukurlah.

"Kamu kenapa?" Saat itulah aku sadar aku sedang menggigiti jariku dan tersenyum-senyum seperti orang sinting. "Mendingan cepet susul dia deh. Anak itu nggak pernah lama-lama di kampus."

Mendengar itu, aku sontak menggeleng dengan muram. "Aku juga nggak tahu dia ke mana."

"Sebentar." Cewek itu melipat lengannya dengan gestur menilai. "Kamu Axelle bukan?"

Aku terkesiap. Dia tahu dari mana?

"Oh. Benar," cewek itu tertawa. "Aku sering denger namamu disebut-sebut sama Jonas, temennya Faux."

Perasaanku tidak enak. "Disebut gimana?"

"Dicomblangin," cewek itu memaparkan. "Kayaknya Faux suka kamu. Selamat." Kukira dia cuma bercanda, tapi cewek itu betulan mengambil tanganku dan menjabatnya erat-erat. "Bilang terima kasih sama aku kalau habis ini kalian jadian." Kemudian, cewek itu menyipitkan matanya dengan senyum tolol. "Kamu merah."

Saints & SinnersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang