"I know we didn't make sense"
"Bang Garra."
Garra dan Raksa menoleh, mendapati sepasang laki-laki dan perempuan yang tak pernah mereka kenal sebelumnya datang menghampiri.
"Gue Rai, Bang. Ini Rani." Ucap si lelaki.
Kini Garra menatap keduanya tanpa bias emosi apapun di wajah. Namun ia tau, perempuan yang dikenalkan dengan nama Rani itu tengah ketakutan. Kedua tangannya terjalin di depan tubuh sementara matanya menoleh ke berbagai arah, menghindari tatapan Garra.
"Lo pada yang pegang akun menfess?" tanya Raksa.
Rai mengangguk lalu berucap, "Masih pegang akunnya sih, Bang. Tapi yang handle itu Dias, anak Kesmas 20. Gue sama Rani dioper ke radio sejak bulan kemarin."
"Nggak usah gemeter, Ran. Gue mau minta tolong doang kok. Kalo lo pada bisa aja sih. Kalo nggak, ya nggak pa-pa." kini Garra berucap. "Minta tolong cari tau akun yang kirim menfess tentang Sarasvati. Tau kan? Anak FK 20."
"Tapi kita nggak akan apa-apa kan, Bang? Jujur, saya takut."
Garra mengernyit kemudian bertanya, "Takut apaan? Kalo nggak dapet kan kata gue nggak pa-pa juga. Sedapetnya kalian aja. Kalo mau juga. Kalo nggak, gue minta tolong yang lain."
"Bukan itu, Bang. Kabid sosmed univ kan anak Nanta, kita susah kalo ketauan macem-macem. Gue sih santai, nanti taun depan tinggal nyalon di kabinet abang aja kalo misal didepak sekarang. Tapi, si Rani nih. Dia butuh duitnya." Kata Rai.
"Lah, lo bukan anaknya Nanta?" tanya Raksa.
Rai tergelak lalu menyahut, "Gue anak bimbingnya Bang Garra pas ospek kemarin. Kalo gue anaknya Nanta gue nggak mau nyamper kesini lah."
Situasi seperti sekarang membuat Garra sulit untuk menjatuhkan percayanya pada sembarang orang. Tetapi dua manusia di hadapannya terlihat begitu jujur sehingga ia memutuskan untuk memberi, sedikit saja.
"Lo cuman perlu cari tau siapa, kirim ke gue. Sisanya urusan gue, nggak akan gue bawa nama kalian. Pada tau gue kan? Kalo ragu, boleh minta jaminan apa aja." Kata Garra.
"Oke, Bang. Jaminannya itu tadi. Accept kita di kabinet Abang ya." Sahut Rai.
Garra dan Raksa tergelak kemudian mengangguk. Keempatnya lantas berpisah. Raksa dan Garra sudah ditunggu di kantin FH. Keduanya bilang akan menyusul setelah bertemu orang Dekanat meski sebenarnya mereka mengurus hal lain yang tak kalah penting.
"Abisin jangan, Garr?"
"Jangan. Ketauan Sara, disleding kita."
"Aelah bulol lu."
"Ngaca, bangsat. Mau gue ajak ngeteh depan anak-anak?"
Raksa mendorong bahu Garra keras lalu berucap, "Anjing, jangan!"
"Cemen banget sih lo."
"Wah, ada bangsat-bangsatnya lo ya. Kayak udah nembak aje padahal pukis pukis nggak ada status. Sesama cemen tuh tidak saling hujat, brodie."
"Oke gue ngeteh."
"Anjir bangsat jangan, iya, ampun! Nganceman lo kayak bayi."
"Lo susah dijinakin soalnya, jadi kalo ada kesempatan ya gue pake."
"Bangsat. Ya udah terus itu nanti gimana?"
"Nanti gue kasih tau, diem aja ikutin kenapa sih."
"Iya, baginda, iya."
--
Ada Shera yang tengah duduk dengan tubuh menegang di hadapan seorang lelaki paruh baya berpakaian rapih. Sebuah meja yang memisahkan nyaris terbelah oleh amarah yang rasanya sudah membakar seluruh tubuh Shera saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ascendancy
Chick-Lit"I'm in, Garra. Let's do this. Let's end them all." Every villain has their own story because nobody was born a sinner. Let them show you. -- See you once a week!