"HEKSAGONAAALLL!" teriak Firdaus.
"Ma-maaf Kak, saya tidak sengaja. Se-se-sebentar, saya akan kembali! Tunggu! Jangan ke mana-mana!" pintaku.
Aku belari terengah-engah dari Pada-moro menuju warung yang berjarak kurang lebih dua puluh meter-an, untuk membeli sesuatu yang mungkin bisa sedikit meredakan lukanya.
Dari jauh aku melihat murid berlarian, mungkin jam istirahat sudah habis, namun aku tidak peduli! Aku harus berlari kembali dari warung ke Pada-moro untuk benar-benar menepati parkataanku, bahwa aku tidak sedang melarikan diri.
Saat aku kembali, tentu saja Pada-moro sudah sepi, aku melihat Firdaus masih ada di sana, sedang dikipasi oleh seorang temannya menggunakan kipas bambu milik penjual bakso.
"Saya kira kamu sudah kabur," ujar Firdaus sinis.
"Maaf. Kakak bisa pakai ini, untuk sementara. Nanti siang, sepulang dari sekolah, saya ke apotek untuk membeli salep minyak ikan."
"Holdent? Kamu suruh saya sikat gigi?"
"Bukan, bukan! Kakak oles ini di lukanya, supaya sensasi panasnya berkurang."
Firdaus menoleh kepada temannya seraya bertanya pelan, "Memang bisa, ya?"
Temannya itu hanya mendongakan bahu.
"Kalau begitu saya permisi. Sekali lagi, saya minta maaf." aku berpamitan.
"Tunggu! Saya belum memaafkan."
Aku berbalik. "Eh?"
Gawat! Pasti orang ini akan memberikan aku hukuman lagi. Batinku.
"Kamu bisa ... oleskan ini ke punggung saya?"
"Ha? Saya? Ta- tapi kan, ada teman Kakak yang bisa ... O-oleskan ... Itu, ke punggung ... Maksud saya ..." aku menyahut dengan terbata-bata.
Firdaus menyela. "Dia akan pergi. Ada tugas, harus membimbing peserta didik sekarang."
Aku masih menganga seraya menggaruk kepalaku yang tak gatal.
"Mau saya maafkan, atau tidak sama sekali?" ancam Firdaus.
"Tapi ... Iya, iya. Saya bantu." aku pun pasrah.
Firdaus dan satu temannya hendak pergi dari Pada-moro.
"Mau ke mana? Tidak di sini?" kutanya.
"Memang saya tidak malu? Di sini ramai, beberapa kendaraan mungkin melintas," protes Firdaus.
"Lalu? Kalau malu, kenapa menyuruh anak perempuan?" aku bergumam.
"Eh! Saya dengar itu."
"Ma-maaf!"
"Kamu yang menumpahkan kuah panas di punggung saya, kan? Terus kamu suruh orang lain untuk mempertanggungjawabkan kesalahan kamu?"
"Iya, iya. Saya minta maaf!" kujawab dengan meninggikan suaraku.
Di teras samping musala, dengan perasaan yang capur aduk—antara rasa bersalah, kesal dan juga malu—aku mengoleskan pasta gigi ke punggung Algojo itu dengan hati-hati.
Benakku kembali mengingat kejadian di Pada-moro, semua ini bukan semata kesalahanku seorang, jika saja si Resti tidak menjahiliku, mungkin semua ini tidak akan terjadi sama sekali.
Karena kesal, aku tidak sengaja menekan-nekan punggungnya sehingga Algojo itu menjerit kesakitan. "Kalau kamu mau balas dendam, jangan sekarang!"
"Kalau lain kali, boleh?" kutanya.
"Ternyata, kamu benar-benar dendam sama saya?"
"Ti~dak, saya tidak pernah menyimpan dendam."
Firdaus tertawa kecil. "Tidak ada orang yang tidak punya dendam kepada seorang Ketua Panitia saat MOS. Semuanya peserta didik punya! Asal kamu tahu, tidak semua panitia itu berniat memelonco."
Aku mencibir di belakang Firdaus, dengan menekan hidungku sehingga tampak seperti hidung babi. Tiba-tiba Firdaus tertawa, karena ia melihat pantulanku di kaca jendela musala.
"Tangan kamu, kena kuah panas juga?" tanya Firdaus.
Aku melihat pergelangan tanganku, tanpa kusadari memang bagian samping tanganku sudah memerah. "Iya." kujawab.
"Tidak kamu obati juga?"
"Tidak perlu, lukanya kecil. Nanti juga sembuh dengan sendirinya." kujawab. "Kalau begitu, saya pamit."
"Silakan."
Aku beranjak dari duduk, namun Firdaus kembali menghentikanku. "Heksagonal?" panggil Firdaus. "Jangan panggil saya Kak-Fir lagi, ya?" cetusnya.
"Lalu, siapa sekarang yang memanggil saya Heksagonal?" kutanya untuk menyindirnya. Ia hanya memamerkan sederet gigi rapihnya.
Dari yang kutahu, Firdaus adalah salah satu siswa yang paling berprestasi. Tidak ada murid di sekolah ini yang tidak mengenalnya, sebab ia selalu aktif mengikuti kegiatan OSIS. Meski ia terlihat galak, menurut informasi yang kudengar, tak sedikit juga siswi yang menyukai Sang Algojo ini. Ya ... aku dapat mengerti, visualnya seolah mengatakan bahwa informasi itu benar adanya. Ia juga anak dari seorang guru di Gele Roos, namun aku belum tahu—guru yang mana.
Si Algojo juga anak emas kebanggaan Pak Ujang, guru olahraga kami. Sebab, ia selalu memenangkan pertandingan voli dan basket antar sekolah sampai tingkat kecamatan. Lihat saja, perawakannya yang seperti tiang listrik itu, otot-ototnya seperti adonan roti yang mengembang.
Sesampainya di Kelas, aku menempelkan pipiku sendiri ke meja, di antara tas milikku dan tas milik Dedeh. "Mimpi buruk macam apa ini?" gumamku.
Baru saja aku bernapas lega, seorang siswi panitia datang memberi pengumuman di ambang pintu kelas. "Semuanya berkumpul! Di lapang, untuk dibagi tugas! Berbaris per kelompok, ya! Di area masing-masing seperti biasanya, sekarang!"
Ahhh, badanku makin lemas mendengarnya.
"Kelompok Bunga Bakung! Kalian akan di tugaskan mencari tahu bagan struktur organisasi sekolah. Dan buat organigramnya di buku tulis kalian. Lalu kumpulkan!" kata Panitia MOS yang bernama Icha.
"Baik, Kak!" semua anggota kelompok Bunga Bakung mengiyakan.
Sebagai ketua, kubagi kelompokku menjadi tiga dan mulai berpencar untuk mencari informasi. Aku, Dedeh dan satu anggota kelompok Bunga Bakung—yang tak kuingat namanya itu—berniat menemui Pak Udin di belakang Musala. Namun, yang kami dapati ketika itu, hanya seorang Algojo yang tengah mengikat tali sepatunya.
"Kamu sedang mencari siapa?" tanya Firdaus.
"Pak Udin. Mau tanya-tanya soal struktur organisasi sekolah."
"Kalau itu, kalian bisa lihat langsung saja di ruang Bapak Sutarsa," saran Firdaus.
"Kita ditugaskan untuk mencari tahunya sendiri," kubalas.
"Oh, begitu, ya? Sini! Biar saya bantu!" ujar Firdaus menawarkan.
Aku, Dedeh dan satu anggota kelompokku saling melempar pandangan. Dedeh meyikutku seraya berbisik, "Jangan! Nanti informasi yang dia berikan, sengaja dibuat salah. Dan kita kena hukum lagi oleh panitia yang lain."
"Lalu?"
"Kamu pikir saja. Bukannya, ini tugas dari mereka? Kenapa Ketua Panitia ikut membantu? Kan, aneh!" bisik Dedeh. Aku hanya menaik-turunkan bahuku.
"Bagaimana? Mau atau tidak?" tanya Firdaus.
"Tidak ... Soalnya ..."
Firdaus menghampiri dan memotong jawabanku. "Kamu itu, tipe orang yang sulit mengambil keputusan. Jadi ketua itu harus kritis," ucap Firdaus meraih buku yang kupegang.
"Justru karena saya berpikiran kritis, jadi saya menjadi tipe orang yang sulit mengambil keputusan. Namun, itu semua karena saya terlalu mempertimbangkan keputusan apa yang harus saya ambil, dan apa konsekuensinya." kujawab.
Lantas ia menuliskan semua informasi yang kami butuhkan, benar-benar lengkap, sampai aku tak perlu lagi mencari tahu.
"Kalau begitu, kamu akan kesulitan untuk mendapat pendamping hidup," celetuk Firdaus.
"Apa hubungannya?"
Firdaus membisik di dekat telingaku, "Terkadang, dalam asmara itu ... Ada keputusan yang sulit untuk diambil. Sebab pikiran dan batinmu sering kali tidak sejalan."
Aku mengerutkan dahi dan tidak memedulikan ucapannya. "Terima kasih," kukatakan sembari meraih bukuku kembali, dan segera melangkah pergi.
"Tapi itu semua tidak gratis," cetus Firdaus.
"Ha?"
Dedeh mencubit pingangku. "Sudah kubilang!" bisik Dedeh.
"Jadi, berapa yang harus saya bayar?" aku bertanya.
Firdaus menggeleng. "Bukan dengan uang."
"Lantas dengan apa?"
Dedeh berbisik lagi, "Tidak salah lagi, pasti dengan hukuman."
"Tolong tiup-tiup punggung saya," celetuk Firdaus. Ekspresi kami yang semula tegang, mendadak menjadi datar. Sedangkan Firdaus tertawa, dan membuat kami menjadi kebingungan.
Masih dengan tawanya, Firdaus berkata, "Maaf, saya hanya bercanda."
Aku mengernyih. "Kalau begitu, kami permisi." lalu kutinggalkan Algojo itu yang masih saja terkekeh.
Kami yang baru saja lima hari menjadi peserta didik, jelas itu pertama kalinya melihat Ketua Panitia itu tertawa. Dalam arti, kami bukan hanya kebingungan, tapi juga terkejut, membuat batinku bertanya, mengapa dengan orang itu? apa dia salah makan?
"Memang tadi itu lucu, ya?" Aku bertanya kepada Dedeh dan satu orang di timku itu.
"Tidak. Menurut kamu, itu lucu?" Dedeh balik bertanya.
Aku pun menggeleng. "Jangan-jangan bukan hanya punggungnya yang terkena kuah panas. Tapi kepalanya juga." kubilang.
Dedeh tertawa. "Kepala Kak Firdaus itu sudah panas sejak awal, kalaupun terkena, tidak akan berpengaruh."
Sesuai perkataanku, setelah pulang dari sekolah aku pergi ke apotek. Mengorbankan uang saku pemberian Bi Iseu untuk membeli dua buah salep minyak ikan dan empat gulung kain perban. Satu salep kupakai untuk luka yang ada di lenganku, sementara sisanya akan kuberikan kepada Firdaus keesokan harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIPPOCAMPUS ; Gele Roos 1988 [SUDAH TERBIT]
Fiction généraleFOLLOW! JANGAN LUPA VOTE, KOMENTAR, SARAN DAN KERITIK YANG MEMBANGUN, YA! TERIMAKASIH.