Verschillen🧁

344 30 4
                                    

"Mommy mengajukan surat cerai.."

Kayeena yang sedang meminum kopinya kini sedikit tersedak, pun Winter yang saat ini menatap Airin terkejut. Selama beberapa minggu di kediaman orang tua Kayeena, tidak pernah sekalipun mereka membahas hal tersebut. Hitunglah ini sesuatu yang tiba-tiba.

Beberapa jam yang lalu, Kayeena dan Winter membicarakan hal tersebut. Mengira-ngira kapan kedua orang tua mereka berpisah dan berapa lama lagi Airin mempertahankan Francis. Tetapi rupanya, seolah memiliki firasat sebagai seorang anak, perkiraan mereka terlalu kuat.

Serena yang terduduk di sebelah Airin terkekeh mendapati ekspresi terkejut dua putri kekasihnya. "Mommy kalian sudah menimbang dengan matang. Tidak perlu cemas, aku ikut andil di pengadilan nanti."

"Dan Winter, hak asuh mungkin saja bisa diperebutkan nanti. Jadi kami harap, kamu bisa memposisikan dirimu sebagaimana pilihanmu, ya? Kami menyetujui apapun jawabanmu dan pilihanmu. Jangan takut hanya untuk sebuah jawaban."

Serena menenangkan Winter yang tampak sedikit gelisah. Juga Kayeena yang mengelus lengan Winter agar gadisnya tidak begitu memikirkan hal yang seharusnya sudah ditata matang.

"Kemarin Mama bilang bahwa Daddy ingin berunding terlebih dahulu. How about that? Jadi bertemu dengannya?" Tanya Kayeena menatap sepasang kekasih di hadapannya.

"Sepertinya iya, tetapi aku belum tahu kapan dan akan seperti apa nanti. Estimasiku jelas dalam kurun waktu minggu ini, entah kapan. Harusnya dia menunggu kalian memasuki libur pergantian semester."

"Pergantian semester.. Weekend?" Serena mengangguk mendengar pertanyaan Winter.

Winter menghela nafasnya. Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya dia bisa lebih tegas pada pilihannya. Seharusnya Winter bisa memberi jawaban secara langsung dan bulat pada Francis. Tetapi baru memikirkan hal tersebut saja sudah membuatnya muak.

Kayeena yang sadar bahwa Winter sedikit lesu segera berdiri, menarik Winter untuk ikut bangkit dan mengajak gadisnya beranjak. Paham situasi, setidaknya ada Kayeena yang mampu ikut mengontrol suasana hatinya.

Serena dan Airin saling bertatapan, lantas bersenggolan siku. "Putrimu, bagaimana bisa se-manis itu?" Airin tertawa pelan, mengangkat bahunya tidak tahu menahu.

"Beberapa sifat Papa-nya memang menurun, tetapi kurasa sifatku lebih banyak ada padanya."

"What? Papa Kayeena memang manis jika ku lihat. Kamu menang di sifat angkuhnya. Aduh!" Serena memekik pelan begitu cubitan Airin melayang begitu saja pada lengannya.

Sementara Kayeena dan Winter sudah bergelung pada sofa-bed di perpustakaan Kayeena. Ruangan yang tenang dan sejuk, namun juga hangat. Perapian yang menyala membuat suasana semakin nyaman. Keduanya bersandar saling memeluk di balik selimut.

"Aku sering melakukan ini, di sini. Saat bosan, mengantuk dan tidak tahu harus apa, lalu saat sedih, atau mungkin tidak memiliki kegiatan. Bisa dibilang, ruangan ini favoritku. Bukan, sofa ini maksudku."

Winter semakin mendesak pada Kayeena sembari mendengar kalimat-kalimatnya. Sesekali mendongak atau mengangguk hanya agar Kayeena tahu bahwa dirinya mendengarkan.

"Terlihat.. Bagaimana kamu produktif setiap hari bukan membuatmu menjadi manusia rajin. Kamu suka tidur, simpulkan saja begitu."

"Hei, siapa yang tidak suka tidur?" Jawab Kayeena dengan tatapan herannya. Tangannya masih mendekap tubuh yang lebih kecil darinya.

"Aku! Aku!"

"Oh? Pengakuan macam apa itu? Saat aku bangun tidur kamu sudah bersembunyi di balik selimut bersamaku? Huh?"

Ballerina [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang