BAB XXXV "PALAGAN; Mawiti"

284 39 11
                                    

Hari ini double up yah buat kalian semua.

semoga kalian suka yah

JANGAN PELIT VOTE DAN COMMENT YAH!

selamat membaca semua 

****************

Wengi ing Pawitra. Panggonan Resi.

Api unggun telah menyala di pelataran. Setelah setuju diadakan penginapan. Empat tiang bambu penyangga genting-genting daun kelapa agar tak padam. Semua pasukan berkumpul sekedar bercengkerama membakar hasil buruan. Jadilah daging bau hangus tubuh manusia.

"Tuan Blegur memanggil Anda," ucap Rengga di celah pintu kamar Drabha yang terbuka sedikit.

"Katakan sebentar lagi saya akan menemuinya," jawab Drabha di balik pintu, duduk diatas kayu dipan bersusah payah membalut luka di dada. Luka panah dilesatkan Anila.

Satu cangkir tanah liat untuk masing-masing kursi. Tiga kendi arak sudah tersedia di atas meja untuk malam panjang. Cahaya temaram nyala api dari ceplik menyinari wajah tegas Blegur. Bayangan hitam mulai mendekat, memunculkan wajahnya, duduk di seberang meja.

Tatapan wajah Blegur naik, semula tegang mulai mengendur. Kedua sudut bibirnya tertarik bersamaaan, "Udara dingin malam ini, butuh sesuatu untuk menghangatkan. Tiga kendi untuk pembahasan panjang tanpa ada kebohongan yang tertutupi," ujar Blegur penuh makna.

Drabha menangkap arah pembicaraan Blegur. Membuatnya mabuk untuk mengali semua informasi yang ingin dia inginkan. Tidak ada kepercayaan penuh padanya saat berpihak, memanfaatkan sesuatu yang membuahkan keuntungan besar baginya, itulah Blegur. Begitu juga dirinya. Tidak saling mempercayai.

Drabha tersenyum lalu menyentil kendi, bunyi dentingan kecil mendeteksi berapa banyak isi di dalamnya. "Pendapatku tiga saja tidak akan cukup," ucapnya.

"Baiklah, kita buktikan!" Tangan Blegur naik menyangga dagu. Menikmati permainan Drabha. Blegur menuangkan arak pada cangkir Drabha lalu terakhir cangkirnya.

Drabha mengangkat cangkirnya tinggi diikuti Blegur lalu meminumnya sekali teguk. Desahan keras keluar dari keduanya, tertawa merasakan kenikmatan menyegarkan di tenggorokan. Satu kendi sudah habis pembicaraan basa-basi terus berjalan dari mulut Drabha.

Tatapan Blegur tak ramah, kesabaran mulai menipis. Jari telunjuknya mengelap bekas bibirnya pada cangkir. "Lingkaran ini kering. Jangan biarkan bibirku juga ikut mengering menunggumu," geram Blegur.

"Itu kenapa tiga kendi saja takkan cukup," jawab Drabha tenang berusaha menguasai keadaan. Dia menenguk sisa arak pada cangkirnya.

Blegur beranjak dari tempat duduknya, berdiri di belakang Drabha alih-alih dikatakan memegang melainkan mencengkram pundak kiri Drabha tepat mengenai luka panah. Kerutan di wajah Drabha terlihat jelas menahan agar tidak memekik kesakitan.

"Jangan buat ini menjadi semakin lama, Drabha. Kau tahu menunggu adalah hal yang menjengkelkan," bisik Blegur pada telingga Drabha. Cengkramannya semakin kuat.

Drabha bernafas lega, tangan Blegur sudah terlepas. "Kenapa kamu menjadi orang tidak sabaran?!" Drabha mengeluarkan lembaran lontar yang diambil dari Blegur, diletakkan di atas meja.

Blegur menlirik lembar lontar itu kemudian duduk kembali di kursi. "Pengaruh arak ini sudah bereaksi rupanya padaku." Sikap Blegur melunak, menyeret lembar lontar ke bagian tengah meja.

"Lembar lontar ini bertuliskan nama-nama kitab yang berhubungan dengan simbol. Ada dua kitab dari kelima kitab; Darmasastra, dan Ing Jalanidhi yang saya ketahui betul isi didalamnya. Kitab Darmastra berarti kitab berisi hukum, dan Ing Jalanidhi berarti lautan. Hukum adalah aturan, Ing Jalanidhi berisi sebuah pembelajaran Hujan dan petir," papar Drabha menatap Blegur yakin. Seringkali dia hindari pernyataan ini pada Blegur.

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang