31 | 2019 (6)

42 2 0
                                    

Bogor, November 2019

"Biar aku."

Razel dan Ralissa tiba di Bogor sore ini. Ralissa yang hendak mengambil koper mengurungkan niatnya saat Razel mengambil alih. Razel kian perhatian padanya. Saat dalam perjalanan ia merasakan perutnya tidak enak, lelaki itu meminta untuk menepi lalu menyobekkan obat untuknya. "Tunggu kamu enakan dulu, nanti jalan lagi."

Sebenarnya sampai sekarang perutnya masih terasa tidak enak dan Razel pasti tahu itu. Razel yang bergerak menyewa kamar dan mengambil kunci. Kemudian lelaki itu kembali dan menyeret koper ke kamar yang ia sewa. "Kamu cuma sewa satu?" tanyanya setelah di dalam kamar sewa.

Ralissa seketika terkejut melihat jawaban Razel---sebuah anggukan samar. "Gak pa-pa?"

"Gak pa-pa." Razel membalas masih tanpa menatap Ralissa. Kemudian lelaki itu bergerak meletakkan koper di samping sofa panjang.

"Nanti aku aja yang tidur di sofa."

"Aku. Kamu istirahat aja di tempat tidur."

Ralissa tersenyum hangat.

Karena rasa tidak nyaman di perutnya belum hilang, keduanya mengganti keesokan paginya untuk jalan-jalan. Sebelum berangkat, keduanya memberi energi pada tubuh dengan makan seadanya. Namun, nyatanya hanya Razel yang menyentuh roti, sementara Ralissa hanya meminum air mineral saja.

"Kamu nggak makan?" tanya Razel melihat Ralissa duduk dan memandanginya.

Ralissa menggeleng. Ia ingin makan nanti saja. Namun tanpa ia duga, Razel menyodorkan rotinya. Dalam diam, hati Ralissa berbunga-bunga. Beberapa detik kemudian, perempuan itu tidak menyia-nyiakan perhatian itu.

"Aku kenyang. Buat kamu aja." Razel tersenyum setelah menyerahkan rotinya.

Selesai Ralissa menghabiskan rotinya, keduanya langsung meninggalkan kamar sewa. Keduanya berjalan dengan bertaut tangan, hingga akhirnya tiba di area yang menyejukkan mata. Keduanya duduk dengan Ralissa yang melakukannya lebih dulu. "Bagus, yah. Aku suka tempat ini." Ralissa melepas senyum sambil menoleh lelaki di sampingnya. "Kamu suka nggak?"

Ralissa melihat semilir angin menerpa wajah Razel. Sorot mata lelaki itu tidak berbohong melihat pemandangan yang dinikmatinya. Kedua sudut bibirnya pun mengangkat samar. "Suka."

Ralissa merasa tidak sia-sia akan usahanya mengajak Razel di tempat yang dipijaknya saat ini. Mendapati kerah jaket Razel menekuk, membuat Ralissa berinisiatif membenarkannya.

"Thanks," ucap Razel dengan senyuman yang disembunyikan. Lelaki itu manatap Ralissa kembali saat perempuan itu memanggilnya.

"Zel ...." Ralissa menambah, "Kamu suka sama aku?"

Razel bergeming akan kata-kata itu.

"Jawab iya kalau iya," sambung Ralissa dengan percaya diri.

Perlahan, Razel menghindari tatapan Ralissa. Ekspresi surut pada lelaki itu mencetuskan tanda tanya. "Razel," ucap Ralissa sambil menyentuh pundak lelaki itu.

"Aku nggak pantes sama kamu."

Giliran Ralissa yang bergeming. "Kamu bilang apa, Zel?" sahut Ralissa tak mengerti. Ralissa menunggu balasan, tetapi Razel tak kunjung bicara.

Pada akhirnya Ralissa memeluk lelaki itu erat. "Aku nggak butuh jawaban kamu. Aku udah tahu jawabannya." Ralissa berkata-kaca dan tersenyum lebar yang sarat akan ketulusan dan keyakinan besar.

***

Ralissa dan Razel masih tak beranjak dari tempat sebelumnya. Ralissa belum memiliki niat menjauhkan kepalanya dari bahu Razel. Panas matahari sudah mulai terasa menyengat kulit. Kini Ralissa menegakkan punggunya, memanggil Razel dengan hangat. "Razel ...."

Razel menoleh lalu tiba-tiba terkejut atas aksi tak terduga Ralissa. Ralissa sendiri tersenyum lebar setelah berhasil mengecup manis bibir lelaki yang disayanginya itu. "Aku udah buktiin."

Dengan itu Ralissa berharap Razel tidak meragukan perasaannya. Malam harinya, Ralissa belum berhenti menciptakan kehangatan hatinya juga Razel. Ralissa mengajak glamping lelaki itu di suatu tempat. Razel dan Ralissa tampak menikmati api unggun bersama di depan tenda besar yang terdapat satu tempat tidur serta barang-barang lainnya.

Merasa api unggun itu tidak sepenuhnya menghangatkan tubuhnya, Ralissa memeluk Razel dengan erat. "Masih dingin, Zel," jujur Ralissa lantas mendongak. Perempuan itu pun melihat jelas wajah Razel dari sisi bawah. Tidak ada bedanya. Razel tetap tampan.

Kemudian tiba-tiba Ralissa menegakkan punggungnya. Ralissa membenarkan celana jeansnya yang semula ditekuk jadi diturunkan. Ia juga baru mengingat memakai dua syal di lehernya. Perempuan itu mengambil satu lalu memasangkannya pada leher Razel.

"Eng-"

"Aku udah makai."

Razel sontak terdiam. Ralissa mengembangkan senyum kemudian memandang Razel dengan terpukau. "Kamu tuh ... gak jauh beda dari dulu," ucap Ralissa kemudian terdiam sesaat. "Makanya kamu sekarang ada di sini," sambungnya.

Razel pasti langsung mengerti maksud perkataannya. "Aku pengen malam terakhir kita di sini seneng-seneng." Ralissa belum mengalihkan pandangan ke mana pun. Ralissa tak bersuara lagi, tetapi perempuan itu secara perlahan mendekatkan wajahnya. Ralissa menatap mata Razel sejenak, sebelum akhirnya mengirim kehangatan di bibir lelaki yang disayanginya.

Dan perempuan itu tak menyangka, Razel membalasnya.

***

FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang