5 - Rakyat sang Ratu

33 14 8
                                    

"Charles," panggil Charming pelan di tengah halaman belakang istana. Hari itu terik, tetapi dua remaja tanggung penghuni istana lebih memilih berbaring di atas rerumputan dan memejamkan mata, membiarkan hangat matahari menerpa kedua kelopak mata mereka. "Apa kau pernah berpikir tentang perempuan?"

Charles tersenyum nakal. "Tentu saja pernah."

"Lalu apa yang ada di benakmu?"

Charles semakin geli, kali ini ia terkikik lebih nakal. "Kau ingin kita membahas perihal yang sedikit kotor kah, Pangeran?"

Charming berdecak. "Kita sudah pernah membahas hal itu, Bodoh. Jelas bukan. Kali ini pertanyaanku lebih merujuk pada ... kautahu, cinta dan segala kisahnya."

Charles menghentikan sisa tawanya, ia lantas duduk dan membuka mata. "Apakah semua pangeran semelankolis ini?" keluhnya menengadahkan kedua tangannya ke langit. "Kau tahu, aku pernah bertemu beberapa pangeran selain kau ketika usia mereka hampir dewasa, jodoh saja yang mereka bicarakan. Pamer kenalan putri kerajaan seberang, atau membicarakan kecantikan putri kerajaan lainnya." Charles menjeda. "Termasuk bagian yang seharusnya tak mereka bicarakan."

Charming tak menanggapi. "Aku serius, Charles."

"Ayolah, Pangeran. Kita masih empat belas tahun, apa tidak terlalu dini membicarakan hal itu? Bersenang-senang lah dahulu, menjelang pesta dansa di usiamu yang kedua puluh, baru kita bahas perihal keperempuan-perempuanan ini."

Charming terdiam sesaat. "Sebetulnya aku hanya penasaran ... apa yang akan terjadi jika kita jatuh cinta pada wanita yang sama?"

Kali ini mulut Charles tak membuka untuk beberapa saat. Lalu ditatapnya Charming. "Kalau memang hal itu terjadi, apa yang kau khawatirkan? Aku ini hanya pelayanmu. Tanpa perlu menghiraukanku pun perempuan itu jelas akan memilihmu."

Kicau burung mulai melesat keluar-masuk telinga Charles. Perlahan wajah remaja Pangeran Charming memudar dan menggelap hingga Charles benar-benar membuka mata. Langit hutan dengan selusup cahaya pagi yang tertutupi dedaunan rindang mengisi pandangan Charles.

Barusan ia bermimpi. Wah, batinnya. Charles sudah tidak ingat kapan terakhir kali ia bermimpi. Barangkali barusan adalah mimpi pertamanya selama menjadi mayat hidup. Ia terheran bagaimana seorang mayat hidup bisa bermimpi. Memang sihir tidak dapat dimengerti, dan Charles benci segala bentuk sihir.

Charles menolehkan kepala ke kanan. Cinderella tengah tertidur bergelung di sampingnya, dahi gadis itu menyentuh ujung bahu Charles. Terdengar napas halus dari hidung Cinderella. Charles terkesan lagi, sudah lama ia tak mendengar napas manusia.

Di antara sekian banyak memori, mengapa justru kejadian tidak penting itu yang menyelip dalam mimpi Charles? Namun, hal itu berhasil membuat kerinduannya kambuh. Ia merindukan kehidupan normal sebagai manusia. Nyaman dan tidak sendirian.

Tiba-tiba derak roda dan derap langkah kuda terdengar dari kejauhan. Charles bangkit, menyentuh leher dan kepalanya yang kini sudah tersambung aman. Lalu ia membangunkan Cinderella.

"Cindy, hei, bangun. Kita harus menepi."

Cinderella mengecap-ngecap dan kembali tertidur.

"Cindy!" bisiknya agak berteriak. "Bangun!"

Cinderella masih pada posisinya.

Charles menarik tangan Cinderella dan mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu. "Itu kereta kerajaan, cepat bangun!"

Mata Cinderella serta-merta terbuka. Ia langsung menoleh ke asal suara, dan benar saja. Itu kereta kuda milik istana Pangeran Charming. Jantungnya berdegup kencang. Ia bangkit dan hendak berlari ke arahnya, tetapi Charles menahannya. Dahi Cinderella berkerut marah. "Lepaskan!"

Wonderland: Tales of The Eight PawnsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang