Tanpa menunggu jawaban Sofia, Pak Hadi mulai berganti melihat layar yang fokus ke meja kasir. Mulai datang, istrinya duduk di kursi belakang meja kasir. Beberapa menit sebelum pembeli marah-marah, Bu Tuti bangkit dari duduknya dan berjalan sampai tidak terpantau kamera CCTV. Menurut keterangan Sofia tadi, Bu Tuti ke toilet.
Kurang lebih lima belas menit Bu Tuti kembali duduk sampai Pak Hadi datang sore harinya. Di monitor jelas terlihat yang berada di dekat meja kasih hanya Bu Tuti. Sofia sama sekali tidak mendekati meja kasir.
"Sofi sama sekali tidak ke meja kasir Bu, semua uang Ibu yang terima. Jadi, kemana kekurangan uangnya?"
Bu Tuti diam saja dan tak berani memandang wajah suaminya. Ia menunduk sambil mempermainkan ujung bajunya. Walaupun Pak Hadi orangnya lembut, tetapi untuk hal-hal yang prinsip seperti ini ia akan bertindak tegas biarpun dengan istrinya sendiri.
"Bagaimana ini, Bu? Ibu yang menerima uang dan menyerahkan kembalian."
Pak Hadi memandang istrinya. Ia marah terhadap wanita yang sudah menjadi pendamping hidupnya itu. Akan tetapi, sedapat mungkin ia menahan diri untuk tidak berucap kasar. Bu Tuti luruh hatinya mendapat kelembutan dari suaminya.
"Ma ... maafkan aku Pak," jawab Bu Tuti terbata. Diiringi isakan ia meminta maaf.
"Maksud Ibu apa? Apa ibu perlu uang lebih? Biasanya ibu selalu bilang kalau perlu apa-apa."
Sofia kemudian melanjutkan pekerjaan setelah dirasa tidak dibutuhkan lagi. Dirinya merasa lega mendengar pengakuan Bu Tuti. Kenapa Bu Tuti ingin mengfitnahku? Apa salahku? batinnya sambil memasukkan kertas bekas di karung sampah.
"Sofia, maafkan Ibu ya," kata Pak Hadi mewakili istrinya. Sofia mengangguk.
"Maaf, Pak, Bu, saya sudah selesai apa saya bisa pulang?" Sofia sebenarnya sudah merasa tidak nyaman dengan kejadian tadi. Ia ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
"Ya sudah pulang saja, besok kerja seperti biasa ya."
Selama perjalanan pulang Sofia tidak habis pikir dengan sikap Bu Tuti. Ia merasa sepertinya tidak pernah melakukan kesalahan selama kerja ataupun sengaja membuat Bu Tuti marah. Sejak awal bekerja, ia berjanji untuk bekerja sebaik mungkin dan selalu menjaga kejujuran.
Sebenarnya, tanpa alasan Bu Tuti bersikap seperti itu. Ia cemburu terhadap Sofia. Baru satu bulan Sofia bekerja, Pak Hadi sering memuji hasil kerja karyawannya itu. Bu Tuti mendengar kabar kalau ada temannya yang berpisah dengan suaminya karena sang suami selingkuh dengan karyawannya. Bu Tuti tidak ingin nasibnya sama seperti temannya itu. Walaupun sebenarnya Pak Hadi tidak mungkin melakukan itu, tapi ada rasa khawatir di hati Bu Tuti.
Semenjak kejadian itu, Bu Tuti tidak pernah lagi menjaga toko. Sofia sudah bisa mengatasi pembeli bila ditinggal Pak Hadi. Kini, Pak Hadi lebih sering berbelanja saat toko tutup.
"Percaya pada Bapak, Bu. Bapak tidak mungkin meninggalkan Ibu. Zaman sekarang susah cari karyawan yang jujur dan rajin seperti Sofia," ucap Pak Hadi suatu ketika, saat menanyakan alasan istrinya berlaku tidak baik terhadap Sofia.
"Maafkan Ibu, Pak. Terus terang Ibu tidak mau kehilangan Bapak seperti teman Ibu." Bu Tuti mengusap air mata yang tiba-tiba menetes. Malam itu kelegaan merambahi hati pasangan suami istri itu. Bu Tui percaya penuh dengan kesetiaan suaminya.
***
Belum juga Sofia masuk kamar kost sepulang kerja, nada panggil terdengar dari handphone-nya. Melihat nama yang tertera, Sofia mengurungkan untuk masuk. Ia berjalan ke kursi kecil yang berada di depan kamar indekost dan duduk di situ.
"Assalamu'alaikum, Bu, apa kabar. Sofia kangen Bu. Kapan Ibu mau kesini?"
Utari belum menjawab salam dari Sofia, tetapi anaknya itu sudah menyatakan kerinduan pada sosok wanita yang dipanggilnya ibu. Utari mengabarkan kalau minggu depan akan menengok Sofia bersama Mbak Sania.
"Tapi kost Sofi sempit, enggak apa-apa ya Bu kita bertiga sempit-sempitan." Sofia memberi kabar tentang kondisinya sebelum Utari datang.
Waktu yang ditunggupun tiba, hari minggu toko Pak Hadi tutup sehingga Sofia bisa menjemput Utari dan Mbak Sania di poll bis. Ia menuju ke sana menggunakan angkutan umum. Setelah menunggu beberapa saat bis yang ditunggunya datang. Ia bangkit dan bergegas menuju bis yang baru saja berhenti.
"Ibu!" panggilnya sambil melambaikan tangan, ketika sosok yang ditunggu itu muncul di pintu bis.
Sofi memeluk ibunya dan Mbak Sania secara bergantia. Dua buah koper berukuran sedang dan sebuah kardus mereka bawa. Kemudian Sofia mencegat taksi yang kebetulan lewat untuk mengantar mereka sampai tempat indekost.
"Beginilah Bu, Mbak Sania kostnya Sofia."
Sofia membuka pintu kamar. Keadaan yang tidak terduga bagi Utari dan Sania kini berada di depan mata.
"Kamu betah tinggal di tempat seperti ini?" tanya Sania sambil pandangannya menyapu seisi ruang kecil itu.
"Mampunya seperti ini Mbak."
"Lagian kamu tidak mau nurut ibu, sih, coba kalau nurut, sekarang sudah jadi foto model dengan bayaran besar, bisa beli barang-barang bagus."
"Biarlah yang penting halal." Sofia hanya mampu mengucapkan itu dalam hati. Ia tidak mau menyinggung perasaan ibu dan kakaknya.
Sofia kemudian membuatkan teh hangat dan menyajikan makanan kecil yang sudah disiapkan. Mereka saling bercerita melepas rasa rindu. Sesekali Utari mengipas menggunakan kertas untuk mengurangi rasa panas
"Panas ya Bu, saya belum mampu membeli kipas angin." Ada rasa haru dan rasa bersalah terbesit di hati Utari.
"Duh, banyak nyamuk ya." Sania memukul nyamuk yang hinggap di lengan. Tiba-tiba rasa khawatir menyelinap di hati perempuan yang mengenakan kaus hitam ketat dan celana denim ketat itu.
"Ah, bagaimana nanti kalau aku digigit nyamuk terus, bisa rusak kulitku," batin Sania
Sebagai foto model dewasa semua bagian tubuh Sania merupakan aset yang harus ia jaga. Kulit mulusnya bisa ternoda akibat bekas gigitan nyamuk.
"Di luar sebentar ya." Sania keluar kamar mencari udara segar di sekitar kamar.
Ia duduk di kayu melintang yang terletak di teras depan kamar. Diambilnya handphone yang ia simpan di tas kecil. Kemudian, ia menghubungi seseorang yang nomornya sangat dihafal.
"Hen, aku dah sampai Jakarta nih," ucapnya ketika teleponnya terhubung dengan seseorang yang di tuju. Sania menceritakan keadaan tempat tinggal adiknya.
"Bisa habis nih kulit aku digigit nyamuk."
Hendrik menyarankan Sania mencari hotel di dekat indekost Sania.
"Besok aku susul ya sekalian kita pemotretan, banyak tempat eksotis yang bisa kita pakai." Hendrik, manajer sekaligus fotografer Sania memanfaatkan keberadaannya untuk urusan pekerjaan.
Dirasa cukup menghubungi Hendrik, Sania masuk kambali. "Bu, aku mau menginap di hotel, kata Om Hendrik sekalian pemotretan."
"Apa tidak besok saja, menginap dulu semalam, kamu tidak kangen sama adikmu."
"Gimana ya, Bu, di sini banyak nyamuk, nanti kalau ada bekas gigitan nyamuk, Om Hendrik tidak mau memakai aku sebagai foto modelnya." Sania mencari alasan agar bisa menginap di hotel.
*bersambung*
#AWB2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Menepis Nista, Meraih Asa
RomanceSofia, seorang wanita karier yang sedang berada di puncak kariernya harus kandas kisah cintanya karena orang ketiga yang menghalanginya. Siapa sangka gadis yang meniti kariernya dari bawah dan mengadu nasib di Jakarta usai SMA ini dulunya akan "diju...