34 | Rencana

58 3 0
                                    

Ralissa sudah mendengar kematian Ardan dan kecelakaan yang dialami Razel dari satpam apartemen. Meski tak menyangka dan cemas pada keadaan Razel, tetapi perempuan itu tidak mau gegabah. Sambil mondar-mandir tiada henti, perempuan itu menunggu kepulangan Razel. Namun sampai mulai petang seperti ini, Razel belum sampai juga di apartemen. Ia berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk dengan lelakinya.

Penantian Ralissa berakhir tiga jam kemudian. Razel yang pulang masih dengan pakaian kemarin berjalan dengan langkah panjang kemudian memasuki apartemen tanpa melihat Ralissa. Beberapa detik kemudian terdengar barang pecah. Di dalam Ralissa mendapati Razel menghamburkan seluruh isi ruang tamu. Lelaki itu juga megerang keras.

"Aku gak salah! Kenapa semua nyalahin aku!" Razel meninju dinding dengan emosi.

"Razel." Ralissa bereaksi agar Razel tak melukai dirinya lebih jauh. Perempuan itu menarik Razel jauh-jauh dari dinding. "Tenang dulu, Zel," tutur Ralissa pelan lalu menatap sendu Razel.

Namun, Razel tak mendengarkan perkataannya hingga tiba-tiba menangis dengan pilu. Razel membalikkan badan, kembali memandang Ralissa. "Malam itu Ayah, Lis, yang mau bunuh aku."

Ralissa nyaris terperangah. Apa? Razel menumpahkan perasaan hati padanya?

"Aku banting setir, tapi Ayah ditabrak truk itu. Emang aku salah, tapi aku nggak bunuh Ayah!" Air mata Razel jatuh semakin deras diiringi isak sedihnya. Kemudian lelaki itu meluruhkan tubuhnya pada lantai dan terisak tanpa putus.

Razel baru menangis saat lelaki itu hendak membuka kotak belingnya. Melihat itu, Ralissa yang meneteng nampan berisi makanan mendekati lelaki itu dengan cepat sampai nampan ditangannya jatuh lantas merebut benda yang baru dibuka Razel. "Gak. Aku gak mau lihat kamu nyakitin diri kamu lagi," tegasnya keras. Kotak itu Ralissa sembuyikan di balik badannya kuat-kuat.

"Mana," pinta Razel tak peduli.

"Gak!" teriak Ralissa sambil melempar barang itu jauh-jauh.

"Lis!" Razel menegur dengan amarah.

Air mata Ralissa meleleh. Tangisnya tak bisa dibendung lagi. "Aku nggak mau kamu kenapa-napa."

Dengan tangis belum berhenti, Ralissa mendekap tubuh Razel dengan erat. Ia tersenyum haru dibalik tangisnya karena Razel tak melepas pelukannya. "Aku percaya ayah kamu meninggal bukan karena kamu, Zel. Aku percaya banget."

Mungkinkah Razel tengah terenyuh dengan perkataannya barusan?

Tiga puluh menit kemudian, keduanya sudah beralih tempat di kamar. Ralissa mengobati luka di kening Razel dengan obat merah. Pandangan Razel tampak kosong selama diobati. "Udah," kata Ralissa begitu selesai mengobati. Melihat keringat pada leher Razel, perempuan itu mengusapnya secara halus dengan tangan.

"Kamu istirahat aja, ya." Ralissa membelai rambut Razel dengan perhatian. "Aku bantu." Ralissa memaksa senyum lalu berniat membantu Razel tiduran. Namun, Razel menolaknya.

"Enggak, makasih. Aku mau pergi." Razel meninggalkan Ralissa dengan langkah panjang. Ralissa terbangun dari posisinya, segera menyusul Razel dengan langkah cepat.

"Akhh," refleks Ralissa saat nyaris terjun ke bawah saat menuruni tangga. Ralissa pun kembali turun dengan cepat dengan fokus yang tinggi.

"Razel!" teriak Ralissa melihat Razel berlalu dengan mobil putih miliknya. Ralissa melihat mobilnya menabrak tugu sebelum berjalan kencang kembali. Ralissa merutuki kebodohannya karena sudah kecolongan.

Razel belum kembali ketika waktu sudah tengah malam. Ralissa bahkan tak tidur dan menunggu Razel di ruang tamu. Kecemasannya terus meningkat karena sampai pagi Razel belum pulang juga.

Siang harinya, Ralissa mencari keberadaan ponselnya dengan gelisah. Ia ingin meminta bantuan Anres untuk mencari Razel. Namun, belum sampai perempuan itu menelepon adiknya, perempuan itu lebih dulu tercengang mendengar langkah kaki.

Razel. Ralissa membalikkan badan, menuju sumber suara. Perempuan itu tersenyum haru bahwa suara langkah itu memang benar suara langkah Razel. Ralissa bersiap memeluk lelaki itu, tetapi Razel malah menolaknya.

"Bantu aku jalanin rencana aku," tegas Razel tajam.

"Bantu aku jebak Naro," tambah Razel masih dengan tajam.

***

"Aku udah kasih pesan buat Naro," lirih Ralissa sambil memperlihatkan bukti pada Razel.

Ralissa :
Naro, maaf
Bisa jemput aku di rumah temen?

Ralissa menarik ponselnya kembali. Tak lama kemudian, notifikasi balasan Naro muncul.

Naro :
Ini beneran kamu?
Kamu udah nggak kesel sama aku?

Ralissa :
Iya.
Gimana? Aku gak maksa kamu kok. Kalau gak bisa gak pa-pa.

Jujur, sebenarnya Ralissa tak mau melakukan ini. Namun, perempuan itu tak mau berpisah dengan Razel.

"Ikut atau aku pergi dari apartemen?"

Ralissa menunggu balasan Naro cukup lama. Sampai akhirnya ....

Naro :
Bisa.
Kirim alamatnya, Lis.

Ralissa mematikan layar ponselnya. "Udah," ucap perempuan memberitahu.

Sejak tadi dadanya berdegup-degup tegang. Ia belum sepenuhnya mengerti apa yang akan Razel rencanakan pada saudaranya. Beberapa meter dari mobil putih Ralissa ada mobil hitam yang diisi seseorang yang tak perempuan itu kenal. Dari tadi mobil itu seperti terus menunggunya.

Razel menjalankan mobil setelah mengirimkan sebuah pesan pada seseorang. "Kamu tinggal duduk di dalam. Biarin nanti Naro masuk sendiri."

Degup jantung Ralissa semakin tak keruan. Satu jam kemudian, Razel tiba membawanya ke suatu tempat. Rumah yang tak terawat. Suasana sekitar sepi, bahkan Ralissa tak menemukan rumah lainnya.

Mobil hitam tadi berhenti di samping mobil Razel. Ralissa seketika tidak merasa salah dengan kecurigaannya. "Siapin semua. Cek, jangan ada cela saudara saya bisa kabur."

"Iya, Pak." Pria yang baru keluar dari mobil itu mengangguk lantas memasuki rumah tak terawat itu setelah membukanya dengan kunci.

"Razel, kita mau apain Naro? Zel, plis jangan kelewatan!"

Namun Razel tak mengacuhkan perkataan Ralissa. Lelaki itu malah menatap tajam Ralissa lantas memasuki rumah tak terawat, menyusul pria tadi.

***

FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang