41 | Dekapan

56 4 0
                                    

Muncul kabar dan video tak terduga dari seorang remaja yang merekam detik-detik Razel jatuh dari gedung apartemen. Sempat takut dan hanya memendam saja, remaja laki-laki itu akhirnya menunjukkan bukti besar pada polisi bersama sang ibu.

Video itu memperlihatkan Razel didorong seorang wanita tanpa perasaan. Polisi sudah menyelidikinya dan Ralissa tak menyangka bahwa pelakunya adalah ibu sambung Razel sendiri---Sherin. Belum diketahui pasti motif perempuan itu mendorong Razel. Namun, banyak yang menduga, Sherin melakukannya karena tidak terima tak mendapat harta sedikit pun dari Ardan. Ardan justru memberikan seluruhnya pada Razel yang wanita itu masih yakini orang yang merencanakan kematian pria itu sendiri.

Polisi berusaha keras mencari keberadaan wanita itu. Ralissa hanya meremas bajunya selama mendengarkan laporan Anres.

***

Sampai hari ini Razel tetap hanyut dalam tidur panjangnya. Hidup Ralissa masih temaram tanpa suara dan tatap mata lelaki itu. Ralissa rindu tatapan Razel. Perempuan itu hanya bisa memandangi foto-foto Razel untuk menenangkan perasaannya.

Razel kecil sangat menggemaskan di mata Ralissa. Razel yang masih berumur lima tahun itu tampak anteng di samping ibu kandungnya.

Razel saat SD masih tetap menggemaskan. Ia tersenyum lebar di samping saudaranya dengan menggunakan seragam sekolah kebanggaannya.

Razel saat SMP terlihat tampan. Lelaki itu tersenyum tipis menggunakan baju kasual di samping seorang wanita---yang Ralissa duga Mona---ibu kandung Naro.

Razel saat SMA lebih tampan. Ya, wajah inilah yang dulu membuat Ralissa selalu terbayang. Lelaki itu tampak tersenyum segaris di sebelah sahabatnya---Levo yang berpose meminum air.

Ralissa tersenyum segaris. Ternyata sweeter dan syal kesayangan Razel adalah milik dua wanita kesayangan Razel. Dan beling-beling itu adalah pecahan gelas milik sahabatnya. Foto-foto itu sudah menjawab semuanya.

Ralissa mengembalikkan foto-foto itu kembali pada tempat asalnya---dompet Razel---dengan menahan isak. Ah, lagi-lagi Ralissa teringat kondisi Razel di rumah sakit.

Kedatangan Anres membuat perempuan itu sedikit tenang. Meski sempat terisak, perempuan itu kini duduk di ruang makan, menunggu Anres menyiapkan makan siang. Akhir-akhir ini Anres memilih tinggal di apartemen Ralissa. Pemuda itu tak tega meninggalkan kakaknya sendiri dalam keadaan meratapi Razel.

Ralissa yang semula diam melamun, meluruskan pandangan ke depan saat tiba-tiba melihat Razel mendekat dengan dua piring makanan di tangannya. Tatapannya seolah tidak mempercayai apa ia lihat. Razel? Razel ada di depan matanya.

"Kak?"

Ralissa mengedip saat tiba-tiba wajah Razel berubah menjadi wajah sang adik. "Maaf, Res."

Anres bingung akan sikap Ralissa. Namun pemuda itu tak menuntut penjelasan.

Anres menyingkirkan kursi sebelum menaruh dua piring makanan yang ia tenteng di meja.

***

Ralissa kembali memasuki ruangan serba putih itu. Kecupan hangat dari perempuan itu mendarat lembut di kening lelaki yang masih bernapas dibantu ventilator.

Aku datang lagi. Cepat buka mata, sayang. Ralissa memandang wajah Razel dengan saksama.

Tolong tetap hidup. Ralissa memembelai halus wajah lelaki itu.

Waktu terus berlalu. Malam harinya Ralissa tampak kembali hanyut dalam lamunan.

"Kak."

Kehadiran Anres tak perempuan itu hiraukan. Anres menunduk, lantas tak mengucapkan sepatah kata lagi. Keduanya masih di rumah sakit. Anres tak akan pulang jika Ralissa mau pulang.

"Ralissa."

Ralissa seketika menyapu pandangan ke sekitar. Perempuan itu baru saja mendengar suara Razel memanggil namanya.

"Kak?" cetus Anres sambil ikut menyapu pandangan ke sekitar. "Kakak lihat apa?"

"Aku denger suara Razel," jawab Ralissa dengan nada mengesah. Dan perempuan itu masih tak henti mencari keberadaan Razel.

Kalimat dan tingkah Ralissa membuat Anres cemas. "Razel belum sadar, Kak." Anres serta-merta berjongkok di depan Ralissa seraya menyentuh pundak perempuan itu. Tatapan pemuda itu membuat Ralissa menatapnya.

Tak lama kemudian, Anres bergerak menarik Ralissa dalam pelukannya. "Kakak tenang, ya," lirih pemuda itu.

Tidak ada sepatah kata yang keluar lagi dari mulut Anres. Pemuda itu membiarkan Ralissa tetap dalam dekapannya dengan waktu lama.

***

FOREVER RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang