Rasa Penasaran

24 19 1
                                    

Vote and komen.
Jangan lupa ya, hehe.
Selamat membaca!

***

Sekolah berjalan seperti biasa. Semua murid yang datang melakukan aktivitasnya masing-masing, entah itu piket kelas, piket lingkungan ataupun sekedar santai-santai saja, mengobrol dan bercanda dengan teman mereka.

Ketika bel pagi telah berbunyi, mereka pun masuk kelas. Karena di luar sana, Bu Jojo sedang menyusuri koridor sekolah, melihat siapa saja yang belum masuk dan menyeretnya untuk memberikan hukuman jika memang dia tidak punya urusan penting di luar.

Jika ingin membolos, pergi ke bagian sekolah yang tidak ditemukan guru-guru, kemungkinan tidak ketahuan terlalu kecil. Bu Jojo pun pernah berkata, "kalau misalkan mau bolos ya sudah, nggak masuk sekolah aja sekalian, daripada dihukum."

Memang juga, rata-rata murid di sini jarang membolos. Termasuk Riki. Namun baginya, dimana pun tempatnya, kita bisa membuat diri ini bahagia. Bersyukur dan jalanilah setiap keadaan yang Tuhan tentukan, maka kebahagiaan akan datang sendirinya.

"Hari ini Bapak ada urusan dan karena ini baru hari kedua kalian di kelas 12, Bapak nggak akan kasih tugas!"

"Wowww!

"Thank you Pak!"

"Party gess party!"

Pak Guru yang masih ada di depan itu menghela napas sekaligus tersenyum melihat anak muridnya yang terlihat sangat senang. "Sudah-sudah, gunakan jamkos ini sesuka kalian tapi jangan ribut!"

"Oke, Pak!"

"Bapak mau pergi dulu."

"Jangan pergi-pergi terus ya, Pak, kasian istrinya," celetuk seorang siswa yang duduk di sebelah Riki, dia menyengir tanpa dosa saat Pak Guru menatapnya penuh protes.

"Diam ya, kamu!" tegur guru itu, yang sebelumnya ingin pergi namun tak jadi gara-gara ulah Fino. "Kalo ngomong suka bener!"

Murid-murid yang tadinya diam karena takut Pak Ahmad marah, langsung tertawa lepas. Ternyata guru mereka itu sangat santai orangnya.

Auto jadi favorit teacher nih di kelas ini, wkwk.

"Bapak, permisi!" ucap beliau, tertawa kecil lalu keluar dari kelas. Hal itu sambut dengan ucapan terimakasih oleh para murid karena telah memberi mereka jamkos.

Fino menggeliatkan tubuhnya sampai seperti orang yang kejang-kejang. Jaya yang duduk di belakang kaget. "Kenapa lu?"

"Eughh," desah cowok itu membuat ketiga temannya bergidik ngeri.

"Nggak patah apa pinggang lu kek gitu?" lontar Riki, sedikit risih dengan yang temannya itu lakukan.

"Enak tauu!" sahut Fino, kemudian berdiri dan meregangkan otot-ototnya. Melihat wajah teman-temannya, dia protes. "Sewot amat lu pada! Ada masalah hidup apa hah? Cerita sini!"

"Lo masalahnya," ucap seorang cowok yang tengah membaca buku itu, nama Albi. Dia duduk di belakang Riki dan di samping bangku Jaya.

"Anj---astaghfirullah!" Fino beristighfar sambil mengusap-usap dadanya dengan kepala yang geleng-geleng. Cowok itu baru saja ingin mengumpat.

"Berkata kasar denda lima ribu!" sahut Jaya menjulurkan tangannya.

"Lah orang gue belum sempat!"

"Tadi lu bilang, 'anj'. Nah itu apa?"

"Lho, lho, tuh lu bilang juga!"

Kedua orang itu berdebat. Riki yang duduk di tempatnya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia menoleh pada Albi di belakang. Seperti biasa, kalau ada waktu cowok itu selalu menyempatkan diri untuk membaca. Terutama novel ber-genre fantasi.

Between StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang