"Mau kemana?" Pertanyaan Ian menghentikan gerakan Ana.
"Mau kemana apanya?"
Ian menunjuk tangan Ana yang hendak mengambil tas dengan dagunya. "Ya itu mau pergi.""Nih liat aku ngga pergi. lagian kalo pergi juga pasti ngga dibolehin kan?" Ana menunjukkan tangannya yang sedang mengaplikasikan bedak. Merapikan riasannya yang berantakan.
"Iya." Ian kembali memfokuskan pamdangannya ke arah panggung.
"Huh.. itu tau."
"Jadi gimana?" Tanya Ian tanpa mengalihkan pandangannya.
"Gimana apanya ian? Kamu kalo nanya yang jelas jangan setengah-setengah." Ana meletakkan riasannya. Memfokuskan perhatiannya kepada Ian.
"Lamarannya." Ian menoleh. Menatap tepat pada iris mata Ana.Ana terbungkam. Tak menyangka jika Ian akan menanyakan perihal itu padanya hari ini. Ian memang berjanji akan menunggu dan menerima apapun jawaban yang akan Ana berikan. Tetapi bukannya menciptakan ketenangan dalam hati Ana, perkataan Ian justru berubah menjadi beban yang terus bertambah berdesakan kian harinya.
Ana mengalihkan pandangannya ke depan. Memutar otak. Mencari sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkannya dari topik ini. Sejurus kemudian, datanglah pak Dono. Dosen muda yang dulu sempat mengajar di SMA Ana dan Ian. "Eh pak dono ternyata jadi MC. Waah.. ngga kebayang gimana nanti. Pak Dono kan orangny-"
"Ngga usah ngalihin topik An. Kalo kamu memang belum ada jawaban tinggal bilang, aku belum bisa jawab Ian. Kaya gitu malah ngga sopan, kesannya malah kaya kamu ngga denger aku ngomong apa." Ujar Ian kesal karena Ana tidak menjawab pertanyaan yang sudah susah payah ia ucapkan."Maaf Ian. Bukannya gitu.. aku cuma bingung gimana milih kata yang tepat." Ana menundukkan kepalanya. Menghindari sorot tajam mata Ian.
Melihat gelagat Ana yang seperti ketakutan. Ian tersadar dan segera mengubah intonasi suaranya. "Gapapa. Aku kan udah bilang, apapun jawaban dari kamu aku bakal terima."
Ana menghela nafas panjang. Ia benar-benar bingung bagaimana cara memberi tahu Ian bahwa Ayahnya belum tentu setuju jika Ana menikah, mengingat Ayahnya yang terlihat sangat mengharapkan Ana menjadi wanita karir.
"Kamu tau jawabannya Ian. tapi aku juga ngga mau ngecewain Ayah" Ana memainkan jemari lentiknya untuk menghilangkan rasa gugup.
"Aku ngga akan mengekang kamu setelah kita menikah."
"Aku tau.. Tapi bukan cuma itu masalahnya.""Aku akan bicara pada Ayahmu, lusa. Bersama Bapak dan Ibu"
Ana mendongakkan kepalanya. Terkejut dengan kabar yang Ian berikan. "Aku belum menjawab lamaran mu."
Ian memposisikan duduknya agar lebih leluasa berbicara dengan Ana. "Apa yang kamu khawatirkan, An? Aku akan mendukung kariermu. Aku tidak akan membiarkan usaha Ayahmu sia-sia hanya karna kita menikah!"
Ana melempar pandangannya kearah lain.
"Masalahnya bukan kamu, Ian. Masalahnya aku. Kamu tau sendiri, aku ceroboh dan kurang bisa membagi waktu. Gimana kalo aku terlalu sibuk dengan karier, lalu aku melupakan kewajibanku sebagai istrimu nanti? Bagaimana jika nanti kamu tidak bahagia bersamaku? Bagaimana jika nanti kamu menyesal telah memilihku? Aku takut Ian.. Pernikahan adalah suatu hal yang sakral, bahkan arsy pun bergetar mendengarnya. Ini sama sekali bukan hal yang mudah bagiku.""Bukan tugasmu memikirkan itu. Masalah bahagia atau tidak, itu tidak hanya tergantung kepada terpenuhi atau tidak hak dan kewajiban kita sebagai suami dan istri. Yang penting ada kemauan dan usaha. Kamu cukup bilang 'mau' aja aku udah bersyukur, An. Untuk seterusnya, kita hadapi sama-sama. Menikah bukan tentang aku dan kamu. Menikah akan menjadikan kita. Susah, senang, tangis, tawa, kita hadapi semua sama-sama. Kamu dukung karierku, aku pun akan dukung kariermu. Kita bisa saling menguatkan, An. Bukan menyalahkan." Ana terdiam. Menyadari kesalahannya yang tidak bisa berpikir jernih.
"Kamu terlalu baik Ian.. aku bukan wanita yang pantas untukmu.. aku.. aku bodoh, cerewet, kurang percaya diri, ceroboh ,ak-"
"Cukup An. Aku memilihmuu bukan hanya semata mata karena nafsu sesaat. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Anak-anakku lebih membutuhkan seorang ibu yang rajin, tekun, dan sabar untuk membesarkan mereka. Sederhana, bijaksana, dan dermawan dalam mendidik mereka. Aku nggak butuh seorang wanita cantik yang lebih memilih merias dirinya sendiri daripada mengurus darah dagingnya. Aku juga nggak butuh wanita yang cerdas, pintar, kaya tapi untuk sekedar berbagi makanan saja tidak bisa. Aku memilihmu dengan segala kekuranganmu, An. Aku juga bukan lelaki sempurna, tapi aku percaya. Kamu adalah kepingan puzzle yang Allah ciptakan untuk melengkapiku." Ujar Ian menggebu-gebu. Gemas dengan sikap Ana yang kurang percaya diri dengan kelebihannya.Lagi, Ana kembali terdiam. Tidak menyangka jika Ian, teman masa kecilnya. Benar-benar serius ingin meminangnya. "Makasih Ian.. kamu benar. Maafkan aku yang terlalu kurang ajar menyimpulkan niatmu melamarku."
Ian mengangguk. Menjawab ucapan terimakasih Ana. "Jangan meminta maaf kepadaku. Mintalah maaf kepada dirimu dan Dzat yang menciptakanmu"
Ana mengambil nafas panjang. Mencoba mengucapkan kata-kata yang telah lama ingin ia ucapkan. "Insyaallah.. aku percaya. Kamu adalah lelaki yang Allah pilihkan untuk menjadi imamku.. Datanglah kerumahku lusa bersama keluargamu. Aku akan dengan senang hati menyambut. Aku pergi dulu. Assalamualaikum"
Ian mematung. Tidak menyangka bahwa Ana akan mengucapkan kata kata yang telah lama ingin dia dengar. "Waalaikumussalaam. TERIMAKASIH AN!!"
Ana berjalan dengan cepat. Takut Ian akan mengejar dan menemukan wajahnya yang telah memerah seluruhnya.
......
KAMU SEDANG MEMBACA
pengennya apa?
Teen FictionBerawal dari sebuah angan yang lambat laun bermetamorfosis menjadi kata ingin. Kian lama, kian panjang waktu yang termakan. Kata ingin tak lagi sesederhana hanya. Namun dengan caranya yang tak terduga. Tumbuh menjadi hasrat yang tak lagi sanggup di...