Bulan selalu menekankan pada hatinya untuk tidak berharap. Iya, tetapi ia selalu gagal.
-Perahu Kertas
***
"MAS NAREN!"
Lengkingan suara itu mampu mengejutkan laki-laki yang saat ini tengah asik tidur tengkurap di kasurnya.
Naren Agaa Maheda. Dia berdecak kesal seraya menyikap selimut, terpaksa bangun dari tidurnya. Tak berselang lama pintu kamarnya terbuka, kepala seorang gadis berjilbab menyembul di sana.
"Ngapain sih Bul?" Naren menggeram kesal, cowok itu menatap tajam ke arah pintu. Rusak sudah moodnya di pagi ini.
Bulan menampakkan cengirannya, "dicariin tuh di bawah, udah siang gini kok masih tidur. Dasar kebo!"
Naren mengabaikan sindiran itu, dia sibuk meregangkan otot-otot tubuhnya. Sembari berpikir, siapa yang mencarinya di pagi buta begini. Ralat, mungkin sudah siang? Ah Naren tidak peduli.
"Siapa?" tanya Naren dengan suara berat.
"Mbak Alice."
Mendengar nama itu tiba-tiba saja rasa kantuknya menguap begitu saja. Naren dengan terburu-buru turun dari ranjang, melewati Bulan begitu saja.
Bulan mengusap dadanya sabar, dia menyusul Naren ke bawah. Dia sudah menyiapkan hatinya andai saja melihat interaksi Naren dan Alice selalu yang terlihat dekat.
"Ada apa?" Itu suara Naren, Bulan menghentikan langkahnya. Memilih untuk tetap berada di lantai atas.
"Gue disuruh Rio ngasih ini." Alice menaruh sebuah map biru ke atas meja. Naren mengambilnya lalu menelisik map itu dengan alis mengerut.
"Ini tugas dia, kenapa dikasih ke gue?" Rio adalah teman sekelas Naren.
"Iya, minta tolong buat ngumpulin tugas ini ke dosen, dia lagi ada urusan keluarga yang gak bisa ditinggal. Rio gak ngasi tau?"
Naren menggeleng pelan, "kenapa lo yang nganterin?"
"Dia minta tolong ke gue." Perempuan bernama Alice itu tersenyum, membuat matanya menyipit. Naren mengangguk memberi jawaban.
Perempuan berdarah chinese itu berdehem. "hari ini lo gak ada kelas kan?"
"Engga, hari ini gue lenggang," balas Naren seadanya. Naren bersedekap dada, matanya tak sengaja bertubrukan dengan Bulan yang diam-diam menguping di lantai atas.
"Nanti sore jalan, mau gak?" Alice menautkan tangannya dengan gugup.
Naren terlihat berpikir. "Liat nanti."
Alice mengembuskan napasnya, "Oke, btw nyokap lo kemana?"
"Ke pasar kali, gue baru bangun tidur."
Perempuan itu menganggukkan kepalanya, "ya udah, gue cabut dulu. Nanti kabarin."
"Oke."
Naren tak berniat beranjak dari duduknya untuk sekedar mengantarkan Alice ke teras rumah. Sementara Alice tak ambil pusing, yang terpenting nanti ia bisa jalan bersama Naren.
Bulan yang melihat interaksi hanya bisa menghela napas kasar, kenapa rasanya sesakit ini?
"Nguping kamu cil?" Suara berat Naren membuat Bulan tersentak, ia menormalkan mimik wajahnya.
"Apasih, gue bukan bocil lagi ya Mas. Umur gue 17, udah gak pantes dipanggil bocil!" delik Bulan tak suka, ia menatap garang Naren yang masih berada ditempatnya.
"Di mata aku, kamu tetep bocil," tukas Naren usil.
"Suka hati Mas Naren lah." Bulan menuruni tangga dengan perasaan yang tak menentu.
"KAMU MAU KEMANA?" teriak Naren saat tubuh kecil Bulan sudah menghilang di balik pintu utama rumahnya.
"PULANG."
Bulan mengusap pipinya yang terasa basah. Dia lelah meletakkan ekspektasi kepada Naren, yang sama sekali tidak peduli dengan perasaanya. Bulan ingin berhenti, namun seperti ada bisikan dari hatinya untuk tetap bertahan lebih lama.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas
Teen FictionArti bahagia bagi Albiru Bulan Seanna adalah, menikmati hidup tanpa rasa benci dan bersyukur atas semua karunia Tuhan. Setelah beranjak dewasa Bulan kira, hidupnya akan lebih leluasa. Namun, tuntutan itu semakin terasa. Saat hasil itu tidak sesuai...