0. Prolog

63 6 4
                                    


"Wushhhh!"

"Boaammm!" Suara dentuman terdengar memekakan indera pendengaran. Kepulan asap membumbung, seakan ingin memeluk cakrawala senja dimusim dingin ini.

"Ayah? Ayah!" Suara serak dari seorang lelaki kecil mengalun pelan, isak tangis darinya pun mulai terdengar. Dia dengan tergesa menekan sebuah tombol, dengan itu baju pengaman yang dikenakannya terbuka. Ia pun dengan leluasa bergerak mencari Ayahnya, meski darah biru tercecer seiring dirinya melangkah.

"Nak! Ayah disini." Ucap seorang pria paruh baya, kepada lelaki kecil tadi.

"Ayah! Ayah terluka, baterai emerald untuk pesawat kita habis dan sayap pesawat kita rusak, Lie harus apa?" Tanya lelaki kecil tadi, dia adalah Lie.

"Jangan menangis dan panik sayang. Kita di Bumi. Ayah mempunyai seorang kenalan disini." Pria paruh baya itu adalah Ayah dari Lie, dia mencoba untuk menenangkan sang anak.

"Lalu, apakah kita akan meminta bantuan padanya? Tapi dia manusia, Yah! Lie takut, manusia akan mengusir atau lebih parahnya menyakiti kita."

Sang Ayah menggeleng pelan, mencoba meyakinkan anaknya. "Tidak sayang, dia adalah teman Ayah. Terakhir kami bertemu, saat ayah remaja. Dengar, bantu Ayah untuk beristirahat di gua itu." 

Meski bingung, Lie tetap menuruti ucapan Ayahnya. Dengan segera ia menekan tombol untuk membuka baju pelindung milik Ayahnya. Dan dengan perlahan dia merangkul pundak sang Ayah untuk menuntunnya berjalan menuju gua. Setelah selesai, Lie memungut beberapa barang penting, kotak obat dan ransel makanan milik Ayah dan juga milik dirinya untuk disimpan di gua.

"Sudah semua, Ayah. Setelah ini, aku harus mencari teman Ayah dimana? Lalu bagaimana dia bisa percaya, jika aku anak Ayah? Padahal aku dan dia belum pernah bertemu?" Pertanyaan beruntun dari Lie pun terlontarkan, meski begitu ia tetap mengobati dan menutup lukanya dan luka milik sang Ayah menggunakan kasa dan plester.

"Foto Ayah yang bersamamu mungkin masih membuatnya ragu. Jadi bawa gelang ini dan katakan Ayah butuh bantuan. Lalu, kamu bisa mencarinya di negara seberang sana, kamu tahu cara bersikap seperti manusia, kan?"

"Tentu, Ayah. Tapi, bagaimana dengan Ayah? Disini sendiri, menungguku? Negara ini adalah Korea, benar? Lalu menungguku ke Jepang tak bisa dibilang sebentar untuk keadaan Ayah sekarang." 

"Ayah akan baik-baik saja untuk beberapa hari kedepan. Ayah bisa bertahan, Lie. Terima ini." 

"Kartu identitasku sebagai manusia? Dan .... ini kartu ATM?" Tanya Lie dengan wajah kebingungan.

"Gunakan saja baju bermainmu. Dan lepas baju misi ini." Minta sang Ayah yang langsung dituruti Lie. Apakah sebentar lagi dia akan menyamar menjadi manusia?

"Tapi, bagaimana kalau manusia geram dan malah menjadikanku sebagai bahan percobaan?" Tanya Lie dengan panik.

Namun, kekehan terdengar di telinga Lie, membuatnya menggembungkan pipi kesal. "Dengarkan Ayah, Lie. Bumi dan manusia tidak semenakutkan itu. Lakukan apa yang Ayah minta dan berlakulah sebagai manusia biasa. Ini kartu nama milik Teman Ayah." 

Lie pun menerima kartu nama yang sudah kusut tersebut. Sepertinya, sang Ayah menyimpannya dengan baik. "Minami Asaka?"

"Kemarilah." 

Lie pun menghamburkan pelukannya kepada sang Ayah. "Disini tak jauh dari pusat kota Seoul, aku akan ke bandara menuju Osaka, Yah."

"Berhati-hatilah, gunakan alat komunikasi dan peta digital mu dengan baik." Jelas sang Ayah sembari menunjuk sebuah handphone yang kini tengah Lie masukan ke dalam tasnya.

Ultra Academy: Let's Dream Together!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang