Lengkara #00

1.6K 91 18
                                    

Gadis kecil berusia tujuh tahun berlari menemui orang tuanya yang sedang duduk bersama di ruang keluarga. Di sana ada Papa, Mama, dan Kak Rachel. Senyuman tercetak jelas di wajah mungil gadis kecil tersebut.

"Ma, Pa, Kak Rach! Aku dapat peringkat satu!" Senyuman gadis kecil itu semakin mengembang ketika ia memperlihatkan piagam yang di pegangnya.

Kedua orangtuanya menoleh memperhatikan dirinya, begitupun dengan sang kakak. Alih-alih memberikan apresiasi kepada sang anak, pasutri itu hanya berdehem dan kembali memusatkan perhatiannya kepada si sulung.

Senyuman di wajah mungil itu luntur seketika. Hati kecilnya terasa ngilu saat itu juga, melihat kedua orangtuanya lebih memperhatikan sang kakak.

"Nggak pa-pa kok nak, intinya kamu sudah berusaha. Mama sama Papa nggak kecewa sama hasil kerja keras kamu, Rachel. Mama bangga sama kamu, karena sudah berusaha." Ucap Zalfa Olivia--ibu dari dua anak tersebut--sembari mengusap pucuk kepala anak sulungnya.

"Bener kata Mama kamu, Rach. Jangan sedih, masih banyak kesempatan untuk mendapatkan posisi pertama." Riko Sebastian--ayah dari dua anak tersebut --ikut menyemangati Rachel Olivia yang merupakan anak sulungnya.

Rachel mengangguk. "Dukung Rachel terus ya, Ma, Pa. Biar nanti Rachel bisa dapetin posisi pertama."

Zalfa dan Riko tersenyum. Zalfa kembali mengusap pucuk kepala Rachel dengan lembut, lalu mencium pipi tembam Rachel. "Iya sayang, pasti. Tanpa kamu minta, Mama sama Papa bakalan dukung kamu terus."

Riko menyadari anak keduanya itu belum berpindah dari tempatnya. "Rain, cepetan ganti baju, sesudah itu makan. Jangan sampai kamu sakit dan nyusahin kami." Titah Riko dengan nada dingin.

Rain mengangguk kaku. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu berjalan meninggalkan mereka yang berada di ruang keluarga, yang menganggapnya tidak ada di sana.

Rain cepat-cepat menaiki anak tangga menuju kamarnya. Ia segera memasuki kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Tanpa disadari, buliran bening mengalir dari mata indahnya. Rain kecil duduk di balik pintu kamar, memegangi dadanya yang terasa sesak.

Pikirnya, hari ini akan menjadi hari terindah karena dirinya berhasil mendapatkan nilai tertinggi di kelas, dan kedua orangtuanya akan memberikan apresiasi kepada dirinya. Namun ternyata, dia salah.











































Enam tahun berlalu, tapi semuanya masih tetap sama seperti enam tahun sebelumnya. Rain yang selalu meraih posisi pertama di kelas dan tak pernah mendapatkan apresiasi dari orangtuanya. Dan Rachel, yang selalu mendapat dukungan dari orangtuanya karena belum bisa mendapatkan posisi pertama.

Rain berusia tiga belas tahun, yang berarti dirinya kini duduk di bangku kelas satu SMP. Dan Rachel yang berusia lima belas tahun.

Hari ini juga, Rain pulang dengan membawa sebuah piagam yang merupakan tanda bahwa dirinya mendapatkan juara satu kelas dan juara satu umum sekolah.

Rain masih selalu berharap, bahwa orangtuanya akan meng-apresiasi dirinya suatu hari nanti dari hasil kerja kerasnya.

Tidak apa tidak dapat apresiasi untuk saat ini. Tapi, semoga suatu saat nanti dia akan mendapatkan apresiasi dari orangtuanya. Ya, semoga saja...








































"Kamu tuh bisa nggak sih, jadi anak yang berguna dikit?" Zalfa menatap Rain dengan tatapan tak suka.

Rain diam dengan tatapan ke bawah.

"Kamu tuh bikin Rachel iri terus-menerus. Bisa nggak, kalo habis pembagian raport, kamu diam aja kalo kamu dapat peringkat. Kalo Rachel nanya kamu dapat peringkat berapa, bilang aja kamu nggak dapat peringkat."

"Bisa, kan?"

Seperti biasa, Rain hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Sudah, Mama pusing. Mendingan kamu ke kamar sana, daripada kamu Mama siksa. Lebih baik lagi kamu nggak usah nampakin diri di depan Mama." Zalfa kembali berucap dengan nada judesnya, tak lupa tatapan tak suka ia lontarkan kepada anak keduanya itu.

Tak ingin di siksa habis-habisan seperti biasa oleh sang Ibu. Rain cepat-cepat pergi dari sana, lebih baik ia mengurung diri di kamar ketimbang harus di siksa dan berakhir di kurung di gudang.





Rain duduk di sisi ranjangnya, menatap foto keluarga tanpa dirinya terbingkai di atas nakas. Rain mengambilnya, dan menatap foto keluarga itu dengan bulir air mata yang mulai muncul di sudut matanya.

"Kapan gue bisa ada di antara kalian..? Kapan gue bisa ikut ngobrol kalau lagi sarapan atau makan malam..? Kapan Rain bisa dapat apresiasi dari kalian berdua, Ma, Pa?"

Rain mengusap kasar air matanya yang turun membasahi kedua pipinya. Rain memukul dada nya yang terasa sesak.

"..Rain harus apa, biar bisa dapetin kasih sayang kalian?"

Lengkara [completed]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang