Oleh : Oktana Tirta Yaomaesa
Senja sore itu tampak sempurna, seperti goresan tangan Tuhan di langit. Namun, di balik keindahan yang tertata rapi, ada kesunyian yang menyayat. Seperti luka yang terus terbuka, tak peduli seberapa sering dicoba untuk menutupinya.
Di sebuah taman yang sepi, tempat kami biasa bertemu, aku menatap bangku kayu tua itu. Tidak ada siapa pun di sana selain diriku. Dulu, senja seperti ini adalah milik kami—aku dan dia. Tempat di mana waktu seakan berhenti, dan dunia di sekitar kami memudar. Tapi sekarang, senja ini hanya milikku, dan dia takkan pernah kembali.
Tara—namanya masih tersimpan di setiap helaan napas. Segala tentang dirinya, tentang kami, seakan tak pernah pergi dari pikiranku. Bagaimana bisa? Dia adalah satu-satunya cahaya dalam kehidupanku yang begitu gelap. Tapi cahaya itu, kini, sudah padam.
"Aku tidak akan kemana-mana," janjinya suatu sore di bangku ini, di bawah langit senja yang sama. Dia tersenyum, dan aku percaya. Aku bodoh karena mempercayainya.
Rasanya aku bisa mendengar suaranya, seolah-olah dia masih di sini bersamaku. "Kenapa kamu masih di sini?" dia mungkin akan bertanya jika dia masih ada. "Kamu tidak seharusnya menungguku."
Tapi bagaimana aku bisa tidak menunggu? Janjinya bukan hanya sekadar kata-kata. Janjinya adalah rumah, tempat aku berlindung dari dinginnya dunia. Tapi, tanpa tanda-tanda, dia pergi. Menghilang begitu saja, seakan semua yang pernah kami alami tak berarti apa-apa.
Aku ingat hari itu dengan begitu jelas. Senyumnya yang terakhir kali. Sentuhan tangannya yang dingin. Seakan ada sesuatu yang dia sembunyikan, sesuatu yang dia tak bisa katakan. Tapi aku tak bertanya. Aku berpikir, mungkin itu hanya bagian dari dirinya yang tak ingin dia bagi. Aku ingin menghormatinya. Sekarang, aku menyesal tidak memaksanya bicara.
Beberapa hari setelah kepergiannya, aku mendapatkan sebuah surat di dalam laci mejaku. Surat dari Tara. Sederhana, hanya beberapa kalimat.
"Maaf, aku harus pergi. Ada hal yang tak bisa aku jelaskan. Jangan tunggu aku. Tapi, tolong ingat, aku selalu mencintaimu."
Itu saja. Tidak ada penjelasan lain. Tidak ada alasan. Hanya sebuah pengakuan tentang cinta yang sekarang terasa hampa. Bagaimana bisa cinta ini masih terasa nyata, meski orang yang memberikannya sudah tidak ada?
Hari demi hari berlalu, dan aku tetap menunggunya. Setiap kali senja datang, aku berharap dia akan muncul, duduk di sampingku seperti biasa. Tapi bangku itu selalu kosong. Setiap kali aku berjalan melewati jalan yang kami lalui bersama, bayangan kami berdua masih ada di sana, tertawa, berbicara, berbagi mimpi. Tapi itu hanya bayangan, seperti ilusi di cermin yang retak.
Rasanya seperti hidup dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan. Tidak ada penjelasan yang bisa meredakan perih ini. Aku ingin marah, aku ingin membenci, tapi bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin aku membenci seseorang yang telah memberikan aku segala alasan untuk hidup?
Waktu terus berjalan, tapi perihnya tetap sama. Setiap pagi terasa seperti beban yang harus aku pikul sendirian. Malam terasa panjang, tanpa bintang, tanpa suara. Hanya sepi, dan kenangan yang berputar di kepalaku, seperti film yang tak pernah berhenti diputar ulang.
Aku ingin melupakan, tapi kenangan tentangnya begitu kuat. Setiap sudut kota ini, setiap jejak langkahku, selalu mengingatkan aku padanya. Pada senyumnya. Pada suaranya yang lembut. Pada janji yang tak pernah ditepati.
Di penghujung senja itu, aku memejamkan mata dan berharap bisa melupakan sejenak. Tapi suara angin berbisik di telingaku, membawa namanya. Dan aku tahu, aku tak pernah benar-benar bisa pergi darinya, sebagaimana dia tak pernah benar-benar pergi dari hidupku.
Mungkin suatu hari nanti, perih ini akan mereda. Mungkin suatu hari nanti, aku akan bisa menerima kenyataan bahwa dia takkan pernah kembali. Tapi hari itu belum tiba. Hari ini, aku masih di sini. Di bangku kayu tua ini. Menunggu sesuatu yang mungkin tak pernah akan datang.
Dan mungkin, seperti senja yang perlahan memudar, aku juga akan menghilang bersama kenangan tentangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Naungan Renjana
Short StorySEBELUM BACA, FOLLOW, KOMEN, DAN VOTE TERLEBIH DAHULU YA!