Oleh : Oktana Tirta Yaomaesa
Senja jatuh perlahan di langit jingga, menyelimuti segala yang tersisa di taman kota. Suara gemerisik daun yang tertiup angin seakan menjadi melodi yang mengiringi langkah Ona. Gadis itu, dengan pandangan kosong yang tertuju jauh ke depan, berjalan tanpa tujuan. Sesekali, matanya terpejam, meresapi udara yang menyesakkan dada.
"Irul..." gumamnya, hampir tak terdengar, tertelan angin senja. Nama itu terucap bagai doa, namun lebih seperti keluhan hati yang tak lagi bisa ditahan. Ia tak ingin mengingat, tetapi kenangan selalu saja mengusik, datang tanpa diundang, menyesakkan tanpa ampun.
Di kejauhan, seseorang berdiri di bawah pohon tua. Sosok itu tegap, diam memandang ke arah Ona yang mendekat. Irul. Lelaki itu sama seperti senja yang akan segera berakhir, teduh namun tak bisa bertahan selamanya. Ketika Ona sampai di hadapannya, tak ada sapaan, hanya keheningan yang menggantung di antara mereka. Sesuatu yang tak pernah diucapkan, namun selalu terasa.
"Kenapa kau selalu datang di saat aku ingin sendiri?" Ona membuka percakapan, suaranya pelan namun penuh luka. Ia memandangi wajah Irul, berusaha menahan gejolak yang mengguncang hatinya. Tidak seharusnya ia marah, tetapi kehadiran Irul seolah menjadi pengingat bahwa harapan yang pernah ia jaga, kini hanya tinggal serpihan.
"Karena aku tahu kau tak pernah benar-benar ingin sendiri, Ona," jawab Irul dengan nada tenang. Matanya, yang selalu penuh keteguhan, kini menyiratkan sesuatu yang lain, kesedihan yang disembunyikan terlalu dalam. "Kau hanya berpura-pura kuat, seolah semuanya baik-baik saja, padahal aku tahu, di dalam dirimu, kau hancur berkeping-keping."
Ona terdiam. Kalimat itu menghantam hatinya. Benar, ia berpura-pura. Setiap harinya, ia berpura-pura bahwa ia baik-baik saja. Setiap senyum yang ia tebarkan hanyalah topeng yang menutupi luka yang tak pernah sembuh. Tetapi mendengar Irul mengucapkan hal itu—sesuatu yang selama ini ia simpan rapat-rapat—membuat dadanya semakin sesak.
"Kau selalu ingin terlihat tahu segalanya tentangku, padahal..." Ona menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. "Padahal kau tidak pernah tahu apa yang sebenarnya aku inginkan."
Irul menghela napas panjang, pandangannya menunduk. "Lalu apa yang kau inginkan, Ona? Katakan padaku. Aku selalu ada di sini, menunggumu mengatakan apa yang selama ini kau pendam."
Ona tertawa kecil, namun penuh kepahitan. "Apa yang aku inginkan?" Ia menatap langit yang semakin memudar warnanya, seolah mencari jawaban di antara awan yang perlahan tersapu malam. "Aku ingin berhenti berharap. Aku ingin berhenti mencintaimu."
Kalimat itu menggema di antara mereka, menciptakan keheningan yang lebih dalam dari sebelumnya. Irul terdiam, tak mampu berkata-kata. Di dalam hatinya, ia tahu, kalimat itu adalah kebenaran yang selama ini ia takutkan. Bahwa harapan yang ia jaga—tentang mereka berdua, tentang cinta yang ia simpan dalam-dalam—mungkin tak pernah menjadi kenyataan.
"Kenapa, Ona?" tanyanya, suaranya bergetar. "Kenapa kau ingin berhenti?"
Ona tertawa lagi, kali ini lebih pelan, lebih sakit. "Karena aku lelah, Irul. Aku lelah mencintaimu, berharap pada sesuatu yang tak pernah ada. Kau tak pernah melihatku, tidak seperti aku melihatmu. Selalu ada jarak di antara kita, dan aku sudah tak mampu lagi menanggungnya."
Irul memejamkan mata, seakan berusaha menahan beban yang tiba-tiba menghantamnya. Selama ini, ia tahu Ona menyimpan perasaan, namun ia tak pernah menyangka akan mendengar kalimat itu keluar dari mulut gadis yang selalu ia kagumi dalam diam. Ia mengira mereka akan selalu berada di sisi satu sama lain, meski tanpa kata. Ia tidak pernah menyadari bahwa diam-diam, keheningan itu membunuh Ona perlahan-lahan.
"Kau salah, Ona," kata Irul akhirnya, dengan suara rendah. "Aku melihatmu. Selalu melihatmu. Tapi aku terlalu pengecut untuk mengatakannya."
Mata Ona membesar. Kejutan dan kegetiran menyelimuti hatinya bersamaan. "Apa maksudmu?" tanyanya nyaris berbisik.
Irul membuka matanya dan menatap Ona dalam-dalam, seolah ini adalah satu-satunya kesempatan yang ia punya untuk mengungkapkan semuanya. "Aku mencintaimu, Ona. Sejak lama. Tapi aku tidak pernah berani mengatakannya. Aku selalu takut akan menghancurkan apa yang kita punya—persahabatan, kedekatan ini. Aku terlalu pengecut untuk jujur tentang perasaanku sendiri."
Ona terdiam, hatinya berkecamuk. Perasaan yang ia kira telah terkubur, kini kembali muncul, lebih kuat dari sebelumnya. Namun bersamaan dengan itu, ada juga rasa sakit yang tak terelakkan. Semua waktu yang telah mereka habiskan dalam kebisuan, semua harapan yang ia buang karena ia merasa tak berharga, semua itu kini kembali menghantamnya seperti badai.
"Kenapa baru sekarang?" Suara Ona bergetar, tidak mampu lagi menahan air mata yang perlahan turun. "Kenapa kau baru mengatakannya sekarang, ketika aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk melupakanmu?"
Irul menggeleng, seolah ia juga tak memiliki jawaban. "Aku tidak tahu. Mungkin karena aku juga terluka, Ona. Terluka karena tahu bahwa kau layak mendapatkan yang lebih baik. Seseorang yang bisa mencintaimu tanpa ragu, tanpa takut. Bukan seperti aku."
Air mata Ona terus mengalir, hatinya terasa sesak oleh perasaan yang bercampur aduk. Cinta, benci, penyesalan, semuanya bercampur menjadi satu. Ia ingin berteriak, namun suaranya tak mampu keluar. Ia ingin marah, namun di saat yang sama, ia juga ingin merangkul Irul dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Tapi kenyataannya tidak. Tidak ada yang baik-baik saja.
"Ona," suara Irul lembut, hampir tak terdengar, namun penuh makna. "Maafkan aku. Maafkan aku karena tidak pernah jujur sejak awal. Jika aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan melakukan segalanya dengan berbeda."
Ona menutup matanya, meresapi setiap kata yang diucapkan Irul. Rasa sakit itu masih ada, menancap dalam di hatinya. Namun di balik rasa sakit itu, ada kelegaan. Setidaknya, sekarang ia tahu. Setidaknya, mereka berdua tidak lagi harus hidup dalam kebisuan yang menyiksa.
"Semua sudah terlambat, Irul," bisiknya, dengan suara yang nyaris hancur. "Semua sudah terlambat."
Dan dengan kalimat itu, Ona berbalik, meninggalkan Irul sendirian di bawah pohon tua yang mulai diterpa angin malam. Langkahnya berat, namun ia terus berjalan, menembus kegelapan yang mulai turun. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi, namun yang ia tahu, ia akan terus berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Naungan Renjana
Short StorySEBELUM BACA, FOLLOW, KOMEN, DAN VOTE TERLEBIH DAHULU YA!